Senin, 27 April 2009

Mengapa RI 1 atau RI 2 harus dari timur?

Waktu kecil dulu, kedatangan mahasiswa yang akan melakukan praktek Kuliah Kerja Nyata (KKN) selalu menjadi momen yang dinanti. Mereka disambut melebih artis atau pejabat. Perpisahannya apalagi. Selalu diwarnai tangis haru, pelukan erat, di akhir pementasan drama anak-anak sekolah malam hari. Dan esoknya, isak tangis di tanah lapang yang berubah jadi pasar, kembali berulang. Di sana segala macam kardus berisi makanan khas buatan warga desa serta hasil kebun berupa buah dan sayur, siap diangkut ke truk milik mahasiswa.

Apa pasal? Selama di desa, mahasiswa KKN ngajarin ibu2 dan remaja putri berbagai keterampilan rumah tangga mulai dari bikin kue, masakan 'modern' dari kota, menyulam, menjahit, bikin usaha rumah tangga, dan sebagainya. Sementara untuk anak2, mereka diajari tarian, nyanyian atau pelajaran di sekolah yang tak didapat dari guru2 tua yang tak pernah ke kota dan tak pernah kuliah. Bagi bapak2, mereka diajari cara2 baru bertani. Intinya, mahasaiswa KKN itu dipandang sebagai kumpulan orang serba bisa. Mahasiswaaa...

Tak heran para kepala desa atau lurah dengan rela menjodohkan putrinya dengan mahasiswa KKN. Begitu pula dengan kembang desa, berebut mendapatkan kumbang kota. Walaupun pada akhirnya ternyata mereka dibawa kembali ke desa (lagi) tempat suaminya yang jauh dari kampungnya itu, tapi paling tidak mereka sudah memenangkan 'pertarungan' berebut manusia serba bisa.

Hal utama yang membuat warga desa menyambut mereka dengan suka cita adalah, perubahan yang dibawa mahasiswa itu. Perubahan yang dimaksud umumnya pembangunan fisiik berupa infrastruktur yang akan melancarkan akses orang desa.

Contohnya, yang saya ingat, dulu di desa tetangga yang termasuk salah satu daerah tertinggal, jalannya buruk sekali. Tak sepotong pun beraspal. Suatu hari mereka kedatangan mahasiswa KKN. Salah satu peserta KKN adalah anak gubernur Sulsel saat itu. Dalam dalam tempo dua minggu, jalan2 di desa itu diaspal semua. Ini berkat laporan si anak ke bapaknya. Cerita lain, soal jaringan listrik. Bertahun-tahun kepala desa bermohon program listrik masuk desa, tak pernah digubris. Begitu anak KKN datang, yang salah satunya juga anak pejabat, simsalabim, listrik masuk desa.

Hubungannya dengan judul?
Dari cerita ini ada garis besar yang bisa ditarik bahwa, suatu daerah akan lebih diperhatikan jika ada "oknum" pejabat yang memiliki kuasa di sana. Contoh nyata ya anak pejabat yang ikut KKN. Hanya jangka waktu dua bulan mereka berada di suatu daerah, mereka sudah bisa mengetahui kebutuhan di desa itu [mungkin juga itu adalah kebutuhannya sendiri], lalu meneruskannya ke pihak berkuasa [karena kedekatan], dan mimpi warga desa pun segera terujud.

Harus putra daerah? Oh, nggak juga. Yang penting adalah, dia tahu betul kebutuhan suatu daerah. bagaimana caranya ia tahu, jika ia tak pernah merasakan menjadi warga suatu daerah yang terkebelakang pembangunannya? Lalu, kata Anda, nanti toh ada kunjungan pejabat ke daerah. Sorry, setahu saya, ini sesuatu yang beda. Saat pejabat akan berkunjung, semua hal udah 'dibersihkan' agar segalanya tampak 'beres'. Jalanan diaspal [dan berlubang dua minggu kemudian], rumah kumuh digusur [atau memindahkan kekumuhan ke tempat yang tak terlihat]. Dengan begitu, si pejabat berpikir, apa lagi yang perlu saya benahi di sini? Kesemrawutan dan kemiskinan suudah dientaskan [padahal hanya dipindahkan ke tempat tersembunyi agar bapak senang].

Saya tidak berbicara tentang calon harus dari Sulawesi khususnya di Selatan. Wilayah timur yang saya maksud termasuk Kalimantan. Mengapa? Karena walaupun posisinya sebagian besar di barat, namun kue pembangunan, juga tak terasa di sana. Kondisinya malah lebih terkebelakang dibanding Sulsel meski jaraknya dari pusat kekuasaan di Jakarta lebih dekat. Roda pembangunan nyaris tak bergerak di sana. Apalagi kalau bicara soal Papua. Sudahlah. Harta mereka habis diangkut ke Jakarta, dijadikan sapi perah, tapi mereka tak pernah mencicipi hasil pajak yang mereka bayarkan.

Ini berdasar pengalaman saja, semoga pikiran saya tak menyesatkan. Berubah, itu pasti. Zaman saya KKN, sudah tak begitu heboh. Gegap gempita hanya datang dari murid2 saya di SD yang terletak di tengah kebun coklat (cacao). Di Musyawarah Pembangunan Desa, saya masih dianggap lebih baik jadi moderator ketimbang kepala desa tukang mabok. Sementara KKN zaman sekarang? Terakhir bulan Februari lalu yang saya dengar, mahasiswa malah berantem dengan induk semang, kepala desa dan berujung pada pengusiran mahasiswa. Sementara anak2 pejabat, tidak lagi memilih KKN ke desa tapi magang di perusahaan gede.

Pejabat RI 1 atau RI 2 atau pejabat lain yang saya tunggu adalah mereka yang dari timur, dari daerah yang nyaris tak tersentuh pembangunan. Entah dari Kalimantan, Sulawesi, Maluku, atau Papua. Tak soal pembangunan yang didahulukannya pada wilayah yang memiliki kedekatan hubungan dengannya. Asal warga masyarakatnya ikut merasakan dan diuntungkan oleh mereka. Tapi tentu saja bukan orang macam Abdul Hadi Djamal yang kami tunggu!

Kamis, 23 April 2009

Bagaimana Memilih Manusia Bertopeng Menjadi Presiden?

Tepat di hari terakhir bulan Maret lalu, saya ditugasi menghadiri pertemuan seorang tokoh partai di kawasan pusat bisnis Jakarta. Saya pada dasarnya senang-senang saja sebab berkutat setiap hari di kantor tentu melelahkan juga. Tapi kemacetan lalu lintas di petang hari disertai hujan waktu itu ternyata jauh lebih menyebalkan ketimbang berada di kantor.

Lebih ngeselin lagi, ketika tiba di sana, di ruang yang temaram itu, si tokoh rupanya sedang memberi kuliah panjang kali lebar. Enam tahun di bangku kuliah saya mendengar ceramah yang pada kenyataannya tak pernah berlaku dalam kehidupan. Teori doang. Kebosanan saya makin bertambah karena saya nyaris hapal kalimat-kalimatnya yang setiap hari saya baca dari laporan para wartawan di mana pun dia berkampanye. Ya, tiba-tiba dia yang tadinya jenderal, yang biasa berhubungan dengan taktik, pasukan, dan darah, kini terlihat piawai bicara soal ekonomi dan pertanian.

Wajah beringas dan bau cendana-nya bener2 sudah tertutupi sekarang, Bener kata teman saya, seorang peneliti, sungguh kasihan sebagian besar orang di pelosok Yogyakarta (tempat dia meneliti), bahwa kini si tokoh lebih dikenal sebagai ekonom dan ahli pertanian. Nyaris tak ada yang tau bahwa dulunya ia orang yang tangannya berlumuran darah.

Jika di Yogya dikenal sebagai "petani", mungkin di Kalimantan ia dikenal sebagai pengusaha. Saya ingat tahun lalu ketika harus liputan tentang orangutan di bagian utara Kalimantan Timur, nyaris tak ada orang yang bisa saya temui. Mereka disibukkan menyambut Kapolda yang akan meresmikan perusahaan tambang batubara milik si tokoh tadi.

Lho? Buat saya, agak aneh jika peresmian dilakukan oleh pejabat macam Kapolda. Biasanya peresmian dilakukan oleh gubernur, menteri, wakil presiden, atau presiden sekalian. Tapi di Kalimantan Timur, mungkin memang beda. Perusahaan2 menjadi urusan polisi atau tentara. Tak heran kalau ada yang dipecat (bahasa halusnya pergantian pejabat), pasti karena tersangkut kasus kayu atau tambang. Bagi-baginya ga merata. :p

Lalu bagaimana memilih calon presiden yang tepat jika para calon begitu ambisius dan dengan rela repot mengenakan topeng berlapis-lapis agar tak dikenali ujud aslinya? Syaratnya, ya memang harus mengetahui track record-nya. Tulisan George J Aditjondro yang beredar di milis mengungkap berbagai kejahatan lingkungan yang dilakukan orang-orang yang mengaku putra Indonesia terbaik sebagai calon presiden ini.

Kesimpulannya, dari semua calon yang ada sekarang, tak ada yang layak. Termasuk si tokoh tadi yang telah menguasai lahan-lahan di Papua dan Kalimantan, menggunduli hutannya, menghabisi perut buminya, menghisap sumber hidup rakyatnya. Saat memberi kuliah di kawasan Kuningan malam itu, dengan bangga ia bilang akan membangun perkebunan aren di sana.

Habislah tanah Kalimantan, dibagi para pejabat. Sejuta hektar sawit, sejuta hektar aren, sejuta hektar hutan produksi akasia, meranti, dll. Lalu masyarakat di sana mau makan apa? Makan mentah biji batubara dan sawit, serta minum gula aren atau tuak setiap hari?

Tapi, saya mau ngomong apapun, tampaknya yang akan naik nantinya tetep aja dia lagi dia lagi.