Minggu, 30 September 2007

Berai Jemari Terkepal Lemah

Saya ga bisa membayangkan kesulitan hidup seperti apa yang dirasakan orang2 di Burma dalam pergolakan yang tengah berlangsung di sana. Sebelas tahun lalu saat Jakarta rusuh karena kasus 27 Juli, saya tidak begitu merasakaannya, karena saya jauh dari ibukota. Tahun berikutnya, kejadiannya sama dengan di Burma kini, rezim menaikkan harga BBM hingga mencekik leher rakyat. Saya baru ikut merasakannya. Lalu semua orang bergerak, karena kemarahan yang menumpuk selama 32 tahun terhadap tiran dari klan cendana itu.

Kemarahan kita, hanya akumulasi kemarahan 32 tahun. Bagaimana jika kita menghadapi 45 tahun, seperti mereka di Burma? Selama setengah abad kurang 5 tahun, kehidupan bernegara, berpolitik, bahkan kehidupan pribadi, dibayang-bayangi ketakutan pada tirani dibawah rezim junta militer. Ah, komplit! Kebebasan yang diperoleh setelah 32 tahun terkungkung, tak membuat kita ingat pada masa- masa susah. Bahkan nyawa orang-orang yang jadi tumbal tumbangnya tirani 10 tahun lalu, sama sekali tidak diperhitungkan. Hingga kini, suara keluarga mahasiswa korban penembakan itu, korban penculikan itu, korban kerusuhan etnis itu, tak pernah didengarkan. Apalagi kalau hanya korban pembantaian 65, sudah puluhan tahun mereka dibungkam, tinggal menunggu mati.

Pelaku-pelakunya tetap bebas berkeliaran, menjadi pejabat tinggi, menjadi presiden, mencalonkan diri jadi presiden, menjadi anggota DPR, tanpa rasa malu, duduk di singgasana yang berlumuran darah. Mereka tak bisa merasakan kehilangan para keluarga korban itu. Mereka hanya akan menjerit bahkan mengamuk, saat tuntutan kenaikan tunjangan jabatan mereka tidak dipenuhi. Mereka hanya akan bersuara ketika jatah menteri, jatah mobil, jatah perjalanan dinas, tidak jatuh ke tangan mereka. Mereka lupa cara memfungsikan pita suara ketika melihat rakyatnya mati terinjak2 saat antre sembako, zakat, dan 5 liter minyak tanah, yang hanya cukup untuk makan hari ini.

Kaum oportunis yang duduk di kursi kekuasaan itu, berkembang biak seperti tikus. Kelakuannya pun seperti tikus. Mencuri uang bantuan bencana, berkunjung ke sana kemari atas nama negara padahal belanja belanja, sibuk berebut komisi proyek padahal di depan mata, rumah dan tanah rakyatnya tenggelam dalam lumpur proyek. Jika kaum Biksu Buddha di Burma menyebut junta militer sebagai pengikut setan, saya pun menyebut oportunis Indonesia itu sebagai tikus pengikut setan yang paling buruk rupa. Kemarahan saya hari ini terhadap junta militer di Burma, terhadap penembakan keji Fotografer Jepang, Kenji Nagai, terhadap pembumihangusan desa2 di sana, terhadap penyerbuan vihara2, telah sampai ke ubun-ubun. Bahkan melampaui ubun-ubun karena kemarahan itu merembet pada kemuakan saya terhadap tikus2 pembawa kemiskinan di negeri ini.

Saya cuma bisa marah. Tapi apa yang sudah saya lakukan? Saya cuma bisa menulis, cuma bisa memakai baju merah, cuma bisa melafal kata solidaritas di lidah, tangan kiri saya cuma terkepal lemah. Itu, sama sekali tidak membantu, tidak membawa perubahan apa2 untuk mereka yang di Burma, untuk mereka korban 65, korban Mei 98, korban lumpur! Saya ingin tanya, apa yang telah Anda lakukan untuk mereka yang tertindas? Berbagilah dengan saya, please!

Rabu, 26 September 2007

KOPAS: Kami Menganiaya Atas Nama Tuhan

Bukan karena lagi puasa maka gw ikut2an nulis2 soal agama. Bukan pula karena ngikut2 blognya Bang Jarar. Bukan juga untuk memicu dan memperlebar konflik. Lagian, ini bukan tulisan gw. Ketika membaca tulisan ini di blognya Uyo, gw ikut terbakar amarah sendiri. Gw muak pada kelakuan orang2 yang sok membela Tuhan, sok mengerti Tuhan lalu berkeliling mengajak ke jalan --yang katanya-- kebaikan. Tapi di belakangnya, pengikutnya bersenjatakan tombak, batu, parang dan ayat suci, menciptakan teror dan kerusakan bagi sesamanya manusia, sesamanya ciptaan Tuhan.
Jadi, atas seizin dia yang gw sebut sapi tersayang yang bisa sms, gw kopas utuh tulisannya ke sini....

Kami Menganiaya Atas Nama Tuhan

Sudah sekitar dua tahun 141 orang mengungsi di wisma Transito, Mataram - Lombok, Nusa Tenggara Barat. Para pengungsi itu terusir dari tempat tinggalnya dan terjarah harta bedanya karena mereka adalah pemeluk Ahmadiyah.
Fatwa MUI yang keluar sekitar September 2005 menyatakan Ahmadiyah adalah aliran sesat. Fatwa ini seolah menjadi pembenaran muslim Indonesia kebanyakan untuk mengusir, menganiaya dan menjarah harta benda pemeluk Ahmadiyah. Kasus di Lombok adalah salah satunya.
Salah satu anak jemaah Ahmadiyah, SolehatunNissa menderita lumpuh layu, tetapi orang tuanya tidak dapat mengobati anaknya, masalahnya adalah biaya. Mereka tidak lagi mampu membiayai pengobatan anaknya.
Semenjak diusir warga, Nasifuddin, ayah SolehatunNissa kehilangan tempat tinggal dan mata pencahariannya. Untuk menyambung hidup, ia menjadi buruh panggul di pasar dan mendapat pendapatan sebesar tiga ribu hingga empat ribu rupiah per harinya.
Begitupula musibah yang menimpa Marfuddin, salah satu jemaah Ahmadiyah. Ia diusir dari rumahnya pada tahun 2005. Kesaksiannya menyatakan bahwa yang mengusir adalah kepala desa, camat dan kapolsek setempat.
"Pokoknya orang Ahmadiyah ga boleh tinggal !" begitu ia menirukan sang pengusir. Ia melawan karena tahu akan haknya, tetapi ia tak berdaya. Harta bendanya habis dijarah. Banyak pula jemaah lain yang dihancurkan rumahnya bahkan dibakar. Hanya karena mereka berbeda.
Para pengungsi Jemaah Ahmadiyah lalu menyingkir dan ditampung di wisma Transito oleh pemerintah setempat dan mendapat jatah hidup. Namun semenjak Januari 2007 bantuan tersebut pun dihentikan dengan alasan "kita serahkan ke tingkat provinsi". Melempar tanggung jawab?
Kondisi pengungsi pun memburuk. Maka, ada pengungsi yang makan talas, atau ubi sisa dari pasar. Tidak ada lagi bantuan beras.
Pada 2005 saat MUI menyatakan fatwa tersebut, jemaah Ahmadiyah diputus sesat secara sepihak.
MUI di Lombok menghimpun dukungan dari massa dan mengumpulkan tanda tangan dari beberapa pihak, tapi tak pernah meminta dari pihak Ahmadiyah mengutarakan pendapat, berdebat. Dialog tidak pernah ada.
Kondisi ini mengingatkan penulis akan tragedi yang sama terjadi tahun 1965, ketika barisan massa Islam bersatu dengan militer melakukan pembantaian terorganisir atas orang-orang PKI atau yang dituduh PKI tanpa proses pengadilan. Histoire se repete. Sejarah memang berulang dengan sendirinya.
Bukan kapasitas penulis untuk memutuskan apakah Ahmadiyah sesat atau tidak. Tapi setahu penulis, Tuhan mengajarkan agar kita tidak berbuat secara berlebihan. Namun kerusakan yang terjadi sudah sebegitu besar. Jika ini yang terjadi, apa bedanya muslim Indonesia dengan suku Quraisy Mekkah saat masa Rasulullah hidup, yang memboikot sesamanya yang memeluk Islam dan mengakibatkan mereka terusir dari Mekkah?


Saat ngobrol dengan sapi tersayang (hebat kan, sapinya bisa ngobrol), gw cerita saat dulu gw pernah berinteraksi sesaat dengan orang2 Ahmadiyah (yang, bencinya, harus terputus begitu saja gara2 kantor ga ngasih ijin gw ikut acara dialog tiga hari tiga malem karena ada tugas lain). Yang gw tangkap ketika itu, ada kehati2an dalam diri mereka, ada ketertutupan, dan tentu saja trauma. Siapa yang ga trauma jika mereka mengalami penganiayaan dan pembantaian saudara sendiri hanya karena keyakinan yang berbeda?

Yang gw tau, mereka itu orang2 bersahaja, yang selalu pake logika dalam berucap dan bertindak. Mereka orang2 yang asik diajak diskusi. Mereka cukup berilmu dan gw belajar dari mereka. Yang gw ga abis pikir, apa sih yang salah dari mereka? Rasanya semuanya baik2 aja, ya pikirannya, ya kelakuannya. Mereka ga reseh dan ga pernah ngomong yang ga2 soal keyakinan orang lain. Karena soal keyakinan, memang urusan personal masing2 dengan penciptanya.

Apa salah jika orang lain beda ma kita? Apa setiap orang yang beda ma kita, harus dianiaya, dibantai, dimusnahkan? Kenapa harus membela Tuhan dengan cara seperti ini? Apa iya, Tuhan harus dibela? Bukankah DIA itu, MAHA? Mo ngapain aja pasti DIA bisa! MembelaNYA dengan cara seperti itu, apa itu bukan justru sebuah penghinaan? Kalo yang kek gini masih terus berlanjut, isi dunia ini nanti cuma satu macam, yaitu orang2 sok pinter, sok bener, sok kuasa dan sok jadi pembela Tuhan. Apa asiknya dunia kek gitu?

Rabu, 19 September 2007

Bapak Pembangunan Koruptor No 1

Memang hebat pak tua satu ini! Kalo di Indonesia zaman dulu dielu2kan sebagai Bapak Pembangunan (yang bikin bapak gw muntah2), kini predikatnya bertambah. Predikat barunya itu adalah pemimpin politik dunia yang diperkirakan mencuri kekayaan negara dalam jumlah berkisar 15-35 miliar dolar (atau sekitar Rp 315 triliun kalo pake kurs Rp 9.000 per dolar). Bapak yang barusan senyum2 karena menang Rp 1 triliun atas gugatannya ke TIME ini, ternyata juga kepala negara terkorup di dunia.

Ga maen2, karena yang merilis ini adalah PBB dan Bank Dunia untuk bisa menemukan kembali harta yang dicuri. Dan...hei, pengacara Soeharto, Muhammad Assegaf bilang, dia kaget atas pengumuman itu. "Wah, itu suatu hal yang sangat aneh. Sangat aneh buat saya, kalau satu institusi semacam PBB mengurusi hal-hal harta kekayaan negara semacam ini. Biasanya PBB bisanya konsen dan cepat bereaksi kalau ada menyangkut hak asasi manusia dan penyiksaan," katanya.

Gw juga ngerasa aneh lho, ada orang komentar kek Assegaf itu. Itu kan kasus pencurian dalam jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit! Mencuri milik orang lain sehingga orang itu jatuh miskin bahkan meninggal dunia dalam kesengsaraan, meninggal dalam keadaan berdarah2 disiksa tentara karena mempertahankan tanahnya yang mo dijadiin aset sama Soeharto, apa cara2 memperoleh kekayaan dengan cara seperti itu bukan pelanggaran HAM, bodoh?

Asssegaf juga bilang, dia curiga ini masih berkaitan dengan kekalahan TIME yang kebetulan pengacaranya adalah Todung Mulia Lubis, yang juga memimpin organisasi anti korupsi, Transparansi Internasional di Indonesia. Yaelah..., kalo negara yang disebut2 cuma satu yakni Indonesia, dan cuma ada nama Soeharto, gw mungkin percaya. Tapi kan ada 10 negara, ada 10 nama di sana. GR amat sih kalo dibilang ini gara2 TIME kalah ma Soeharto? :p Jadi, mau menggugat PBB dan Bank Dunia nih, Pak? Mau skalian ditelanjangin di sana?

Oh iya, pas nulis postingan ini, gw digangguin via ym ma temen gw. Ini obrolan konyolnya:

Bli suka iseng: Wartawan yg mau buka puasa bersama NURDIN HALID, isi Form, daftar, akan ada pembagian Minyak Goreng BULOG
Yang diisengin: anjing! sorry....wartawan anti korupsi nih....make minyak goreng dari nurdin halid bakal bikin kolesterol naik tinggi
Yang diisengin: percaya ma gw!
Bli suka iseng: Sekalian THR nya
Yang diisengin: beli baju lebaran dari THR nurdin? kena campak lu, kayak dewi persik :p mau?
Bli suka iseng: Ada DOORPRIZE nya lho...nonton pertandingan tennis Wismilak 2007 di Bali
Yang diisengin: yeee....ga tau ya, doorprizenya abis di kasih jampi2 ma ki gendeng, pas nonton, bola tenisnya mantul ke mata penonton
Yang diisengin: aaaaaaaaaahhhh...sibuk bener sih promosiin nurdin? dapet nasi bungkus ya?
Yang diisengin: eneg gw, tau!
Yang diisengin: eh, tapi kalo dia ngasih tiket mudik bolak balik....sini deh =))
Bli suka iseng: HADIAH UTAMANYA. nonton latihan PSSI di Argentina
Yang diisengin: nonton ke argentina, pulangnya ga dijamin! lo dijadiin TKI ntar, trus dibantai sama majikan lo
Yang diisengin: mauuu????????? x-(
Bli suka iseng: *ngakak sejadi2nya
Yang diisengin: ih...Bli ini...ngeselin!
Bli suka iseng: *ngakak lagi

Lanjut postingan tadi; Kenapa sih, ga membiarkan Soeharto, Tommy Soeharto dan Nurdin Halid reunian di penjara aja? Mr Presiden, berani ga?

Rabu, 12 September 2007

Soeharto Ngasih Duit, Gw Ambil ga?

Ada yang sedang seneng tuh, senyum2 terus katanya. Maklum, mantan presiden ini baru aja memenangkan gugatan atas majalah TIME Asia. Tahun 99, majalah bertiras paling besar itu menurunkan hasil investigasinya berupa harta kekayaan Soeharto yang konon katanya (dari kalkulasi bukti-bukti yang diperoleh TIME) sebesar 15 miliar dolar atau Rp 142,5 triliun. Bener ga tuh ngitungnya? Ah, taulah, pokoknya, karena kekuasaannya bueessaarrrr, jadi duitnya juga buanyyyaakkkk!!!

Saking kayanya, konon real estatenya sekitar 3,6 juta hektare. Hah! Bayangin, luasnya kek apa tuh? Hampir separohnya Timor Timur? Wooo...kaya skaleee...! Ga heranlah kalo banyak yang berebut pengen masuk dalam lingkaran klan Cendana itu. Tujuh turunan hidup terjamin! Ga usah repot2 mikirin ngatre minyak tanah, mo lewat tol mana hari ini, mo pake kendaraan apa hari ini; mobil, motor dan pesawat udah tersedia.

Tapi, setelah majalah TIME yang membahas soal kekayaan Soeharto itu terbit, mereka ga terima dan menggugat. Kalo ga salah gw pernah ngeliat bantahan Soeharto di tipi, katanya mereka ga punya rekening-rekening di mana itu, di luar negeri pokoknya, seperti dilaporkan TIME.

Untunglah ketika itu pengadilan masih WARAS. Di Pengadilan negeri sama pengadilan tinggi, keluarga Cendana kalah dan TIME menang. Tapi...yang barusan kemarin, aih aih... yang dimimpi2kan akan lebih bijak, ternyata kurang waras juga. Mahkamah Agung malah memenangkan gugatan Soeharto dan TIME wajib membayar ganti-rugi Rp 1 triliun kepada Soeharto.

Ouh God, banyak kali uang segitu tuh! Mo bikin perusahaan media 100 biji juga bisa! TIME bisa bayar ga ya? Aduh...kalo kek TIME aja bisa digugat segitu besar dan MENANG, apatah lagi media2 lokal? Untunglah kemaren pas kasus TEMPO, orang2 di pengadilan lagi WARAS. Apa jadinya medianya Ndoro itu kalo gugatannya TW dimenangkan? (Hai, Ndoro, gimana kabar Diajeng? :d)

Tapi bukan cuma itu yang menarik buat gw. Sebagai rakyat Indonesia, gw sedang berdebar2 menunggu pembagian duit. Kok? Hiks...iyah, katanya Soeharto bernadzar, kalo gugatannya pada TIME dimenangkan, Soeharto akan membagi-bagikan seluruh uang kemenangan yang jumlahnya mencapai Rp 1 trilyun untuk kepentingan rakyat Indonesia.

Kata Juan Felix Tampubolon, Soeharto inget nadzar itu dan tetap akan mempersembahkan uang tersebut untuk rakyat Indonesia. Duit Rp 1 triliun nanti rencananya dibagi-bagikan untuk kepentingan pendidikan, budaya, sosial dan segala macam kepentingan yang menyangkut kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Hmm....gw sebagai rakyat, dapet juga ga ya? Eh, eh...nanya dong, kalo gw dikasih duit ma Soeharto, gw ambil ga ya?



*saat semua orang tiba-tiba menjadi puitis berucap dan pandai merangkai kata, gw cuma bisa bilang: Selamat menjalankan ibadah puasa. Maafin kalo ada salah2!

Minggu, 09 September 2007

Malu Dikalahkan Philipina

Gedung sirkus senayan akan direnovasi katanya. Biayanya Rp 40 miliar. Apanya yang harus dibenerin sih? Masa kerusakannya segitu parah? Mereka bener2 ga punya sense of crisis. Hasilnya pun ga pernah dipertanggungjawabkan. Tendernya tertutup.

Belum bicara soal anggaran jalan2 ke luar negeri. Ke daerah2 juga, selain menggunakan anggaran dari APBN, mereka juga dibekali uang saku dari departemen. Pulangnya, masih juga bawa buah tangan dari daerah. Mo berupa buah beneran (inget kasus kiriman duku Palembang 50 kardus) atau oleh2 mentah, dalam bentuk duit.

Sense of crisis? Gimana mungkin? Mereka kan ga pernah ngerasain antre beli minyak tanah. Ga pernah berjejal di bus kota. Masuk tol aja gratis. Hidupnya ditanggung negara dari ujung kepala ke ujung kaki, dari dapur, wc, hingga halaman. Dapet dana pensiun pula, walopun kerjanya cuma duduk, diem, minta duit dan berkelahi, selama paling dikit lima tahun.

Baru tahun lalu, gedung sirkus itu juga dipagerin. Biar tidak mengganggu tuan2 yang ada di sana. Biar tikus-tikus yang ada di dalem tetap tenang menggerogoti kursi-kursi. Biar orang- orang yang udah capek ngantri minyak tanah tak bisa leluasa masuk ke sana meneriakinya.

Gedung berlantai 24 belum dirasa cukup aman sehingga harus dipagarin tinggi-tinggi dengan biaya Rp 20 miliar. Kalo sekarang mau renovasi senilai Rp 40 miliar, hitungannya masih kecil ya? Pager aja Rp 20 miliar.

Belum puas mereka kalo posisi Indonesia cuma di urutan kedua negara terkorup di Asia. Malu kalo kalah sama Philipina.



* aaahhhh...tulisan macem apa ini? kok gw jadi begini males buat nulis lagi? helppp.... :(