Selasa, 08 September 2009

Enaknya Jadi Anggota Dewan

Kalo ada yang ngamuk-ngamuk karena ga jadi dilantik menjadi anggota DPR dan DPRD, seperti yang terjadi di Parigi Muotong ini, wajarlah. Kalo misalnya anggota DPRD Subang nanti bakal protes dengan alasan, penurunan gaji memalukan daerah, wajar juga. Bukan apa-apa, ternyata jadi anggota DPRD, apalagi DPR itu, memang enak.

Lihat saja, belum seminggu dilantik, bahkan saya yakin mereka belum bekerja sama sekali, mereka udah bisa ngambil gaji duluan macam di Malang dan di Surabaya. Jumlahnya rata-rata Rp 15-16 juta per anggota. Jumlah untuk ketua, wakil ketua, dan ketua komisi tentu lebih besar lagi. Tapi sementara ini disamain dulu karena perangkat pimpinan memang belu terbentuk. Nah lho, bahkan kepengurusan juga belum terbentuk, udah gajian!

Bahkan belum dilantik pun, pelayanan yang diberikan pada mereka, orang-orang yang katanya terpilih ini (ya, terpilih dari balik bilik suara) sudah diberikan secara paripurna (halah, ngerti paripurna juga ga :p). Mereka diinapkan di hotel berbintang selama beberapa hari, katanya dikarantina. Entah dikasih bekal apa. Pengawalan super ketat. Dikasih baju, jas, dll, seperti mereka tak mampu beli sendiri (bisa jadi juga mereka udah kehabisan duit saat kampanye kemarin).

Bagaimana di DPR? Woh, di sini jelas harus lebih wah! Namanya juga di pusat. Biaya pelantikan saja, menghabiskan dana Rp 11 miliar lebih. Ongkos pindahan mereka lebih gede lagi, Rp 26 miliar. Ya, anggota dewan yang berasal dari luar Jakarta, harus pindah ke Jakarta. Duit segede itu termasuk ongkos tiket sekeluarga, pindah rumah, pengepakan dan pengiriman barang. Hmmm...enak yooo?

Pelantikan anggota DPD? Sama saja. Dana yang telah disediakan untuk mereka besarnya Rp 6,6 miliar. Diapain sih dana sebesar itu? Entah.
Mereka, dan yang menganggarkan dana itu, seolah tak ingat, tetangga mereka sedang tertimpa bencana gempa di jawa Barat sana. Saudara mereka tertimpa longsor di Bogor. Saudara mereka tertimpa badai di Serang. Saudara mereka di Papua sana dilanda kelaparan karena dipaksa makan nasi, di luar kebiasaannya. Tak usah membandingkannya dengan sesuatu yang tak begitu nampak misalnya untuk pelayanan pendidikan dan kesehatan.

*tulisan ini juga diposting di Politikana*