Kamis, 24 Juni 2010

Koalisi Polisi+FPI=Bangke!

Ada teroris lagi. Ada porno2an. Ada banyak kasus korupsi. Ada piala dunia. Ada ribut2 FPI di Banyuwangi. Tapi yang paling menarik perhatian polisi, dan semua turun tangan ke sana, adalah kasus video porno. Si pelaku ditangkap, diperiksa fisiknya, diukur2 (katanya). Tapi yang dijadiin tersangka cuma si artis ngetop. Dulu, pelaku, yang juga politisi dan kini perempuannya mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah, ga diapa2in. Kasusnya tenggelam begitu saja. Alasan polisi: mereka ga ngetop.

Dulu, FPI juga ga segarang sekarang soal video porno. Mungkin karena dulu yang rame adalah kasus2 pejabat dan anggota sirkus senayan yang berkantor di gedung pantat. Mungkin bagi FPI, moral artis lebih penting dijaga ketimbang moral pejabat.

Saya setuju perzinahan adalah dosa. Tapi apakah itu kejahatan? Bukan. Pelakunya sama2 suka. Dosa dan kejahatan adalah dua hal berbeda. Semua kejahatan adalah dosa tapi tidak semua dosa adalah kejahatan. Dosa adalah urusan manusia dan Tuhan adalah hakimnya. Sementara kejahatan, ditangani antar manusia bernama polisi, jaksa, hakim.

FPI muncul memerangi orang yang mereka kira komunis. Mereka juga katanya memusuhi pelaku video porno dan bahkan mengancam akan menjemput paksa mereka untuk dipenjarakan. Tapi FPI tak pernah sekali pun bersuara, apalagi memprotes, orang yang korupsi. Membela korban lumpur panas lapindo? Huh, mimpi!

Daripada membela korban lapindo, FPI memilih membela Tuhan. Apakah mereka mau mengambil alih pekerjaan Tuhan, menghukum orang2 yang berdosa? Kenapa mereka ga menghukum ketuanya lebih dahulu karena menyimpan gambar porno di rumahnya?

Sementara polisi, juga hanya memilih menangani kasus yang kameranya banyak. Terorisme, iya. Kasus video porno artis, IYA BANGET! Ke mana mereka ketika kasus korupsi marak? Ya ngumpet, mereka kan terlibat juga. Ke mana mereka ketika ada ribut2 FPI? Mereka seperti polisi di film India, datang paling belakang, dan tidak melerai. Sekasar apapun tindakan FPI, polisi ga pernah menghukum mereka. Polisi pasti tau FPI salah. Tapi polisi takut sama FPI. Ia kan?

Minggu, 13 Juni 2010

Kenapa saya percaya dana aspirasi bakal dipake membiayai Setgab?

Kalau ada tuduhan dana aspirasi akan digunakan untuk membiayai sekretariat gabungan bersama partai koalisi, itu sesuatu yang sangaaaat wajar dan masuk akal buat saya.

Kenapa?
Semua orang tentu tak akan lupa, bagaimana kelakuan orang2 dari partai kuning si bau tai ini, dan anggota dewan sirkus gedung pantat pada umumnya. Apapun bisa disulap agar terlihat masuk akal padahal masuk kantong sendiri.

Misalnya kasus Century. Kasus ini dibuat seolah ini sebuah dosa besar Sri Mulyani sehingga Sri Mulyani dituduh maling lalu mereka mengupayakan segala jalan agar menteri keuangan itu dicongkel. Di kemudian hari ketika Sri Mulyani benar2 hengkang ke Bank Dunia, mereka lalu ngomong: ya, kita berhasil menyingkirkan si kepala batu.

Contoh lain, dalam kasus lumpur panas milik si ketua partai. Berkat kepiawaian mereka2, kasus ini akhirnya ditangani pemerintah karena semburan lumpur panas berubah penyebabnya dari kelalaian pemilik menjadi musibah nasional. Enak banget, Lapindo merusak, rakyat yang bayar kerusakan yang terjadi (dari duit APBN, yang merupakan kumpulan pungutan pajak kita2 kan?)

Kalo ada tudingan, dana aspirasi ini dikoar-koarkan untuk nutupin berita kasus pajak, ya wajar dan ga ada salahnya juga. Dan saya percaya saja. Kasus penunggakan pajak ini udah dibelok2kan kemana-mana. Dilempar ke KPC padahal itu juga perusahaan Ical. Belakangan pengakuan Gayus ke penyidik bahwa dia memang dapet duit waktu ngurusin pajak perusahaan Ical, kayaknya memang sedang butuh isu lain untuk membengkokkan kabar ini.

Dipakailah isu dana aspirasi, Rp 15 miliar per anggota DPR per tahun. Heran juga, otak mereka di dengkul kali ya? Ga ngerti fungsi mereka duduk di lembaga legislatif, yang berarti ga megang duit untuk dana (alesannya) pembangunan. Itu kerjaan eksekutif, bodoh!

Ketika peluang mendapatkan dana ini menipis, partai kuning bau tai lalu meminta dana desa Rp 1 miliar per tahun. Ini akan jauh lebih mahal. Bener2 licik. Dan bodoh. Apa mereka ga tau kalo desa itu bagian dari struktur pemerintahan yang berarti mereka punya alokasi sendiri2? Kenapa Dewan sirkus yang ngurusin?