Minggu, 05 Oktober 2003

Cuih!!!

Sabtu, 4 Oktober 2003
Lelakiku lelap dalam sedu sedan
Tetes air matanya
membentuk kubangan di jantungku
Perih
seperti siraman jeruk nipis di luka yang menganga
Ingin kubungkam kau dalam pelukku
Tapi wajah ibumu garang menatapku
Dan ayahmu menginginkanku
Cuih
Hanya kata itu yang pantas untukmu
Hei bayi berambut gondrong

====================================

Sabtu, 22 Juni 2002

Kartini Yang Terpasung

Mungkin hari ini termasuk hari yang tidak bisa aku lupakan, walaupun sebenarnya tidak ada yang sangat istimewa, yang ada justru rasa dongkol. Pagi sekali aku berangkat dari rumah, seperti hari- hari kemarin dengan jins belel, kaos oblong, plus kali ini memakai sepatu kets, bukan sandal jepitku yang kian tipis, tas selempang kain bercorak khas Bali, semua warna biru, pun angkot yang kutumpangi.

Tadi, setelah mandi, coba kuoleskan lipstik di bibirku yang tidak terbiasa dan ternyata membuatku tersiksa. Aku sulit mengatupkan bibir dengan lapisan tipis berwarna merah di bibirku itu, dan saat terkatup juga enggan terbuka lagi. Merepotkan dan membuatku tertawa bodoh sendirian di depan cermin. Apa yang sedang kulakukan?

Padahal kadang, saat memakai bedak pun aku sering menghapusnya lagi karena teringat kata temanku, "Ngapain lu pake bedak? Si Anu juga nggak pake bedak bisa cerdas!" Keterlaluan tapi aku suka mengingatnya. Kata itu pun diucapkannya pagi-pagi, sebelum beranjak dari tempat kami merebahkan badan semalam, sementara aku memaksakan diri mandi pagi dalam kantuk yang tetap menyerang. Aku ingin melihat pagi yang berbeda di kota nyiur melambai waktu itu.

***

Satu jam perjalanan ke kampus tak kusia-siakan untuk mencoba tidur lagi, tak peduli rambutku yang tak seberapa panjang --sedang mencoba memanjangkan, entah sebagai perempuan atau lelaki berambut gondrong-- kusut lagi. Toh tak ada yang istimewa hari ini.

Ah, aku baru saja berbohong, hari ini mungkin istimewa bagi sebagian orang, buktinya semuanya tersenyum cerah, berfoto ramai-ramai, bersama bapak, ibu, adik, kakak, pacar, suami bahkan kakek neneknya semua diajak ke kampus. Menyaksikan mereka di wisuda!

Yup, ini hari kampusku menetaskan telurnya, produksi rutin empat kali setahun, menelurkan sarjana pengangguran. Hari ini kulihat semua orang memakai jubah dan toga, berpakaian rapih, baru, seperti lebaran. Para lelaki menjerat leher mereka dengan seutas kain bernama dasi. Para perempuan memasung kaki mereka dengan lilitan kain dan memaku lehernya dengan bongkahan konde yang mungkin lebih berat dari segentong air yang di junjung perempuan desa dari sumber air berkilo jauhnya, di pancuran dekat sawah yang jalannya licin sehabis hujan.

Ah, apa kata Kartini kalau dia hidup di zaman ini? Dulu Kartini memakai kain dan kebaya bukan untuk menonjolkan bagian tubuhnya yang memang bagus dan terpelihara sebagai putri bangsawan. Lilitan kain dipinggul hingga mata kakinya, bukan untuk memasung langkahnya, apalagi pikirannya! Semua harus tetap bebas berpikir, berpikir merdeka!!!

Alangkah mahalnya kebebasan bagi Kartini dulu yang harus menjalani pingitan dan dianggap tak wajar memiliki otak cemerlang hanya karena dia perempuan. Sangat beda dengan kini, mau jalan dengan kaki di atas pun siapa yang peduli? Tapi alangkah terbelenggunya pikiran mereka, seperti kata Pramoedya, begitu mereka membuka mulut, langsung ketahuan tololnya.

***

Melangkah ke gedung yang full dengung ribuan manusia itu, banyak yang melihatku dengan tatapan aneh. Pasti karena pakaian yang dianggap aneh ini! Aku mencari tempat sesuai nomor yang dibagikan dan duduk ditengah orang-orang yang selama enam tahun di fakultas tapi tak kukenali. Acara yang cukup membosankan, penuh formalitas dan tetesan air mata seolah sedang bahagia.

Saat rektor membacakan sambutannya yang dipenuhi kata acceptabiliy, accountability, capability, dan lity lity lain yang begitu sering disebut, aku sedang membaca sambutan tandingan yang terdapat tulisan sebagai catatan kaki: "Sambutan tandingan ini harus dibaca saat rektor membacakan sambutannya". Selebaran yang cukup panjang ini dibuat seorang kawan paling gembel yang pernah kukenal di kampus ini, dengan otak yang cukup mengagumkan. Selebarannya bukan slogan omong kosong, I Like It, dan berpikir seharusnya aku melakukan hal lain untuk pencerahan dan lebih kreatif dari selebaran ini.

Kudengar ada suara orang yang sedang orasi di luar sana, tidak tahan aku keluar sebentar, melewati jejeran orang-orang yang sedang duduk manis yang wanginya semerbak hingga ke balkon. Tapi di luar mereka tak ada lagi, suara mereka dibungkam satpam yang telah didoktrin wisuda harus sakral, tidak boleh ada mahasiswa yang menyanyikan kebobrokan kampus saat tamu sedang mendengar pidato rektor.

Saat ke ruangan lagi, seorang bapak berdiri di podium menyampaikan terima kasihnya atas pendidikan yang telah diperoleh anaknya hingga menjadi lulusan terbaik di kampus ini. Ada air mata lagi dari orang-orang disekelilingku. Sekilas ada nyeri kurasakan, teringat saat ini aku tak ditemani siapapun. Tapi sedikit gembira, paling tidak ibuku tak harus merasa malu menyaksikan putrinya yang tidak bisa memakai lipstik di bibirnya, seperti selama ini sering diobrolkan di acara- acara keluarga.

Ditengah barisan menuju panggung, saat ijazah akan diserahkan oleh rektor, baru kukenakan jubah dan togaku yang sejak tadi kujejalkan di tas selempangku. "Hei, tampil beda ya? Boleh juga," kata rektor menjabat erat tanganku. Yup, mungkin itu ungkapan hatinya yang lega, satu anak tirinya telah terdepak dari kampus megah ini. Cahaya dari jepretan kamera terasa panas, dan terdengar jerit seseorang yang memotretku, tak percaya aku ada di barisan ini. Shit, apa anehnya sih?

Agak salah tingkah dengan serangan mendadak di panggung ini, bersamaan dengan sms dari seorang kawan yang kubaca sambil jalan ke tempatku semula. "Waspada, rapatkan barisan. UU Terorisme sebentar lagi disahkan. Militer akan semena-mena mengobrak-abrik rumah, tempat kost, tempat ibadah dan menangkapi semua orang yang dicurigai sebagai teroris. Galang kekuatan, aksi serentak seluruh kota tanggal sekian".

Tidak ada lagi tempat aman di negeri ini. Tidak juga aman saat ingin kunikmati kesendirian di hari yang gerah ini. Saat ingin kerenungi dunia kemahasiswaan yang harus kutinggalkan. Yang telah mengajariku segalanya tentang kehidupan. Yang begitu lama kujalani, mungkin abnormal bagi mahasiswa pintar ber-IPK tinggi, lulus terbaik, cari kerja kantoran, menikah, punya anak, tua, dan mati. MONOTON! Kenapa tidak mati muda saja seperti Kartini? Atau Soe Hok Gie? Atau hidup seribu tahun lagi?

BODOH! Siang. Gerah. Pening. Migren. Lapar. Sendirian. Sepi.

***

Kubuka halaman persembahanku, kubaca lagi, sedih.

Kutersungkur dalam cinta
Kepada Ibu yang mengandungku
Kepada Ayah yang merestui jalan perjuanganku
Bersujud kupinta maafmu
Atas penantian yang begitu lama
Karena luka negeriku tak juga kering

***

Mencari Pembenaran. Alasan negeri yang bergolak, apa yang sudah kulakukan terhadap luka itu? NOL!!!

========================================

Minggu, 14 September 2003

Jualan Agama, Yuk!

Bangsa ini benar-benar membingungkan, dengan pejabatnya, sistemnya, semuanya sama brengseknya. Semua persoalan dipolitisir, dibisniskan dan dipelintir habis-habisan. Anak kecil pun tahu, konflik yang terjadi selama ini karena kemuakan orang terhadap tekanan ekonomi, sosial, dan politik.

Mengapa agama bisa menimbulkan garis demarkasi dalam kehidupan di negeri ini, bukankah agama adalah nafas-nafas kehidupan personal setiap insan? Mengapa agama kini menjadi konsumsi publik dan dijadikan alat politik?

Orang-orang lebih mengutamakan identitas agamanya daripada identitas yang lain, nama panggilan sekalipun. Agama telah menjadi penjara bagi pemeluknya, tak peduli mereka minoritas atau mayoritas.

Gesekan antar pemeluk agama kian keras, agama menjadi bopeng dan tak lagi memiliki sisi humanis. Agama semakin mengeras dan sesak karena ditambah dengan patriarchy, plus pikiran sempit banyak orang yang mengaku intelek.

Padahal tidak ada agama yang diciptakan Penguasa Alam ini yang memperkenankan terjadinya kekerasan karena adanya perbedaan diantara ummat. Berbeda itu indah --tapi jadi tidak indah saat istilah ini dipakai LSM dan Militer untuk propaganda mereka--

Hmm..., jadi ingat tahun 2001 saat TNI dan Polri gencar melakukan kampanye "Damai Itu Indah". Ah, damai tetap saja tidak indah selama tentara masih berkuasa, agama dipakai sebagai kendaraan politik, hak-hak perempuan, anak-anak, petani, buruh dan kaum papa terus dikebiri.

Karenanya, sangat melegakan saat bisa bergabung dengan anak-anak punk di konser-konser musik mereka yang hingar bingar tapi bisa kompak saat meneriakkan FUCK THE GOVERNMENT bersama-sama. Aku rindu suasana itu.