Senin, 27 Agustus 2012

Saat Setan di Sampang Dilepas dari Kerangkeng

Usai puasa dan lebaran, rupanya setan-setan yang sebelumnya dikerangkeng, sudah dilepas kembali. Setan pun beraksi dengan brutal. Membunuh pengikut Syiah di Sampang dan melukai sejumlah orang, menjarah harta mereka, melarang anak-anak bersekolah, dan mengancam akan memperkosa kaum perempuan.

Mereka katanya bergerak demi penegakan syariah, demi akhlaq. Mereka menganggap Syiah bukan bagian dari Islam, maka pengikutnya harus dienyahkan dari muka bumi. Saya tak tahu, mereka Islam aliran apa sehingga bisa bertindak sebrutal itu. Padahal, sebagian dari mereka, justru memuja Ahmadinejad, presiden Iran yang merupakan pengikut Syiah.

Mereka tak puas jika Tajul Muluk, pimpinan Syiah di Sampang hanya jadi terpidana dan dipenjara. Jadi, kemarin mereka menghadang para orangtua yang akan mengantar anak-anaknya kembali ke sekolah. Lihat, bahkan anak-anak itu pun dirampas haknya untuk mendapatkan pendidikan. Lalu rumah pengikut Syiah dibakar, sapi-sapi dan hartanya dijarah. Naudzubillah. Begitukah ajaran Islam? Padahal, katanya, Rasulullah tetap berteman dan membuka ruang dialog dengan kaum Nasrani. Bahkan tetap mendoakan kaum Yahudi yang meludahi dan melempar kotoran ke rumahnya. Sikap yang sama juga dilakukan Umar Bin Khattab, yang menolong kaum Yahudi.

Tapi di Sampang, setan-setan yang dilepaskan dari kerangkeng, sudah dibutakan mata dan hatinya. Ibunda Tajul Muluk, yang bukan Syiah, ikut diserang hingga kondisinya kritis. Padahal, dalam kondisi perang pun, Rasul tak membolehkan perempuan dan anak-anak disentuh! Sementara di Sampang, sama sekali bukan perang. Mereka berhadapan dengan saudara sendiri.

Yang menyedihkan, Hamamah alias Muhammad Chosim, sahabat Tajul Muluk, dibunuh dalam penyerangan kaum Syiah kemarin. Padahal, orang ini, menurutku (setelah membaca kesaksian Umi Kulsum, istri Tajul Muluk) adalah seorang yang benar-benar pengikut Rasulullah Muhammad SAW. Hamamah seorang yang lembut hatinya, anti kekerasan, dan selalu mengingatkan kawan-kawannya untuk tidak membalas perlakuan orang-orang anti-Syiah, tapi tetap menyapa mereka yang membencinya. Bukankah sikapnya itu sama dengan teladan Rasulullah?

Lalu kemana polisi berseragam coklat dan polisi moral bernama ulama (mayoritas)? Kemana tuan presiden jika ada kekerasan seperti ini? Ah, semua juga tau, presiden hanya bisa bilang 'prihatin'. Orang2 kementerian agama? Mereka bukan kumpulan orang yang bisa dipercaya karena dana kitab suci pun mereka tilep. Polisi? Semua pun tau, di sana sarang maling.

Rasanya, tak salah jika saya mengkhawatirkan masa depan anak-cucu saya seperti kata seseorang di twitter: "bahkan nanti anak dari anak kita bisa dibantai oleh para pemakan nasi hanya karena anak kita suka makan roti." Begitu banyak orang yang tak bahagia dan ingin mengusik hidup orang yang memiliki keyakinan berbeda.