Sabtu, 31 Maret 2007

Tolak Amplop, Terima Suap

Semalam, setelah membaca blognya abang ini lewat blognya mas Andreas, juga postingannya ndoro, saya dan teman kantor saya mengelus dada. Perih. Sekaligus salut melihat ketegaran dan keberanian si abang. "Semua yang diomongin, realistis, Yat. Gw bisa ngerasain beratnya hidup yang harus dia tanggung. Ga usah jauh2, di kantor kita aja, mungkin kalian yang lajang, mau ngapa2in juga cukup. Tapi buat yang udah berkeluarga, lumayan berat mencukupi hidup. Apalagi anak koran lokal yang hidupnya senen-kemis yak? Digaji juga nggak kali," katanya.

Saya cuma mengangguk membenarkan. Lebih perih lagi saat teringat sebuah berita dua pekan lalu. Seorang yang ngaku wartawan sebuah mingguan di Jakarta tertangkap karena mencuri hp. Saat diperiksa polisi, dia mengaku terpaksa nyolong buat makan karena dia belum dapet gaji selama tiga bulan. Yang punya perusahaan tempat wartawan itu bekerja, mungkin saja malu. Tapi apakah setelah kejadian itu, dia lalu memperbaiki manajemen perusahaannya, meningkatkan kesejahteraan wartawannya?

Halah, mimpi! Seorang teman saya pernah curhat soal gajinya yang ga dibayar selama 6 bulan. Ketika menghadap pimpinan, mereka diberi jawaban: sabar dulu, karena duit yang ada untuk menggaji bagian bisnis. Kalian di redaksi kan gampang dapatnya karena selalu ke lapangan. Lhooo...saya membelalak, marah. Apa dikira wartawan itu tukang ngemis? Lalu bagaimana nasib anak2 layout, desain grafis, dll? Usai curhat, sambil berlinang airmata, teman saya itu meminta saya menemaninya ke sebuah kantor pemerintah (walopun saya cuma sampai di depan pintu).

Dalam keadaan biasa, saya pasti menolak, tapi demi alasan kemanusiaan, saya ikut dia, karena saya tau, duit yang ditagihnya adalah duit iklan, dan hasilnya untuk dibagi dengan teman kantornya yang butuh duit buat istrinya yang akan melahirkan. Herannya, si pemilik media bosnya temen curhat saya itu, sedang membangun rumah seharga sekitar Rp 2 miliar yang dilengkapi dengan kolam renang dan sebuah ruang pertemuan (aula). Hah, rumah apa hotel sih? Lalu teman saya cerita, duit buat membangun rumah itu diambil dari duit2 pembayaran iklan. Nah lho...!

Di Kaltim, ga ada yang namanya AJI, organisasi wartawan yang anti amplop itu. Beberapa kali, saya dan beberapa teman kantor berniat mendirikan organisasi wartawan atau sekalian bergabung dengan AJI. Hal itu dilandasi kegerahan kami pada para narasumber yang menganggap wartawan adalah peminta duit. Ini Kaltim, Bung! Duit dimana2. Saya sudah terlalu sering menghadapi rayuan duit segepok, bahkan pernah dibuatkan rekening dan "jatah wartawan" tidak lagi disimpan dalam amplop tapi langsung dimasukkan ke rekening itu. (pernah diposting disini, tapi lupa kapan dan judulnya apa :d)

Iman saya yang secuil, membuat saya menahan diri untuk tidak menerima duit itu. Seringkali saya mendapat "nasehat" terutama temen2 dari perusahaan 'saingan' untuk bersikap 'realistis'. Kata mereka, tak ada gunanya mengandalkan idealisme karena idealisme adalah tai kucing ketika berhadapan dengan anak dan istri di rumah (nasehat yang salah karena saya ga punya anak istri hihihi). Setidaknya, mereka mengaku tidak menjadi wartawan bodrex beneran karena mereka masih bisa menolak amplop jika terkesan melecehkan dan menghalangi mereka untuk menuliskan sebuah berita. Sayangnya, ketika mereka berusaha memegang teguh prinsip "yang realistis" itu, justru pimpinan mereka di kantor yang sibuk menerima suap.

Kasus itu, membuat saya dan kawan2 di kantor ga pernah maju2 dalam rencana membentuk AJI di Kaltim. Karena masalah sebenernya, bukan pada wartawan. Demi memegang teguh kode etik profesi sebagai jurnalis, mereka mati2an menolak amplop. Tapi kalo perusahaan tempatnya bekerja tidak pernah menghargai sikap, kerja keras dan pengorbanan mereka, lalu apa alasannya menolak amplop? Anak istri mereka butuh hidup dengan duit, bukan dengan kata2. Justru wartawan2 bodrex malah bisa hidup mapan dengan rumah bagus, dua mobil, dan 'perlengkapan' wartawan yang lengkap dan canggih.

Buat AJI maupun organisasi wartawan lain, juga Dewan Pers, bisakah sedikit lebih BERTAJI? Jangan nuntut para wartawan untuk anti amplop, tapi tuntutlah perusahaan tempat mereka bekerja untuk lebih memanusiakan wartawannya.
Simpati mendalam saya haturkan buat bang Jarar Siahaan, semoga senantiasa diberi kekuatan dan ketabahan!

Jumat, 30 Maret 2007

Jual Panci Beli Beras

Dalam rapat sore tadi, seseorang diantara kami menyebut kata petani, buruh, rakyat, upah, dll. Dan seorang 'kawan' yang lain langsung menyetop. "Hush...sekarang ga boleh pake kata petani, atau buruh, atau rakyat, ntar dicap komunis. Saya nyeletuk, "Iyah, bentar lagi dihapus dari Kamus Besar Bahasa Indonesia karena identik dengan komunis, kata yang paling serem. Sama dengan nasib buku2 pelajaran SMP, SMA yang katanya ga boleh diajarin di sekolah," kata saya, tentu saja ga serius tapi nyolot.

Kira2 kata2 itu diganti apa ya? Hmm..., petani: pergi pagi pulang petang macul tanah nanem padi buat makan. Buruh: pergi pagi pulang petang abis bulan potong gaji. Rakyat: warga, penduduk, masyarakat. Jangan pake kata ummat, tar dikira mo bikin negara Islam. Trus, upah: gaji yang disunat sana sini. Huh... ribet ya?

Abisnya, gerah banget dengan gambar dan berita di tipi yang diwartakan kawan2 seprofesi (upss...kata kawan sepertinya juga agak kiri, diganti kawin aja kali yak?). Tayangan di tipi mempertontonkan serangan sekelompok pembela agama menyerang sekelompok orang yang 90 persen perempuan karena kelompok yang berdemo menuntut utang luar negeri distop dan meminta pendidikan gratis ini dianggap mencoba menghidupkan lagi ajaran komunis di Indonesia.

Apa indikatornya? Konon, AD/ART kelompok yang diserang terdapat cara2 yang lazim digunakan komunis misalnya mengorganisir kelompok tani, buruh, dll. Oh God! Membela orang2 lemah dan tertindas (tani, buruh, adalah kelompok orang2 miskin dan lemah) ternyata sebuah kesalahan dan wajib diperangi, diserang dan harus dimatikan. Yang benar adalah, sibuk berceramah menjanjikan surga dengan cara menakut2i, dan hanya berdiam diri menonton mereka yang terus menerus dalam ketertindasan.

Mas Mbilung barusan bercerita pada saya, tentang sekelompok masyarakat di Desa Cipondok Kadu Gede, Kuningan Jabar. Buruh tani (argghhh...dua kata yang tidak tepat) disana, hanya mendapat sepertiga bagi hasil panen. Duapertiga, tentu saja buat majikan. Ya ampun, dalam agama pun, ada aturannya. Orang yang berkeringat harus mendapatkan hak sepenuhnya. Dan haram bagi majikannya menikmati hasil keringat orang lain dengan cara culas seperti itu.

Belum cukup derita mereka, hasil yang seupil itu, masih harus dipotong buat biaya ngolah sawah, misalnya beli pupuk dll. Lalu apa yang tersisa buat mereka makan setelah berpeluh 365 hari??? Boro2 mikirin sekolah anaknya, buat makan aja ga cukup. Lebih ironis lagi, karena ga punya beras, ibu2 tani menjual panci. Lalu, buat masak beras yang dituker ma panci tadi, mereka terpaksa minjem panci ke tetangga.

Apa ga kepancing nyumpahin anjing kalo denger cerita kek gitu? Tetangga macam apa kita yang hanya menonton derita orang2 seperti itu? Saudara sebangsa macam apa kita ketika hanya diam sebagai pengkhianat? Patutnya dinamakan apa kelompok pembela agama yang selalu kepanasan melihat kelompok lain membela petani, buruh dan kaum miskin? Apa gunanya ada UU yang katanya menghargai perbedaan pendapat dan kekebasan berkumpul dan berserikat?


* hiks...ternyata gw ga betah buat 'berhenti sejenak' :p

Kamis, 29 Maret 2007

gado-gado

* Entah siapa yang salah. Pembuat defenisi cantik-kah, atau si tabib pembuat dan penjual obat, atau si pemakai obat? Mungkin mengikuti defenisi cantik di iklan tipi yang harus langsing-putih-tinggi-berambut lurus, Ana (30) mencoba minum obat pelangsing. Akibatnya, warga Jogja itu langsung meninggal. Iparnya, Aji, ikut nyicipin karena penasaran, eh, ikut meninggal. Lalu tiga polisi yang memeriksa bekas2 serbuk obat yang berceceran, hanya dalam hitungan menit, langsung pingsan. Lho lho lho...???

* Akhir2 ini beredar imel soal 'bisnis' pembunuh bayaran. Hmm...sepertinya ga sembarang orang bisa melakukan ini. Setidaknya harus punya kemampuan nembak (terlatih pasti) juga harus punya jaringan pengadaan senjata. Soalnya di imel itu, mereka juga nawarin senjata AK 47, bom, racun, dan cara membunuh yang laen. Kalo ini serius, dugaan bisa mengarah ke..., ya, penguasa jaringan senjata, bisa nembak. Tapi kalo ini iseng....bagusnya diapain yak kalo dah ketangkep? Oh iya, imelnya: pembunuhbayaran@telkom.net

* Jangan dikira jaman reformasi, ga ada lagi upeti2an. Selasa (27/3) kemaren, orang2 komisi II DPR RI dapet kiriman Duku Palembang 500 kilogram. Udah dimasukin ke 50 kotak kayu sesuai jumlah anggota Komisi II yang ngurusin soal pemerintahan dalam negeri ini. Ada tulisan Pemda Kabupaten Ogan Komiring Ulu (OKU) sebagai pengirim. Orang2 di sana pada ngacir ditanyain maksud kiriman duku itu. Ah...malu ya, disuapnya pake duku doang? Coba disuap lewat rekening, hihihi...! Tapi abis ini, pasti Pemda OKU didamprat abis2an...malu-maluin, ngirim duku ke kantor yang terhormat.

* Ini cerita dari DPRD Kaltim. Tahun lalu, mereka bagi2 laptop. Ada 61 biji yang dibagi dengan biaya Rp 2,79 miliar, merk Toshiba tipe Satellite. Jadi harga per unit keknya Rp 15 juta, walopun orang DPRD ngakunya harganya Rp 10 juta. Plus satu laptop khusus seharga Rp 115 juta dan 2 biji seharga Rp 25 juta. Lucunya, Ketua Komisi III pas ditanyain malah nanya balik. "Memang saya juga dapat laptop? Wah, mencet saja tidak bisa." Entah jujur pa kagak, ga tau dah. Yang jelas...laptop khusus yang katanya buat perekam suara seharga Rp 115 juta itu, udah rusak. Padahal baru dibagiin lima bulan lalu keknya. Tapi laptop macem apa sih semahal itu?

* Gado2 banget ya postingan ini? Ah...sudah. Saya lelah. Mungkin akan berhenti lagi sejenak, menarik nafas panjang, mengumpulkan energi, untuk kembali lagi BERGERAK. Mungkin besok pagi sudah pulih, atau lusa, atau mungkin saya akan terlena pada senandung di sana, ga tau!

Senin, 26 Maret 2007

Anggaran Penangkal Ilmu Hitam

Namanya juga kelompok sirkus, ga cuma gedungnya di Senayan yang luar biasa, tapi juga pertunjukannya selalu penuh sensasi. Belum selesai soal laptop seharga total Rp 12,1 miliar buat 550 anggota sirkus (yang blum tentu bisa make laptop), skarang mereka bikin aksi lagi. Kali ini tentang biaya pengawalan unsur pimpinan DPR yang ternyata mencapai Rp 16,5 miliar dari total Rp 451,4 miliar tahun 2007. Wow, fantastis kan?!

Gila ya, pengawalan buat 4 orang aja, harganya segitu. Biaya pengawalan buat Agung Laksono dan tiga wakilnya, Soetardjo Soergoritno, Muhaimin Iskandar dan Zaenal Ma'arif, sampe Rp 16,5 miliar? Hmmm...kalo soal laptop mereka jelas lagi demam Thukul. Kalo soal pengawalan, mereka demam bintang2 Hollywood kali ya? Tergiur ngeliat Jolie atau istrinya Beckham yang keknya keren banget dikawal bodyguard bertampang macho bin serem.

Cuma, gw ga ngerti...pengawalan ini maksudnya bodyguard beneran apa sekedar untuk asisten pribadi, sekretaris, dan pengawal ato gimana. Tapi tetep aja angka segitu, luar biasa banyak untuk 4 unsur pimpinan doang. Rp 12,1 miliar aja bisa beli 550 laptop (yang tentu saja ada mark up habis2an), apalagi kalo Rp 16,5 miliar. Bisa bikin brapa sekolahan tuh? Bisa menghidupi pengungsi brapa ribu orang? Bisa ngobatin gratis brapa ribu orang?

Ga cukup ya, dengan bikin pagar super tinggi di sekeliling Senayan? Lagian, biaya pengawalan segitu gedenya, apa sih yang ditakutin? Lha, ngeliat mobil2 yang ada lambang negara di bagian depannya, polisi aja takut nilang kok. Kendaraan lain pada minggir kalo mereka mo lewat. Jadi maksudnya apa pake2 bodyguard segala? Buat nakut2in rakyat pemilihnya? Ah, udah tau sama tau lha ya..., selalu ada jalan buat nilep, selalu ada duit di setiap proyek. Biar lebih aman, gw ga akan heran kalo suatu hari nanti, ada juga 'anggaran penangkal ilmu hitam'. Bukankah mereka juga percaya yang klenik2?



UPDATE (26/3) : Setelah di-cerpen-kan, kisah Diaz ditulis dalam novel trilogi oleh adik korban, Daniel Mahendra sejak November 2006 lalu dan sebentar lagi akan dirilis. Judunya, EPITAPH (tulisan duka di batu nisan). Buku ini tak hanya bercerita tentang kronologi kasus menyakitkan itu, tapi juga bercerita soal sejarah film Indonesia. Saya tidak sedang promosi (lha wong ga kenal penulisnya), sekedar berbagi kesukaan pada buku karya anak negeri sendiri.

Jumat, 23 Maret 2007

ketika bangkai pesawat itu ditemukan

Selamat Datang di Pengadilan. Saya teringat lagi dengan buku kumpulan cerpen karya Daniel Mahendra yang saya baca zaman kuliah dulu. Banyak cerita heroik di dalamnya, khas aktifis mahasiswa, yang selalu ingin melihat negerinya semakin baik. Cerita yang penuh semangat, dibumbui kisah cinta, dan juga menyelipkan kisah kelam negeri ini yang tentu saja menimbulkan kegeraman Daniel yang ketika itu aktif bergelut di dunia pers mahasiswa di Bandung.

Saya sudah menduga, salah satu atau bahkan hampir seluruh cerpen di buku itu diangkat dari kisah nyata keseharian aktifis yang tak pernah jauh dari buku, cinta dan demonstrasi. Tapi saya sama sekali tidak menyangka, cerita tentang pesawat jatuh dan mayat korban yang ditenteng dalam travel bag adalah kisah nyata yang dialami sendiri oleh kk dari Daniel (atau hanya kesamaan nama ya???). Ketika itu, saya benar2 menangis membacanya, rasanya maraaaaaah banget. Marah dengan kelakuan cecurut, aparat yang sibuk berbisnis, tapi tak berbuat apa2 saat satu per satu pulau negeri ini lepas karena dicaplok negara lain

Serapih apapun menyembunyikan borok, pasti ketahuan juga akhirnya. Dan kemarin, bangkai pesawat yang hilang 13 tahun lalu itu ditemukan di Deli Serdang. Saya terhenyak sejenak. Ini rupanya yang ada dalam cerpen Daniel itu. Tapi terlalu banyak keanehan di sana. Mulai dari kalung Wanadri yang diduga milik Diaz Barlean, kartu mahasiswa, penemuan tulang belulang dan sebagainya.

Padahal, pada 1996, dua tahun setelah peristiwa jatuhnya pesawat itu, keluarga Diaz telah diserahi bukti2 meyakinkan berupa KTP, KTM, dompet, topi, ikat pinggang, dll, yang disertakan dalam tas berisi tulang belulang Diaz. Paket serupa juga diterima keluarga Ori Rahman, Petinggi LSM Kontras, karena almarhum Burhan Piliang, ayahandanya, adalah salah satu korban tewas bersama Diaz.

Mereka, para penerima "paket tulang dalam peti mati yang tak semestinya" juga menerima pesan penting dari pemilik (atau merasa memiliki) Helikopter Bolco TNI AD itu. Jenazah boleh diambil, apabila pihak keluarga menyetujui sejumlah persyaratan yakni: tidak boleh mempublikasikan ke media massa dan tidak boleh ada upacara apa pun di Kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), tempat kuliah Diaz. Bahkan Ori mengatakan, mereka juga tidak dibolehkan membuka "peti mati".

Mengapa??? Mengapa butuh waktu 2 tahun untuk menemukan heli yang ditumpangi Diaz Barlean dkk? Karena (alasan ini juga terdapat dalam cerpen karya Daniel Mahendra), waktu itu TNI AD menyangkal bahwa heli yang mereka pakai disewa dari tentara, jadi pencariannya tidak serius. Ya, penyewaan helikopter milik negara itu, tentu saja tidak dibenarkan.

Saya bergidik memikirkan beberapa kemungkinan saat itu. Apa iya, tulang belulang yang diserahkan ke keluarga korban, benar tulang belulang milik mereka? Siapa yang bisa menjamin, mengingat waktunya sudah dua tahun, kondisi tas mayat yang tidak boleh dibuka, dan...aaarrggghhh...ga ada yang ga mungkin dalam sebuah bangsa yang fasis dan korup.
*) mohon maaf jika tulisan ini membuka kembali luka lama keluarga korban

Rabu, 21 Maret 2007

Anggota sirkus iri ama Tukul

Lagi-lagi berita dari gedung sirkus Senayan. Sebanyak 550 anggota sirkus yang ada disana bakal dapet laptop seharga Rp 21 juta per unit. Badan urusan rumah tangga menyiapkan dana Rp 12,1 miliar dari APBN. Alasannya dibagiin laptop, biar kinerja dewan ada perbaikan. Yaelah...apa jaminannya pake laptop trus kinerjanya bagus, ga gontok2an lagi, lebih aspiratip, ga maen pilm2 biru lagi, ga rebutan dana rapelan lagi?

Oh ya, spesifikasi laptopnya, harus 12 inch, dua processor, beratnya ga lebih dari 2 kilogram, harga patokannya ya itu tadi, Rp 21 juta per unit. Katanya sengaja dipilih yang 12 inch dan beratnya 2 kg biar ga repot bawanya. Halah, kek yang pernah bawa barang berat aja. Bawa selembar kertas doang harus pake asisten. Noh, petani bawa2 pacul ga napa2...lha, tas laptop kan ga ditenteng kalo di mobil. Hehehe, ga adil ya perbandingannya, tapi buat gw, itu pemborosan banget. Napa harus yang 21 jutaan, napa ga yang 10 jutaan aja?

Kata orang rumah tangga gedung sirkus, kalau menteri saja didampingi profesor, masak anggota sirkus ketinggalan terus, makanya dibeliin laptop. Lha, ga tau apa ya kalo pake laptop itu, INPUT=OUTPUT? Kalo ga ngerti apa yang mo dimasukin ke laptop, ya ga ada gunanya punya laptop. Kok ya dibandingin ma menteri yang didampingi profesor? Ada lagi celetukan tolol anggota sirkus yang ngomong gini: Masa kita kalah sama Tukul? Tukul aja pake laptop. Lhaaa...kok ngiri sama Tukul sih?

Males sebenernya nulis2 soal ginian lagi...cuma puas nyumpahin tapi ga bakal ada yang berubah. Lihat aja soal PP 37 yang direvisi itu. Jumat malem minggu lalu, Presiden SBY akhirnya menandatangani PP pengganti PP 37 Tahun 2006. Kata Yusril ada beberapa pasal yang dirombak yakni pasal 1 angka 15A dan angka 15B yang berisi tentang tunjangan komunikasi intensif dan belanja penunjang operasional pimpinan. Tunjangan ini diberikan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah.

Tapi dalam pasal 14B, tunjangan komunikasi intensif justru berlaku surut selama tiga bulan sejak revisi PP 37/2006 dikeluarkan pemerintah. Ckckck...sama aja, panen duit lagi. Lalu gimana dengan pengembalian dana rapelan yang kemaren2? Katanya harus dikembaliin paling lambat satu bulan sebelum berakhirnya masa bakti sebagai anggota DPRD periode 2004-2009. Tapiiii...ga ada pasal yang mengatur sanksi kalo anggota sirkus ga balikin duitnya. Kata Yusril, PP ini kan hukum administrasi. Hukum administrasi tidak bisa menjatuhkan sanksi pidana. Atuuurrr...kita mah ga ngerti hukum, makan aja dah tuh duit, semuanya!

Kembali ke lap...top! Dana pembelian laptop ini sekitar Rp 12,1 miliar dari APBN. Ada aja ya, duit APBN? Padahal, minggu lalu, Bu Menkeu Sri Mulyani angkat tangan pas didesak untuk ngucurin dana bagi korban lumpur Lapindo karena katanya pemerintah ga ada duit. Tapi buat beli laptop (yang ga ngerti cara makenya) kok ada. Apa gaji pokok per bulan (paling dikit) Rp 35 juta itu ga cukup buat beli laptop sendiri? Ah. lupa...laptop lebih penting daripada sandang, pangan dan papan orang2 korban Lapindo :p

Minggu, 18 Maret 2007

Surat Cinta Buat Presiden

Apa yang bisa dilakukan jika sulit menemui seseorang, apalagi kalo dia orang penting? Mo nelpon ga punya hp :( punya hp ga punya pulsa :( punya hp ma pulsa, eh, ga tau nomernya si orang penting. Halah, kesian amat lo, ke laut aja sono. Tapi si 'Qwerty' ga kehilangan 'kreatifitas'. Dia berkirim surat ke orang paling penting di negeri ini lewat www.presidensby.info. Berhasil, usahanya terbaca banyak orang dan sampai ke telinga orang2 yang sering seliweran di dekat SBY. Walopun belum tentu sampe ke telinga SBY langsung.

Yang disampaikan sih, tuntutan sederhana sebenernya. Ketimbang harus berpanas2 di jalan, tereak2 pake TOA ngabis2in energi, belum tentu didengerin malah bisa2 di dorr pak polisi, menyalurkan suara hati memang lebih efektif dan efisien (halah...ribet bahasanya) lewat inet. Yang baca, jelas, orang2 yang mungkin bisa mengambil kebijakan (dengan catatan: kalo dia punya hati). Lagian, kalo mo nyampein tuntutan langsung ke SBY, waduh, kaum elit aja susah ketemu, apalagi kaum rendahan seperti ...saya (sebenernya mo nyebut Qwerty, tapi ga enak)

Keknya saya muter2 deh, padahal omongan saya ga penting. Suratnya Qwerty lebih penting. Ini dia:

Indonesia, 17 Maret 2007
Kepada Yth
Presiden Republik Indonesia
Bapak Susilo Bambang Yudhoyono
Di
Istana Negara

Dengan tanpa mengurangi rasa hormat kami, yang bertandatangan di bawah ini:
Nama: on behalf of underground community
Alamat: the world where the devils gather
Nick: Qwerty

Dengan ini mewakili komunitas underground Indonesia ingin menyampaikan beberapa permintaan:
1. Turunkan harga Bandwith agar kita semua bisa merasakan internet, apa Anda tidak malu dengan China atau India? Mereka negara berpenduduk padat yang bisa mengakomodasi kebutuhan bandwidth dengan baik
2. Dukung dan laksanakan IGOS (Indonesia Go Open Source), pikirkan masa depan bangsa ini, tingkatkan mutu pendidikan, masa depan kita terletak di pundak mereka yang dengan jari-jari mungilnya setiap pagi mengemis dan mengamen di jalanan
3. Berantas KKN, pornografi dan pornoaksi di negeri kita tercinta ini. Saya kira Anda telah menyaksikan bagaimana azab yang telah menimpa bangsa ini. Tsunami, Gempa Bumi, Banjir, dan Kecelakaan baik di udara, laut maupun darat yang telah merenggut anak dari ibunya, yang telah memisahkan adik dari kakaknya. Kurang apalagi? Tanah Longsor? Lumpur Sidoarjo? Mungkin sebentar lagi bencana yang akan lebih besar lagi. Tidakkah kita malu terhadap Tuhan? Sudah diperingatkan berulang kali tetap saja membangkang dan tidak ingat kepada-Nya.

Agar permintaan kami ini diperhatikan dan dilaksanakan. Karena pemimpin yang baik pasti mendengarkan suara rakyatnya.
Terima kasih.

Hormat Kami,
Qwerty

Hmmm...cukup santun kan? Dan yang disampekan ga ada yang aneh. Tak perlulah ditanggapi dengan ucapan songong macem "situs ini telah kita tingkatkan keamanannya, bla bla bla" yang bikin jengkel itu. Mungkin Pak Arbi Sanit bener, komunikasi SBY buntu. So, orang harus menggunakan cara2 seperti ini biar suaranya bisa didengerin SBY. Eh iya, Pak Arbi minta SBY makan cabe lebih banyak. Katanya biar SBY lebih berani menghadapi rakyatnya. "Kalau perlu saat berdemo, masyarakat mesti membawa cabe berkeliling Istana," katanya. Boleh juga tuh, Pak!

Jumat, 16 Maret 2007

Tempatmu Memang di Bui

Ditengah serangan pms yang menyebalkan, saya cukup gembira malem ini. Syaukani akhirnya dijemput paksa oleh penyidik KPK sekitar pukul 19.00 tadi. Bayangin aja, sejak ditetapkan jadi tersangka 18 Desember lalu, dia tiba2 sakit, operasi terjepit saraf tulang belakang. Huh, akhirnya orang paling berkuasa di kabupaten terkaya Kutai Kertanegara itu diperlakukan seperti Abdullah Puteh

Sukurin. Pake boong sih. Bayangin, udah tiga bulan dia dirawat di RS Gading Pluit. Udah menghabiskan sekitar Rp 176 juta duit negara buat biaya kamarnya doang. Kok selama itu ga sembuh2. Taunya, tadi dia dijemput dari rumahnya di Jl Cimahi, Menteng. Hmmm...sepertinya selama ini dia nipu orang2. Katanya ga boleh dijenguk biar ga terganggu, taunya dia ada di rumahnya, bukan di RS. Kurang ajar kan?

Dia dijadiin tersangka kasus pembebasan lahan untuk pembangunan Bandara Loa Kulu, Kaltim dan diduga telah merugikan negara Rp 15,36 miliar. Ini sih ga seberapa nilainya. Penyelewengan lain lebih banyak. Dari soal APBD, pungutan ke perusahaan tambang, penyalahgunaan dana bantuan sosial, banyak dah pokoknya. Daerah Kutai Kertanegara ini memang termasuk daerah terkaya di Indonesia. Tambang minyak, gas, batu bara, emas, dan lain-lain. Blum lagi kayunya (udah habis :p).

Tapi jangan salah. Daerah ini juga terbanyak penduduk miskinnya, terbanyak sekolah rusaknya, terbanyak anak putus sekolahnya, terparah jalan rayanya. Jalan yang terlihat mulus cuma yang dilewatin pejabat, pake beton, bukan aspal. Yang tersohor cuma jembatan Golden Gate-nya, jago niru soalnya. Padahal ribuan arsitek negeri ini bisa bikin yang lebih bagus daripada sekedar niru2 bangunan di luar negeri yang cuma jadi produk mercusuar dengan mark up gede2an.

Gw ceritain beberapa ketololan pejabat satu ini. Dulu, awal2 era otonomi daerah. Dia kampanye kemana2. "Pokoknya nanti Kukar saya bikin lebih baik. Saya akan mengundang investor ke daerah ini untuk melakukan pembangunan yang dibiayai APBD". Lha..., investor dimana2 bawa duit sendiri buat investasi, ini malah mo dibiayain duit APBD.

Ada lagi cerita lain. Ketika seluruh bupati/walikota se Indonesia rame2 melarang tayangan smack down karena menelan banyak korban, dengan bangganya bapak berkumis ini koar2 di koran. "Saya dengan bangga mempersembahkan acara smack down dengan mendatangkan atlet langsung dari Jepang". Dan digelarlah acara itu di kerajaannya sana.

Soal buang2 duit, dia jagonya. Konon, di kabupaten yang dipimpinnya itu, lebih banyak jumlah wartawan daripada jumlah penduduk asli. Tiap pagi, bendaharawan bagi2 duit buat wartawan2 ga jelas ini (semoga mereka ga baca, bisa mati dicincang gw). Lalu, saat pekan olahraga tingkat provinsi kemaren digelar, atlet2 nasional didatangkan untuk masuk dalam tim kabupaten ini. Termasuk atlet berkuda, Larasati.

Tentu saja dengan bayaran yang gila-gilaan. Demi prestise. Sementara anak2 disana cuma bisa menonton duit mereka terus mengalir keluar. Yah, pantes aja kalo warga buta hurupnya paling banyak. Angka kemiskinan paling ngetop. Sekolah rusak terbanyak. Dan, anak2 kekurangan rendah gizi, nyaris busung lapar, juga banyak di sana! Dan...hei, desa mantan tapol yang terkebelakang itu, juga ada di sana!


Semogaaaa KPK tidak silau dengan duit. Terlalu banyak yang harus dibereskan di sini. Untunglah Gubernurnya udah ditahan duluan dan kini dedengkot yang lain, Syaukani juga ditahan!

Sakit Jiwa

Berita 'menyenangkan' gw temuin semalem di salah satu file. Konon, setelah bertahun-tahun lamanya negeri ini menduduki peringkat pertama sebagai negara terkorup, posisinya kini membaik. Kursi Indonesia digantiin ma Filipina. Tahun lalu, di 13 negara Asia, negeri ini rangking satu terkorup dengan nilai 8,16. Tahun ini turun menjadi rangking kedua terkorup dengan nilai 8,03. Sementara Filipina tahun lalu nilainya 7,80, sekarang naek menjadi 9,40.

Indonesia masih di angka 8 juga sih sebenernya, beda belakang koma doang dari taon lalu. Tapi ada perbaikan 0,13 poin. Dan kehidupan di luar angka statistik itu, rasanya masih sama. Bahkan semakin gila. Semakin banyak orang yang mencari jalan pintas untuk memperkaya diri sendiri dengan cara apapun. Dengan cara kekerasan atau dengan memanfaatkan jabatannya.

Sementara tak jauh dari kediaman para pejabat itu, beberapa hari lalu, ribuan orang antre biar bisa dapet pembagian singkong mentah, gratis! Singkong mentahhhh...direbutin ribuan orang. Iya sih, isinya sepaket itu ada macem2, misalnya beras, gula stengah kilo, sama singkong mentah. Buat orang di piramida bagian atas, paket sembako singkong mentah itu ga ada artinya. Tapi orang2 bagian bawah piramida, yang celakanya justru jumlahnya paling banyak, sangat...sangat membutuhkan bungkusan itu.

Ga pernah terbayang di pikiran berapa truk uang Tommy di luar negeri sana bila dirupiahkan atau berapa ratus miliar uang Tommy yang konon 'dibawa' sama Tata. Yang mereka pengen tau, bagaimana dapet makan hari ini. Mereka ga peduli berapa banyak peluru yang tersisa di gudang senjata. Yang mereka pikirkan, masih adakah yang bisa dimakan hari ini. Soalnya kalo mikirin semua itu, apa ga stress?

Padahal mereka ga punya duit buat beli senjata api buat membunuh orang2 yang ga mereka senangi. Atau membunuh orang2 yang merampas hak2 mereka. Beda dengan orang2 di atas sana. Selalu punya alasan untuk membunuh. Khawatir dipenjara karena kasus korupsinya akan diusut, tinggal dorr! Ga polisi ga orang sipil, maen dorr aja. Yang menyedihkan, karena himpitan ekonomi, ibu2 malah nekat bunuh diri, ngajak anak2nya pula. Apa ga pengen menjerit melihat peristiwa itu?

Apa ga sakit jiwa lama-lama? Masalah lain dibiarkan berlarut2. Lihat saja lumpur Lapindo yang melahirkan elegi bagi warga di sana. Punya kuping ga sih pemerintah plus Bakrie? Sakit jiwa semuanya! (iya, gw juga. soalnya isi blognya ga nyambung dan makin ga fokus!)

Selasa, 13 Maret 2007

Menengok Desa Eks Tapol (3)

Batal Menikah akibat Stigma Politis

HINGGA generasi kedua dan ketiga lahir di desa eks tahanan politik (tapol), Argosari, Kutai Kertanegara, kejadian tak mengenakkan masih terus terjadi. Seperti diceritakan para pengurus Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba) di desa itu, salah satu warga bermama Sumijan kini tengah dilanda kesedihan. Putrinya, terpaksa batal menikah dengan pujaan hati karena masalah status sebagai anak tapol PKI.

Pasangan ini telah bertunangan beberapa waktu lalu dan berencana menggelar pernikahan pekan depan. "Awalnya, semua berjalan lancar. Tapi tiba-tiba batal karena calon suaminya, tentara. Dia tidak dibolehkan oleh komandannya. Sumijan pun dipanggil ke Koramil. Akhirnya pernikahan mereka batal," kata Untung, Sekretaris Pakorba Kukar.

Dengan nada penuh penyesalan, Paelan, 63, menimpali, "Sedemikian jauh negara memasuki ranah kehidupan pribadi kami. Ternyata pencabutan Tap MPR mengenai komunis, tak membawa pengaruh apa-apa. "Ya, ternyata stigma politis itu tetap ada. Paelan merupakan tapol pertama yang menikah di Desa Argosari ketika mereka resmi menempati kawasan Argosari. "Saat akan menikah, bukan main sulitnya mengurus administrasi. Saya harus lepor ke Kodam padahal saya bukan militer. Status saya sipil, bukan tentara lagi," katanya.

Ketika Indonesia dipimpin Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mereka bernafas sedikit lega dengan upaya rekonsiliasi yang dilakukan pemerintahan saat itu. Proses demokratisasi mulai dijalankan, para eks tapol inipun mencoba bangkit, memperbaiki nasib. Mereka membentuk organisasi Pakorba. Di Dewan Pengurus Cabang (DPC) Kukar, Ismary Musran duduk sebagai penasehat, Ahmad Samuri sebagai ketua dan Untung sebagai sekretaris. Tujuan organisasi ini untuk memperjuangkan kembali hak-hak sipil mereka seperti rehabilitasi dan kompensasi.

Ismary menjelaskan, sebenarnya masalah kompensasi bisa dikatakan hanya formalitas tuntutan saja sebab dirinya sudah bisa menduga, pemerintah akan ingkar dengan alasan, keuangan negara tidak akan cukup untuk membayar kompensasi bagi mereka. Tapi pendapat berbeda diungkapkan Paelan. Dengan tegas dia meminta pemerintah membayarkan kompensasi. "Bayangkan, status saya sebagai tentara tidak pernah jelas. Tidak diberhentikan, tidak dipecat, tidak pensiun, tapi bertahun-tahun juga tidak mendapatkan gaji, keluarga berantakan. Saya malah dipenjara. Pemerintah harus membayar semuanya," katanya.

Mengenai diskriminasi dan perampasan hak-hak sipil, Untung menceritakan betapa tidak dihargainya keberadaan mereka di desa itu sebagai warga yang membuka lahan permukiman. Beberapa tahun lalu, desa ini dijadikan kelurahan. "Padahal aturannya, belum layak jadi kelurahan karena penduduknya cuma sekitar 190 KK sedangkan kelurahan syaratnya 500 KK. Tapi menurut orang atas, belum ada yang layak dijadikan kepala desa sehingga dipaksakan menjadi Kelurahan Argosari saja. Tentu ini dilakukan agar kontrol terhadap kami lebih mudah dilaksanakan," ujar Untung.

Hal lain yang dikhawatirkan warga adalah, mereka tidak pernah memiliki sertifikat hak milik tanah dan rumah. Ketika pertama kali dibuang ke Argosari, mereka harus membuka lahan dengan menebangi hutan lalu membangun rumah sendiri. Janji pemerintah kala itu, masing-masing kepala keluarga akan mendapatkan tanah seluas 2,25 hektare. "Tapi sampai hari ini, kami tak pernah tahu mana lahan 2 hektare itu. Kami ini tidak punya sertifikat hak milik dan bukti apa-apa. Jadi kalau pemerintah menggunakan tangan besi lagi, kami pasti akan digusur," katanya.

Tidak hanya itu, Untung, yang pernah menjabat sebagai staf di kantor desa mengatakan, sejak dua tahun lalu, pejabat desa diwajibkan lagi membuat laporan bulanan tentang aktifitas para eks tapol. "Seperti kembali ke zaman orde baru. Apalagi yang ditakutkan pada kami? Sudah tua. Di sisa usia tua ini, kami hanya ingin pemerintah merehabilitasi nama baik kami, mengembalikan hak-hak sipil kami yang terampas sekian lama," pintanya lirih.

Diakui Ismary, memang tak mudah mewujudkan tuntutan mereka. Terlebih jika pemerintahan saat ini selalu gigih mempertahankan kekuasaan. "Selama status quo masih dominan, bisa apa? Siapapun presidennya kalau bawahannya tidak bisa menjalankan perintah, tidak akan terujud tuntutan kami. Tapi kami tidak berkecil hati. Berjuang memang begitu, harus selalu mencari jalan lain," tandas Ismary yang tetap bersemangat diusianya yang kian renta. (tamat)

Senin, 12 Maret 2007

Menengok Desa Eks Tapol (2)

Cerai dan tak Diakui Anak-anak

DERITA tak hanya dirasakan para tahanan poltik (tapol) yang dicap PKI oleh penguasa saat itu. Istri dan anak-anak yang mereka tinggalkan, tak kalah menderita batin. Ketika tulang punggung keluarga mereka dipenjara, mau tidak mau, mereka harus berjuang sendiri menghidupi anak- anak. Banyak yang tidak tahan dan akhirnya meminta cerai pada suami atau istri yang sedang menjalani hukuman, lalu kawin lagi. Tingkat pasangan yang bercerai malah hampir separuh dari jumlah tahanan sebanyak 165 orang yang kini bermukim di Desa Argosari, Samboja, Kutai Kartanegara

"Yang cerai, banyak, hampir separuhnya. Tapi itu bisa dimaklumi. Kasihan juga, mereka masih muda dan harus mencari nafkah sendiri. Tidak terbayangkan bagi kami bagaimana mereka bertahan hidup. Jadi lebih baik diizinkan cerai dan kawin lagi," tutur Untung, salah seorang tapol yang tinggal Argosari. Seperti rata-rata tapol lain, dirinya pun terpaksa bercerai dengan istri dan anak-anaknya. Setelah menetap di Argosari, Untung pun menikahi perempuan lain dan kini memiliki tujuh anak dari pernikahan keduanya.

Namun, ironisnya, hubungan dengan anak-anak dari istri pertamanya tak pernah baik lagi. "Anak-anak saya menjauh dan takut untuk mengakui kalau bapak mereka dituduh PKI. Sampai saat ini, anak laki-laki saya tidak mau bertemu dan istri pertama saya meninggal karena stress," kata Untung yang kini mengisi hari-harinya dengan berkebun.

Hal yang dialami Untung juga dirasakan Paelan. Anak-anak dari istri pertamanya bahkan menganggap dirinya telah meninggal dunia. Ketika anaknya menikah, dia tak diundang dengan alasan sama, malu bapaknya dituduh PKI. "Sekarang saya sudah menikah. Heran juga masih ada yang mau sama saya," ujarnya tersenyum sambil melirik istrinya, yang umurnya 14 tahun lebih muda.

Pengalaman almarhum Agustinus Rahmat, seperti diceritakan kawan-kawannya yang masih hidup, tak kalah menyakitkan. Hingga akhir hayatnya, tak sekalipun anak-anaknya mau bertemu dengannya. Cerita Supatmi lain lagi. Saat ditahan, dia baru saja melahirkan. Anaknya belum berumur tiga bulan. Sementara anaknya yang lain masih kecil-kecil. Terpaksa, anak yang baru dilahirkannya itu dibesarkan di penjara. "Di barak perempuan, ramainya seperti pasar, sebab kami membawa anak-anak kami ke penjara agar mereka bisa mendapatkan ASI. Anak saya sampai umur tiga tahun baru saya kembalikan ke rumah," ceritanya.

Karena ibu-ibu itulah yang menjadi tahanan, otomatis anak-anak mereka tak mendapat jatah makan. "Mereka dikasih ASI saja, karena jatah makan kami pun kadang hanya nasi putih," cetusnya lirih. Kini, setiap kali Supatmi bercerita tentang pengalaman hidupnya, anak perempuan yang dibesarkannya di penjara selalu memohon untuk tidak mengingat cerita kelam itu lagi. "Anak saya selalu bilang, Bu, jangan ingat-ingat lagi yang lalu-lalu. Pedih. Umur tiga tahun berarti dia masih bisa mengingat masa kecilnya," kata Supatmi. Keluar dari penjara, Supatmi pun langsung menerima surat cerai. "Mau apalagi, rumah tangga saya tidak utuh lagi. Ketika dipenjara, saya hanya dijenguk keluarga dua kali," imbuhnya. Supatmi pun akhirnya menikah dengan sesama tapol namun hampir dua bulan lalu suaminya meninggal dunia.

Meski cerita dari desa eks tapol diwarnai kisah perceraian dan ditinggalkan anak-anaknya, masih ada segelintir cerita hubungan suami istri yang tetap utuh. Ny Soekarni, istri Ismary, salah satunya. Dia rela menunggu suaminya selama 20 tahun. "Saya sudah berkali-kali menyuruh dia nikah, tapi dia tetap nunggu saya. Sama sekali tidak terbayangkan bagaimana dia menghidupi empat anak kami dan tetap bisa menjenguk saya di tahanan setiap Sabtu," kata Ismary.

Sambil tersenyum, Soekarni mengisahkan perjuangannya. "Saya bekerja di keluarga bule Prancis, bos salah satu perusahaan minyak asing di Balikpapan," ujarnya. Soekarni pun terpaksa mengarang cerita bahwa dia ditinggal kawin suaminya di Jawa agar bisa tetap bekerja pada keluarga bule itu. Suatu hari, ketika Ismary bebas dan keluarga bule itu mengunjungi rumah mereka di Argosari, barulah cerita sebenarnya terungkap.

Di desa Argosari mereka kini bisa berkumpul lagi. Hidup seadanya dari hasil kebun. Rumah yang didiami Soekani tak memiliki jaringan listrik. Untuk alat penerangan malam hari mereka menggunakan lampu teplok. Genset pemberian anaknya baru dua kali digunakan sejak enam bulan lalu. "Itupun dinyalakan kalau kebetulan ada yang lewat di depan rumah dan bisa dimintai tolong," ujar Ismary. Kamar mandi pun akhirnya ditempatkan di ruang tamu sebab tubuh tua mereka tak mampu lagi bolak balik ke belakang rumah. (bersambung)

Minggu, 11 Maret 2007

Menengok Desa Eks Tapol (1)

Dihukum Tapi tak Tahu Kesalahan

TANGGAL 11 Maret 1966 adalah tonggak berdirinya orde baru yang dipimpin Soeharto setelah diterbitkannya Supersemar oleh Presiden Soekarno. Ribuan bahkan ratusan ribu orang di negeri ini mengalami ketidakadilan pada awal-awal pemerintahan tersebut, khususnya mereka yang dituduh terlibat peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Namun tak banyak yang tahu, daerah pembuangan para tahanan politik (tapol) ini, bukan hanya Pulau Buru, tapi juga di sebuah desa terpencil di Kalimantan Timur bernama Desa Argosari. Untuk mengetahui lekuk liku kehidupan mereka saat ini, saya mengunjunginya pekan lalu.

Matahari bersinar cukup terik. Namun angin padang ilalang di area bekas hutan lebat Desa Argosari, bertiup kencang. Tubuh tua Ismary Musran, 75, tak sanggup menahan tiupan angin, beranjak menutup pintu. Sementara istrinya, Soekarni, 45, berlalu ke belakang dan keluar lagi dengan mengenakan jaket rajutan warna hijau. Tangannya membawa nampan berisi enam gelas teh manis hangat.

Pasangan ini adalah warga Desa Argosari, Kecamatan Semboja, Kutai Kartanegara yang telah menetap di sana sekitar 20 tahun. Sejak 1977, bersama sekitar 165 mantan tapol menghuni daerah seluas 2.000 hektar tersebut yang sengaja dialokasikan oleh Gubernur A Wahab Syahrani sebagai wilayah program rehabilitasi tapol.

Jarak Desa Argosari dari pusat Kota Balikpapan sekitar 45 kilometer yang berbatasan langsung dengan kelurahan paling ujung Balikpapan, Kelurahan Teritip. Meski berada di daerah terkaya di Kaltim, jalan masuk desa ini tak tersentuh aspal. Tanah liat merah membuat jalan berlumpur seperti kubangan kala musim hujan, terutama sejak truk-truk pengangkut batu bara berseliweran di daerah savana ini. Di desa yang sama, terdapat area lokasi latihan perang TNI satuan infanteri dari Kodam Tanjung Pura.

[Oh iya, tubuh kami sempat belepotan lumpur ketika ban mobil terjebak dalam lumpur. Kami pun bermandi keringat mendorong mobil. Tapi kata teman-teman, baju bergambar Mao Tse-tung yang saya kenakan --dan banyak diminta warga di sana-- paling bersih dibandingkan teman lain, hehehe. Soal truk2 pengangkut batu bara yang seliweran itu, konon dari tambang ilegal yang dibekingi instansi berbau militer. Tak heran kalo truk2 itu tidak pernah berani mengangkut batu bara hingga jalan besar dan batu bara yang diangkut dimasukkan dalam karung2 plastik. Belum ada waktu dan nyali menyusuri mining ilegal ini. Munir aja yang punya tujuh nyawa bisa mati...]

Rumah sederhana berdinding batako dan papan milik Ismary, tempat yang kami kunjungi pertama kali. Ismary adalah salah satu korban ideologi dan hidup dalam kurungan rezim orde baru selama hampir 20 tahun. Pasca pembunuhan para jenderal yang dikenal dengan peristiwa G30S/PKI di Jakarta, penahanan orang-orang yang telah 'dicap' juga berlangsung di Balikpapan. Suatu malam di Bulan Februari ketika Ismary tengah meronda, tiba-tiba dicokok serombongan prajurit dan diangkut dengan truk.

"Saya tidak pernah tahu kesalahan saya apa. Saya ditahan tanpa pemeriksaan, dituduh membakar pabrik lilin, dituduh sebagai PKI," kenangnya. Kala itu, Ismary bekerja di Kantor Pertamina Balikpapan dan aktif di organisasi pekerja migas. "Tapi tidak semua orang serikat pekerja itu PKI walaupun di sana memang ada orang PKI. Itu yang menyakitkan, karena rezim Soeharto mem- PKI-kan semua orang seperti saya meski jelas-jelas mereka tidak terlibat apapun," ujarnya geram.

Tapi seperti korban lainnya, kemarahan seperti itu hanya bisa ditelannya bulat-bulat. Selama interogasi dan penahanan, siksaan secara fisik terus mendera. Sepatu lars para tentara menyisakan luka abadi di tubuh dan hati mereka. "Saya ini ompong bukan karena tua, tapi karena gigi saya rontok diinjak-injak tentara," ujar Paelan, 63, korban lain, dengan nada tinggi.

"Makanya saya jengkel benar kalau lihat tentara dan melihat pemerintahan sekarang ini. Mereka benar-benar tidak pernah menghargai jasa dan pengabdian yang pernah kami berikan pada negara," lanjut Paelan, masih dengan nada berapi-api. Bukan tanpa sebab Paelan segeram itu. Sebelum ditahan selama tujuh tahun oleh rezim berkuasa, Paelan dan 50-an tapol lainnya adalah tentara yang menjalankan disiplin ketentaraan sepenuhnya. "Saya tidak penah tahu menahu mengenai PKI, tiba-tiba saya ditahan dan dituduh PKI. Berarti saya ini PKI sejati karena yang mengesahkan saya sebagai PKI adalah Kodam," ujarnya keras.

Pengalaman yang dirasakan Untung, tidak jauh beda. Meski bernama Untung dan masa itu berpangkat Kopral II Batalyon Infanteri 612 (Manggar sekarang), nasibnya sungguh tidak beruntung. Gara-gara aktif di kelompok Ludruk Gaya Muda, suatu pagi, Untung diangkut dengan truk untuk menjalani pemeriksaan lalu ditahan sejak 16 Maret 1970 hingga Desember 1977.

Ironisnya, yang memeriksa dirinya adalah orang PKI bernama Mulyono, dari Commitee Central (CC, semacam pengurus pusat di Jakarta). Menurut informasi dari teman-teman tahanan lainnya, Mulyono sengaja direkrut oleh tim Litsus TNI untuk memeriksa para tahanan. "Maka pesan saya pada anak muda, di organisasi manapun, akan terjadi kristalisasi. Selalu ada yang teguh pada pendirian dan ada yang berkhianat, jadi jangan kaget lagi," imbuh Ismary mengingatkan.

Tahanan tidak hanya didominasi kaum lelaki, tapi juga perempuan. Supatmi, 64 salah satunya. Supatmi adalah penduduk Tanah Grogot. Sekitar tahun 1965, dirinya didatangi Gerwani untuk direkrut sebagai anggota. Namun Supatmi menolak. Tak lama berselang, aparat menangkapnya, menahannya di Tanah Grogot selama dua tahun, dilanjutkan di Balikpapan selama lima tahun. "Rupanya nama saya dicatat orang-orang Gerwani, padahal saya bukan anggota mereka dan tidak tahu apa-apa soal mereka. Kok malah saya ditahan," katanya setengah bertanya dengan mata berkaca-kaca. (bersambung)


versi sopan dan ga narsis bisa dibaca di sini, edisi 11 Maret 2007

Rabu, 07 Maret 2007

negeri macam apa

aarrrgghhhh...
negeri macam apa?
Manggarai belum terima bantuan
Padang berguncang dan mayat terus berjatuhan
Kini Jogja
lagi
Padahal belum sembuh luka Puting Beliung dan gempa
aaarrrgghhhh...
benar,
bencana-bencana ini seperti arisan
kita tinggal menunggu giliran

[Tapi masih banyak saja orang yang tega bermain dalam bencana. Mengirim pesan2 menjebak korban. Menjarah harta di rumah2 kosong. Agung Laksono, masih juga sempat 'balas dendam' atas Adam Air dengan buru2 mengomentari Garuda. Ical masih cuek pada korban2 Lapindo. Lalu pejabat lain, tetap berlomba2 mengumpulkan harta benda dari pundi2 yang bukan haknya. Penjarah2 buas itu, masih juga merusaki hutan. Negeri macam apa ga ada kapoknya?]

Senin, 05 Maret 2007

Sinetron, Arisan dan Ketua Adat

Belang2 pada tubuh yang seolah mulus tanpa cacat suatu hari pasti tersingkap. Kearoganan karena berilmu tinggi, suatu saat pasti menuai hasil. Begitulah pesan moral sinetron yang dilakonkan bapak menteri yang pinter, penantang duel ketua KPK yang kini telah didamaikan secara adat oleh Ketua Adat.

Ini bukan sinteron yang baik buat anak2, seharusnya postingan gw berlabel BO (Bimbingan Orangutan). Karena, sepertinya sinetron ini mengandung unsur balas dendam. Setelah aksi lapor melaporkan dan periksa memeriksa antara KPK dan Yusril lalu bersalaman di depan ketua adat, kini KPK mengendus kepintaran Yusril yang lain.

Ketika bapak yang pinter itu menjabat Menhukham, kantor pengacara miliknya, ternyata juga ngurusin duit2nya Tommy yang ratusan miliar di Inggris itu. Tapi kasus itu emang baru rame skarang setelah mulai disidangkan. Tapi yang bikin bingung, jumlah duitnya nambah terus. Perhatiin aja di postingan gw sebelum2nya, jumlah duitnya ga pernah sama.

Tapi sumbernya sih, keknya sama dan bisa ditebak. Dari hasil menipu petani cengkeh, --jadi inget bapak dan kebun cengkeh kami-- kasus GORO, --kalo ini, ingetnya si belut Nurdin Halid-- kasus mobil Timor --sepertinya dananya diambil dari Yayasan Supersemar, (Membidik Soeharto, Lalu Mati) yang seharusnya buat beasiswa anak2 Indonesia-- dan masih banyak lagi.

Ternyata, sebelum kasus ini diributkan, udah pernah ada pencairan dana (keknya Rp 90 miliar) duit Tommy yang diurusin sama kantor pengacara Ihza and Ihza itu. Padahal, yang jadi masalah sekarang, duit itu ga boleh dicairkan karena bank di Inggris sana curiga duit2 Tommy itu hasil korupsi. Kalo ga ada keterangan dari Pemerintah RI, duit itu ga bisa cair. Trus napa ada Rp 90 miliar itu?

Yup, itulah hebatnya pejabat negeri ini kalo udah urusan duit. Sulap sana sulap sini, suap sana suap sini, lempar sana lempar sini, aman! Yang bikin aturan ya mereka, yang melanggar ya mereka juga. Penjara? Nanti dulu. Banyak pasal yang bisa dipake buat berkelit. Masih banyak kambing hitam lagi merumput. Kalo saja kambing2 ngerti bahasa manusia, gw pengen ngajak mereka demo menuntut nama baik mereka dibersihkan. Selalu aja mereka jadi kambing hitam, padahal ada juga yang putih.

Sekjen Dephukham udah ditahan KPK (tapi langsung sakit). Sebelum2nya, kasus2 di departemen biasanya emang diawali dengan ditahannya Pimpro, trus Sekjen, trus abis itu menterinya. Contohnya mantan Menag Said Agil, trus Pak Rokhmin Dahuri (duh, nasibmu Pak). Tapi gw lom yakin, Yusril bakal mencicipi penjara. Belut sih, licin dan...arogan! Mmmm...tapi kalo misalnya dia bisa dijebloskan juga, semoga jadi berjenjang sampe atas banget, sampe ketua adat. Kan ketua adat yang ngasih izin PL. Ketua adat juga pasti tau banget soal kasus penculikan aktivis....!

Selain heboh duit Tommy, konon, BPK juga nemuin 1.303 rekening gelap di beberapa departemen. Nilai duitnya sekitar Rp 8,5 triliun, gila! Rekening giro ada 680 (nilainya Rp 7,2 triliun) dan 623 rekening deposito (nilainya 1,3 triliun). Departemen yang paling banyak rekening gelapnya, ini nih, Dephan 96 rekenening (duh, padahal rumah2 pensiunan tentara dimana2 digusur tuh oleh para jenderal), Depkes 49 (wadoh, jadi inget showroom mobil mewah Bu Menteri), Dephukham 36 (tuh kaaan?), Dephut 34 (wayooo, maen kayu ya?), Deplu 23 (tip jadi guide anggota sirkus kali ya), Depnaker 13 (awas muntah belatung abis makan duit buruh) dan masih banyak lagi yang laen.
Ternyata negeri ini bener2 kaya ya? Ada triliunan yang diumpetin dan korban longsor Manggarai belum dapet bantuan? Kini, Sumbar juga???

*) bencana datang beruntun seperti arisan. kecewa mendera tapi kita tinggal menunggu giliran.

Kamis, 01 Maret 2007

Mimpi Buruk Bapak Menteri

Lagi2 acara TV, Republik Mimpi bakal disomasi oleh Menkominfo. Ga abis2 nih urusannya. Udah nyuruh orang pake KTP kalo ke warnet, warnet ga boleh pake sekat, imel orang dipantau isinya, nomer tilpun diregistrasi biar terpantau, sekarang untuk kedua kalinya, acara Republik Mimpi (sebelumnya kalo ga salah namanya Republik BBM yak?) bakal disomasi lagi.

Alasan Pak Menteri, tayangan itu sangat berpotensi merusak pemikiran masyarakat Indonesia, karena secara filosofis tayangan itu sangat buruk. Hueks...bukankah statement ini bisa bikin mati ketawa juga? Eh, masih ada tambahan. Kata Pak Menteri lagi, masyarakat Indonesia dianggap belum punya edukasi yang bagus untuk menerima tayangan seperti itu. Beda ma Amrik, katanya tayangan kek gini dapat perhatian masyarakat karena demokrasi di sana udah jalan 200-an tahun.

Kalo presiden diolok2, mo dibawa kemana negeri ini, tanya Bapak Menteri. Effendi Ghozali pun dicela. Katanya, pantes ga jadi ilmuwan, tapi joker, soalnya dia ga bisa ngasih tayangan yang mendidik malah merusak tatanan masyarakat. Oalah...gw bukan ngipas2in Pak Effendi lho ya...hahaha, tapi katanya Pak Menteri lebih suka nonton Empat Mata-nya Tukul.

Ini sapa sih yang merasa dilecehkan? Gus Dur katanya nggak tuh! Mmm...kalo acara ini jelek, kok bisa dulu dianggap talkshow terbaik se Asia? Dan kalo ratingnya ga bagus, ga mungkin acara ini ada terus. Kenapa ga sinetron2 yang menjual mimpi2 aja yang disomasi dan dilarang? Atau acara gosip2 seleb yang sama sekali ga edukatip itu aja yang dilarang?

Lagian setau gw, soal larang melarang tayangan bukan tugasnya Departemen Penerangan versi Kabinet Indonesia Bersatu. Itu wewenangnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Kalo Depkominfo, keknya tugasnya nyebarluasin tayangan presiden lagi rapat di atas Kapal Fery dan Wapres lagi rapat di atas kereta. Maksud looohhhh??? Mo nyuci otak orang2 bahwa kapal dan kereta aman2 aja? Ya jelas amanlah dulz....lha yang numpang orang nomer satu kok. Pelayanannya pasti bedalah! Kalo perlu, hari itu ga ada yang jualan di stasiun, semua orang di kapal pake pelampung, dsb dsb, pokoknya serba bagus.

Tugas laen Menkominfo: menyebarkan daftar gaji terbaru para anggota sirkus yang katanya menghemat uang negara setelah PP 37/2006 direvisi. Hasilnya: tunjangan komunikasi intensif dan belanja operasional DPRD dipatok berdasarkan kemampuan keuangan daerah. Kalo KKDnya tinggi, untuk DPRD provinsi jumlahnya Rp 35 juta per bulan untuk ketua, wakilnya Rp 25 jutaan, dan anggota Rp 15 jutaan. Di DPRD kota/kabupaten, ketuanya Rp 24 jutaan, wakilnya 17 jutaan dan anggotanya Rp 12 jutaan sebulan.

Keknya ga ada bedanya deh sama yang kemaren sebelum revisi (dan bikin anggota2 sirkus ngamuk2). Juta2an juga. Lagian, masih ada cara lain kok buat anggota sirkus kalo mo nambah2 pendapatan. Konon, pejabat2 daerah kaya, kalo pengen kasusnya di KPK ga diutak-atik lagi, tinggal 'nyuapin' para anggota sirkus. Ada lho katanya, Gubernur Anu, nyetor Rp 2,75 M karena dijanjiin para anggota sirkus bisa menghentikan penyidikan di KPK.

Woi, jadi panjang neh omongan soal gaji orang2 sirkus itu. Balik ke Republik Mimpi, keknya Pak Menteri abis nonton Republik Mimpi jadi mimpi buruk ya? Takut tim kreatipnya acara itu nemuin orang yang mirip dia, trus diolok2in juga. Hahaha....jadi ga sabar pengen liat kembarannya Pak Menteri di Republik Mimpi...