Sabtu, 21 Februari 2004

Membaca dan Menulis

Senin, 9 Februari 2004
Aku suka sekali mengingat-ingat saat kecil dulu dan sampai sekarang tentang kesukaanku membaca. Meski sekolah di kampung dan harus berjalan kaki sekitar satu kilometer, yang jarak tersebut dulu tak ada artinya, tapi sekolah SD-ku punya perpustakaan yang cukup lengkap dengan buku-buku cerita. Bahkan hampir tak ada buku wajib karena buku wajib hanya disimpan di lemari kelas masing-masing.

Buku wajib atau kami sering sebut buku cetak itu akan dibagikan setiap awal tahun ajaran dan wajib dikembalikan pada akhir tahun ajaran. Seperti tulisan yang tertera di sampul belakang buku wajib itu, bunyinya kurang lebih begini: "Buku ini dipinjamkan kepada siswa dan boleh dibawa pulang. Pelajarilah isinya dan rawatlah buku ini, kelak adik-adikmu akan menggunakannya juga. Wajib dikembalikan diakhir tahun ajaran". Mungkin persisnya tidak seperti kalimat barusan, malah kepanjangan.

Yang jelas, sejak kelas tiga atau empat SD, sejak aku kurang tertarik lagi berlari-lari, main lompat tali yang begitu melelahkan, apalagi harus kena panas dan debu, keringat yang bau dan mengotori pakaian, aku mulai kecanduan meminjam buku diperpustakaan walau masih terbatas dan dibatasi.
Aku bosan dengan buku wajib yang telah kuhapal luar dalam sejak hari pertama dibagikan. Aku selalu haus dengan bacaan-bacaan panjang yang berbentuk cerita, tak hanya ini Budi, Wati dan Iwan sekeluarga yang harus terus dieja.

Aku suka memperhatikan huruf g kecil dibuku cerita itu. Bapak dan guru-guruku di kelas satu mengatakan huruf g itu bentuknya seperti nomor sembilan dan huruf kapitalnya seperti nomor enam. Tapi yang kudapati di buku-buku cerita justru seperti angka delapan atau nol disusun dua seperti pada tulisan tangan kakakku. Atau di potongan-potongan koran dan majalah yang dipaksakan Bapak untuk kubaca. Katanya, membaca akan membuatku mengenal dunia dan paham arti kata-kata lebih banyak.

Sebelum sekolah aku telah diajari membaca dan menulis. Dibawah penerangan lampu gas (yang kini banyak digunakan di gerobak-gerobak bakso), di rumah panggung tempatku tinggal, setiap malam Bapak mengajarku mengenal, mengeja dan menulis huruf arab dan latin. Tintanya adalah air di kobokan, pensilnya adalah telunjukku, dan kertas atau bukunya adalah papan rumahku yang warnanya kecoklatan tanpa pernis, dan penghapusnya adalah angin yang akan membuat tulisan itu mengering, hilang dan bisa ditulisi lagi.

Aku senang-senang saja bisa bermain air dan belajar membaca sambil membayangkan nanti aku tak akan hanya sekedar mendengar dongengan nenek yang menirunya dari buku sastra daerah, tapi aku bisa menggantikannya mendongeng dengan bacaanku di sekolah.

Jadilah aku dan seorang ponakanku yang laki-laki peminjam buku paling sering dan paling banyak di perpustakaan sekolah. Mendebatkan buku-buku bacaan kami hingga saat kami kuliah pun masih terus kami lakukan. Selain suka debat, dia juga mengambil jurusan filsafat di IAIN yang kata orang dikampung telah membuat anak itu gila dan murtad. Tuduhan yang sama juga ditujukan padaku yang jarang sholat. Jadilah kami berdiskusi panjang.

Kupikir waktu itu justru perpustakaan yang kewalahan melayani peminjamanku karena setiap buku baru tak akan lewat satu pun. Ponakanku lebih curang, dia kadang membawa buku ke rumahnya dan tidak mengembalikannya lagi. Jadi kalau sore, biar tidak kalah daftar bacaan, aku ke rumahnya untuk numpang membaca.

Jeleknya, aku sering membaca buku cerita saat pelajaran berlangsung dan tidak mendengar penjelasan guru. Aku malu saat ketahuan dan dimarahi di depan kelas, walau pun aku juga protes dalam hati kenapa harus dimarahi padahal aku tetap bisa menjawab pertanyaan yang diajukan meski sambil membaca buku lain?

Aku pernah membaca satu buku yang diselipkan di rak buku kakakku yang saat itu sekolah di pesantren jauh di kabupaten lain. Bagaimana aku tidak penasaran jika buku itu berjudul "Sebuah Pengakuan"? Aku ingat, aku membacanya setiap sore menjelang magrib, saat rumah sepi, di beranda belakang dengan perasaan takut bercampur senang.

Aku takut ketahuan, tapi aku senang karena buku itu penuh misteri bagiku. Buku tentang dunia manusia yang berumur jauh diatasku. Tentang perubahan-perubahan yang mungkin juga akan kualami kelak sebagai perempuan.

Tapi waktu itu aku betul-betul belum paham mengapa seorang perempuan bisa hamil hanya karena berpelukan dengan lawan jenisnya dan buku itupun hanya menjelaskan samar-samar. Cerita itu berakhir sedih, tokohnya meninggal saat kesadaran baru menghinggapi orang-orang di sekelilingnya. Dia meninggal dalam kesendirian, setelah mempelajari sendiri bagaimana perilaku orang yang berjalan lurus dan bagaimana manusia pendosa lain di sekitarnya.

Kenangan pada buku itu yang selalu membuatku takut pada kesendirian, apalagi saat senja beranjak menjemput malam. Juga menimbulkan ketakutan untuk berdekatan dengan lelaki, takut hamil dan mati dalam kesendirian dan kesadaran yang datang terlambat. Sangat mungkin sekali sifat tomboyku timbul hanya untuk menutupi kepengecutanku.

Tapi buku itu juga mengajarku menuliskan perasaan-perasaan pada sebuah buku catatan harian, hingga kini. Walau pun berkali-kali aku berhenti karena diari itu dicuri dan dibaca orang lain. Pernah pula passwordku di komputer terbongkar saat aku menulis diari di file-file rahasia. Karena pengalaman buruk itu, aku pernah dengan bodohnya berbohong pada diariku dengan menuliskan kisahku yang baik-baik saja agar kalau terbaca orang lain tidak terkesan malu-maluin banget. Aku menjadikan diriku pahlawan di diariku sendiri, penuh kebohongan, The Hero yang benar-benar bodoh.

Kini jika kuingat-ingat kembali, aku bisa memaklumi mengapa orang begitu tertarik membuka- bukanya juga dengan sembunyi-sembunyi sebab semua buku harianku kuberi sampul dan nama file 'sebuah pengakuan'. Pasti orang-orang berpikiran kotor itu mengira catatanku sebagai pengakuan dosa, pengakuan kehamilan atau sejenisnya.

Di SMP, kebiasaanku tidak berubah. Walau kini bacaanku bukan lagi bacaan cerita kanak-kanak dan setengah dewasa seperti buku-buku NH Dini. Sepupuku yang pindahan dari Bogor selalu meminjamiku buku-buku karangan Enyd Bliton dan cerita-cerita anak-anak Inggris serta Donal Bebek dan lain-lain.

Tapi di rumah tanteku yang kutinggali saat itu, aku sempat dimarahi dan diingatkan untuk tidak terlena dengan pinjaman buku-buku itu. Katanya, sepupuku sengaja berbaik hati meminjamiku buku agar aku tidak punya waktu untuk belajar. Tega sekali tuduhan itu. Lama baru aku perhatikan, larangan itu mungkin ada benarnya sebab aku ditumpuki pinjaman buku selalu menjelang ujian tapi saat libur tidak dipinjami sama sekali.

Aku juga mulai terhasut oleh beberapa guruku yang mengatakan sebenarnya aku bisa rangking satu dikelas kalau saja aku mau sedikit lebih ngotot dan berani ngomong. Karena katanya lagi, pada mata pelajaran tertentu aku lebih pintar dari sepupuku itu. Akhirnya sesekali buku-buku pinjaman itu kudiamkan saja di rumah dan mengembalikannya beberapa hari kemudian seolah-olah aku telah membacanya. Kalau sepupuku bertanya bagaimana jalan ceritanya, aku mengiyakan saja semua perkataannya dengan sedikit anggukan, toh aku memang sudah dikenal diam dan tidak banyak bicara.

Sebenarnya penyebab utamanya, aku sedikit dendam pada seorang guru laki-laki muda belia yang mengatakan aku bisa rangking dua di kelas hanya karena aku dekat dengan sepupuku yang pintar. Bodoh sekali orang itu, kelewatan! Aku marah dan berusaha belajar keras tapi rangkingku tetap dibawah sepupuku. Mungkin karena ambisiku dilandasi dendam pada guru, orang yang katanya harus dihormati.

Tapi kalau ingat semuanya, sebenarnya aku juga bersyukur dipinjami buku-buku oleh sepupuku itu. Apa jadinya otakku jika di usia SMP aku membaca karya-karya Freddy S yang berbau mesum dari awal hingga akhir itu. Buku Freddy S banyak dikoleksi di perpustakaan SMP-ku. Sableng kan? Pantas pula ada guru yang sedikit berotak mesum di sana.

Kalau dari buku 'Sebuah Pengakuan' aku belajar menulis diari, dari buku Enyd Bliton aku belajar menulis cerita. Pikirku, betapa enak jadi penulis, bisa mencipta tokoh semaunya, seperti George yang ternyata penjelmaan Enyd Bliton. Aku juga suka konyol menyamakannya dengan diriku, karena aku juga anti terhadap pakaian perempuan bernama ROK.

Di SMA, aku satu-satunya anak kelas satu di sekolahku kata penjaga perpustakaan yang selalu ke sana untuk membaca saat jam istrahat. Kali ini bacaan favoritku (dan karena itu koleksi terbanyak di perpustakaan SMA) adalah biografi tokoh-tokoh besar nasional dan dunia. Di luar sekolah aku rajin membeli majalah remaja (yang aku muak dengan cerita cintanya) dan melahap Agatha Christy di perpustakaan SMP yang dikepalai seorang pamanku.

Kini dengan bacaan zaman SMA itu, termasuk majalah dengan cerpen cinta konyolnya, aku mencipta cita menjadi wartawan atau penulis. Aku mulai menulis puisi, essay dan melanjutkan menulis cerpen yang kumulai dari SMP. Tapi tololnya, aku begitu malu jika ada yang membacanya, jadi semua kucampur dalam diari.

Sampai suatu hari ada guru dan kakak kelasku yang membaca coretan-coretanku dan akhirnya memintaku membuat pamflet untuk acara porseni, serta tulisan-tulisan untuk majalah dinding (mading). Tapi aku marah sekali saat melihat puisi dalam bukuku dicoret-coret dan diganti kata- katanya.

Siapa pun dia, entah guru atau kakak kelasku, aku menyumpahinya terlalu lancang dan tidak menghargai hasil karyaku. Apa haknya mengedit puisiku? Kalau tulisan biasa, mungkin aku maklum. Aku pun sebenarnya tidak puas hanya diminta membuat pamflet, kenapa bukan mading? Dan kemana tulisan serta cerpen yang telah kubuat itu dengan tema percobaan lima hari sekolah? Aku juga kesal karena pembatasan tema itu, bodoh sekali pikirku, bisakah pikiran dipagari dengan tema? Bukankah itu pengekangan juga? Terlalu mengagungkan tema hanya karena euforia.

Tapi waktu itu aku juga bingung sekali, apa sih arti protesku itu? Bukannya malah aku yang bodoh karena terlalu pemalu, tertutup dan tidak berani mengeluarkan suara sedikitpun? Tapi bukankah satu kata dalam tulisan lebih berarti dibanding 1000 kata yang terpendam? Dan aku tidak hanya menulis satu kata tapi banyak kata. Mungkin benar kata sebagian temanku, aku hidup dalam duniaku sendiri dan hidup dalam bacaan-bacaanku, hingga kini.

=============================================

Minggu, 8 Februari 2004

Bau Kepentingan

Siang tadi seorang kawan, laki-laki, mengirim sms padaku minta ditelfon balik. Kutelfonlah dia. Katanya dia ingin menangis, bingung, tak tahu lagi caranya mendapatkan uang. Mungkin sudah 10 buah handphone kawan lain yang telah digadaikannya, tapi uang yang didapat belum juga cukup.
Sementara kawan-kawan dari berbagai daerah negeri ini telah berdatangan ke kotanya. Mau diberi makan apa? Dulu acaranya direncanakan akan berlangsung di Riau, sebuah bagian negeri yang kaya.

Tapi batal!
Sebabnya, seorang yang dianggap kawan, yang pernah berjanji siap menjamu mereka ternyata caleg Golkar di Riau sana. Terlalu murah tenaga dan pikiran kawan-kawan untuk ditukar dengan fasilitas pertemuan, urun rembuk dari kantong seorang caleg yang masuk agenda acara untuk dibubarkan partainya. "Karena itu acara terpaksa dipindahkan ke ibukota berbekal hasil ngamen dan melego handphone," ujar kawanku itu.

Dia pun bercerita lagi, kemarin dia mendatangi seorang yang dianggapnya Abang sejak jaman perjuangan dulu, yang pernah bilang siap membantu apapun, ide, ilmu, apalagi kalau hanya urusan logistik.

Ternyata mereka siap membantu jika kawan-kawan mau bergerak, menggelar demonstrasi menuntut Akbar Tanjung dipenjara. Bangsat, meski tujuan kita sama, mereka selalu mengikutkan kepentingan busuk mereka yang berbau kekuasaan. "Ya, terpaksa ditolak," kata kawanku.

Kemarinnya lagi, dia mendatangi Abang yang lain. Si Abang pun bersedia, tapi kawan-kawan harus menggelar aksi golput. Sekali lagi, tujuan kita mungkin sama, tapi kepentingan kita beda. Mungkin kau menyimpan harapan, funding-mu di luar sana tetap mengucurkan lembaran dollar dan kami akan menjadi anak jalanan berlabel kelompok mahasiswa bayaran. "Tawaran itu pun kami tolak," ujar kawanku lagi.

Kini kawanku mengetuk pintu hati setiap kawan yang mulai belajar mengumpulkan rupiah, berharap semoga hati mereka belum berbalik seperti para Abang. Tapi bisa dimaklumi, tak banyak yang bisa diharap dari kawan yang baru mulai merangkak ini.

"Gimana dong ti? Harga diri gw doang nih yang belum gw gadai. Bisa nangis darah gw ti!"
Please, jangan gadai harga diri lo, jangan putus asa, jangan menangis, jangan....tut tut tut, klik! Telponku terputus, jatah telpon dari kantor habis, maaf kupinta di sms, hubungan terputus.

Kawanku membalas sms, "Kita memang pejuang yang selalu kesepian, tidak ada yang mau bergerak bersama dan logistik kita selalu diputus dimana-mana. Tapi kita punya semangat dan keyakinan bahwa kita pasti menang. Terus berjuang kawan, Tolak Pemilu, Bubarkan Golkar, Bentuk Mahkamah rakyat!"
Aku diam tak membalas sms-nya, hanya teringat motorku yang belum laku terjual.

NB:
Saat memasukkan tulisan ini, Akbar Tanjung hidung pinokio bangsat dibebaskan oleh MA (Mahkamah Anjing) buta yang telah tergadai. Inilah kekalahan terbesar rakyat yang bakal terus dipimpin para pencuri. Orang pinter ngusulin PK. Apa artinya? Kenapa nggak di eksekusi aja dua cecunguk Akbar yang lain? Kalau mereka punya perasaan dizalimi, mereka akan bernyanyi, menyanyikan keterlibatan Akbar, dan pintu penjara pun menanti. Kecuali kita memang lebih senang dipimpin pencuri!!!