Sabtu, 13 September 2003

Mau Pulang, Kota Ini Banyak Setan

Jumat, 23 Mei 2003

Dua pasang mata anak kecil tak henti mengawasi penumpang yang turun dari angkutan kota, begitu ada angkot menurunkan penumpang, mereka segera mendekat dan menengadahkan tangannya, meminta receh angsuran dari sopir yang diterima penumpang. Ada yang memberi dengan senyum, tapi lebih banyak yang mengibaskan tangan dan berlalu.

Begitulah yang dilakukan Dodi (5) dan kakaknya Mala (10), setidaknya tiga bulan terakhir ini. "Sebenarnya saya sangat tidak suka menjadi peminta-minta seperti ini, tidak bagus!" kata Dodi dengan dialek Makassarnya yang kental. "Capek dan bikin malu," tambah Mala, seraya menyentakkan kaki menyatakan kemuakannya.

Untuk mengurangi kebosanan, mereka suka berkejar-kejaran disela kendaraan yang diparkir di depan hotel seberang pusat perbelanjaan kota ini. Kalau tidak, mereka saling berebut ke pintu mobil yang terbuka atau pintu angkot yang sedang berhenti. "Mainnya tidak lama-lama, bisa tidak dapat uang. Atau sering maceku datang dan melihat kami bermain saja, kami bisa dimarahi," kata Mala. Mace dalam bahasa Makassar berarti mama atau ibu.

Menurut pengakuan kedua anak itu, mereka sebenarnya sangat ingin bekerja pada bidang lain, misalnya berjualan koran. "Kalau bisa kak, bawakan kami koran, nanti dijual. Kalau korannya cepat habis, kami juga bisa cepat pulang dan pasti bawa hasil," pinta Dodi. Selama ini menurutnya, mereka selalu pulang setelah magrib dan harus sudah berada di persimpangan itu lagi pagi-pagi esok hari.

Dodi bercerita, mereka datang ke kota ini setelah lebaran tahun lalu bersama ibunya. Kini mereka tinggal dikawasan Shopping, di sebuah petak kolong rumah seorang kenalan ibunya. "Rumah kami di kolong rumah orang seperti kandang ayam. Besarnya seperti mobil Kijang. Tapi kami tidak sewa, karena yang punya rumah temannya mace," kata Mala seraya menunjuk mobil kijang yang sedang parkir. Dodi memukulnya seraya berkata, "Kalau seperti kandang ayam, kita tidak bisa masuk rumah dong!"

Sebelumnya, mereka bermukim di Kota lain di Timur Indonesia. Tapi menurut pengakuan Mala, mereka terpaksa meninggalkan kota itu karena ibunya terjerat banyak utang. Sedangkan ayahnya suka memukuli ibunya saat mabuk dan menghancurkan dagangan mereka. "Dulu, Maceku jualan mie rebus dan kopi, tapi sekarang termos dan semua barang sudah dihancurkan Bapak saat mabuk," terang Mala.

Menurutnya, setiap orangtuanya bertemu, mereka selalu bertengkar hingga ibunya memutuskan meninggalkan kota lama itu beserta 6 orang anaknya yang lain yang sebagian telah berkeluarga. Mereka menumpang kapal pengangkut kayu dan sampai di kota ini dua hari kemudian. Jika menumpang kapal laut milik Pelni, jarak tempuh biasanya hanya 17 jam.

Ketika ditanya keinginannya untuk kembali ke kota lama, serempak mereka menjawab ingin secepatnya. Menurut Mala, mereka menjadi peminta-minta untuk mengumpulkan uang pembeli tiket kapal yang lebih mahal dibanding kapal kayu. "Kajjala' dudui," kata Dodi, dalam bahasa Makassar yang artinya, terlalu mahal.

Kenapa mau pulang, bukankah disini kalian bisa mendapatkan uang lebih banyak? "Kami tidak betah, di sini kami tidak punya teman, tidak ada keluarga yang bisa kami tempati rumahnya bersembunyi saat mace mau memukuli kami karena tidak dapat banyak uang. Kota ini juga banyak setannya, tiap hari kami melihat orang mati," kata Mala yang dibenarkan Dodi.

Dalam sehari, biasanya mereka membawa pulang Rp 30 hingga 50 ribu yang sebagian dipotong ibunya untuk membeli beras, sebagian lagi ditabung. "Mace punya celengan, dan setiap hari kami diberi 1000 rupiah uang capek. Ongkos Taksi dari rumah ke sini, 1500 untuk dua orang, saya dan adikku," kata Mala. Namun kadangkala mereka hanya mendapatkan Rp 5.000-10.000. Akibatnya, mereka akan dimarahi ibunya yang sehari-hari menurut Mala hanya tinggal di rumah menunggu kedatangan kedua anaknya. "Maceku tidak kerja apa-apa, hanya menunggu uang dari kami," kata Mala sedikit mengeluh.

Lain waktu saat ditemui, Mala dan Dodi mengungkapkan keinginannya untuk segera diajari membaca. "Seperti waktu di Makassar dulu kak, belajar membaca sambil aksi di lampu merah," kata Dodi. Tapi dengan panik Mala berkata, "Tapi bagaimana kalo pengkasilan kita berkurang? Kan bisa dipukuli terus tiap pulang ke rumah?"

Ups...bingung juga! Sama bingungnya saat mereka protes kenapa foto mereka dimuat di koran sebagai contoh anak yang ditelantarkan negara padahal mereka juga butuh pendidikan dan pengajaran untuk melanjutkan perjalanan bangsa ini ke depan. Tapi saat coba mencari anak itu lagi hari ini, mereka tak ada lagi. Mungkin uang tiketnya sudah cukup untuk menyeberang ke kota lain, mencoba mengadu nasib lagi. Bersama seorang ibu yang menyeret dua sumber rezekinya.

**************************************

(Tidak jelas, di tulis entah kapan)

Bersyukurlah

Bersyukurlah apabila kamu tidak tahu sesuatu
Karena itu memberimu kesempatan untuk belajar
Bersyukurlah untuk masa-masa sulit
Di masa itulah kamu tumbuh
Bersyukurlah untuk keterbatasanmu
Karena itu memberimu kesempatan untuk berkembang
Bersyukurlah untuk setiap tantangan baru
Karena itu akan membangun kekuatan dan karaktermu
Bersyukurlah untuk kesalahan yang kamu buat
Itu akan mengajarkan pelajaran yang berharga
Bersyukurlah bila kamu lelah dan letih
Karena itu kamu telah membuat suatu perbedaan
Mungkin mudah untuk kita bersyukur akan hal-hal yang baik
Hidup yang berkelimpahan datang pada mereka yang juga bersyukur akan masa surut
Rasa syukur dapat mengubah hal yang negatif menjadi positif
Temukan cara bersyukur akan masalah-masalahmu dan semua itu akan menjadi berkah bagimu
Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)

Minggu, 07 September 2003

Pembunuh Pemimpin Fasis

Minggu, 7 September 2003
Kata berita pagi tadi, sekolah tinggi pembunuh Jatinangor menewaskan satu orang siswanya lagi. Meski muak dan mual, berita itu bukan hal baru. Hampir setiap tahun ada korban dan sepanjang tahun berikutnya, korban berkeliaran sebagai hantu yang juga siap mencekik pelakunya. Pembalasan dendam mungkin tak mengenal alam yang berbeda bagi yang percaya.

Saat tengah malam buta, ketika para dosen, pembina asrama dan ibu asuh mulai terlelap, hantu- hantu mulai bergentayangan dengan suara pilu menyayat hati seperti derit pedati yang ditarik sapi tua dijalan berbatu.

Hantu-hantu itu mencari para senior yang semalam mencekik mereka, menginjak tubuh mereka, dan membenamkan mereka ke rawa-rawa dekat kampus. Menarik paksa jasad mereka dari ambulans yang meraung mengejar nafas terakhir sang korban.

Wajah senior yang beringas telah dimaklumi yang lebih senior lagi. Katanya demi tegaknya disiplin junior, demi mencetak pemimpin masa depan yang handal, demi solidaritas (tai kucing) kawan asal daerah yang sama, demi wibawa senior dan demi menciptakan generasi Soeharto bin Militer yang harus tetap berkuasa di negeri ini.

Dan hal yang sama juga terjadi di institusi lain, ya sekolah tinggi, ya universitas, sama fasisnya. Seharusnya dengan status mahasiswa, otak mereka jadi lebih berisi, yang terjadi malah otot yang kian kekar padahal bercita-cita sebagai binaragwan pun mereka tak ada tempat karena sikap sportif tak mereka punyai.

Tidak ada bedanya dengan militer yang sering mereka hujat saat aksi. Militer yang kini juga tengah berpesta kekuasaan di Aceh. Inikah wajah pemimpin masa depan yang siap menggebuki rakyatnya saat tak menyetorkan upeti? Inikah penguasa masa depan yang akan menjejalkan nasi basi ke mulut kawulanya?

Sementara wajah ibunda yang kehilangan sang buah hati terus memburam, seperti kaca jendela rumah kosong di seberang jalan yang halamannya ditumbuhi ilalang. Tak ada roh, hanya raga yang berjalan meraba masa depan.

Pupus sudah harapan perbaikan masa depan dari anak yang akan menjadi lurah, camat dan syukur- syukur bupatinya bukan kader partai politik atau purnawirawan. Padahal puluhan ternak telah dijual dan sehamparan sawah di kampung telah tergadai, demi satu kursi seharga Rp 50 juta di sekolah pembunuh itu.

=======================================

Kamis, 31 Juli 2003

Kau Tak Bisa Tanpaku

Tak tahukah?
Kau rusak pagi indahku dengan dering teleponmu
Saat liurku belum kering
kudengar suaramu di ujung telepon
Tersengal nyaris tercekik
Mungkin diburu pulsa sekarat
Katamu kau lelah menyertai langkahku
Hanya bisa nikmati sisa letih ambisiku
Senja tak pernah lagi kau nikmati sejak bersamaku
Sore ini aku bersorak girang
Rinai hujan menghapus semburat jingga kesumba
Tak bersamaku, senja pun enggan kau nikmati

========================================

Selasa, 22 Juni 2003

Manajemen Kanibal

Hampir sebulan lalu aku masih bersama orang itu, meski mungkin hubungan perusahaan kami tidak begitu harmonis karena persaingan bisnis, tapi di lapangan sebagai orang yang seprofesi, aku tetap menganggapnya kawan. Meski beberapa kali dia pun berusaha mencegat jalanku, dengan menendang kakiku dari belakang. Tak mengapa, karena semua orang punya garis tangan sendiri.

Iseng, kutanyakan kabarnya hari ini, dan seorang menjawabnya, dia dipecat! Seorang polisi wanita menjawab pula, dimutasi! Apa pasal? Mengapa jawaban beragam yang kudapat?

Konon kabarnya, pemecatan itu berawal dari hari terakhir kami bersama. Dia tak menuliskan pesanan itu, yang membuat murka sang jenderal, membahayakan posisi Harmoko. Memerahkan muka sang redaktur, membuat malu yang mulia, merugikan marketing. Dan kambing hitamnya dia, kariernya dimatikan begitu saja!!!

Jadilah dia luntang lantung kini, akibat ketakutan orang-orang akan kehilangan jabatan dan muka. Sayangnya, tempat lain pun tak ada yang menerima, karena dia membawa tradisi berbeda. Itu pula yang disesalkan, tak ada keselamatan bagimu. Sayang sekali, padahal rajin banget...!

Katanya, air mata sang polwan menetes saat mendengar derita kawanku kini. Tanpa dipecat pun, balas jasa yang didapatnya tak pernah mencukupi harga susu bayi mungilnya. Apalagi kini setelah dipecat, dia hanya bisa mendengar nyaring tangis sang bayi dengan pilu. Kemana lagi harus menadahkan tangan saat semua wajah berpaling tak sudi karena dulu pun dia tak sudi berpaling tanpa amplop yang tersedia di atas meja, pesanan atasan di kantor sana???