Jumat, 24 Agustus 2007

Munir Dibunuh Karena Ga Punya Duit

Akhirnya hari ini tiba. Gw kehabisan amarah. Ga bisa lagi ngamuk2. Yang ada gw malah pusing berat dan ga tau mo nulis apa soal sidang Peninjauan Kembali (PK) kasus Munir. Sebelumnya emang udah sangat bisa diduga kalo ini kerjaan intelejen. Tapi perkembangannya bener2 bikin pala gw pusing tujuh keliling padahal gw bukan jaksa, bukan hakim, bukan sapa2 :p

Sudahlah. Sejak awal nuansa politisnya emang kentel banget. Melibatkan begitu banyak orang-orang penting yang ketakutan akan kehilangan jabatan, duit dan entah apa. Awalnya gw pikir, selain BIN, yang kebakaran jenggot cuma para loreng kacang ijo karena aktivitas Munir selama ini ya ngobok2 tentara yang ga mo balik ke barak.

Ternyata, si seragam coklat pramuka juga lagi rebutan jabatan, walo mungkin itu terjadi setelah kematian Munir. Siapa yang bisa mengungkap, bakal naik jabatan kan? Berebutlah seragam coklat itu. Tapi mereka ga sadar (atau sadar tapi udah terlanjur) kalo sedang membentur tembok, berhadapan dengan atasan sendiri, bahkan dengan penguasa tertinggi negeri ini.

"Ini dilakukan biar SBY tidak diubek-ubek LSM," gitu kata www.detik.com menirukan suara mirip Polly di pengadilan hari Rabu (22/8) lalu. Ada juga omongan, "Di BUMN itu orang-orang kita semua," kata suara mirip Polly lagi. Disebutlah banyak nama. Ada Bagir Manan, Hendarman, dll. Dan lalu rame2lah orang2 yang namanya disebut itu membantah (mungkin juga ketakutan).

Kenapa sih harus Munir yang dikorbankan? Kenapa yang diinteli cuma orang2 yang yang berkecimpung (hayah, bahasanya) di bidang politik? Padahal Munir ga pernah nyolong duit negara, malah nolongin tentara, kok malah dibunuh? Kenapa ga pencuri2 uang negara itu yang diinteli? Kenapa bukan koruptor2 jelek itu yang diuber2 sampe mereka mbayar utang ke negara? Kenapa bukan penjahat ekonomi yang bikin negeri ini terpuruk yang diinteli? Kenapa bukan penambang lumpur berotak culas itu yang diuber2 untuk membayar tanggung jawabnya pada korban lumpur???

Hufhh...kalo saja Munir punya duit, dia pasti akan disambut di istana dengan karpet merah seperti para pengemplang dana BLBI itu. Kalo saja Munir punya duit, mungkin dia ga akan dibunuh! Ah, tulisan di kaos yang kuidam2kan itu harusnya diganti. Bukan Munir, Dibunuh Karena Benar, tapi Munir Dibunuh Karena Ga Punya Duit!!!

Senin, 20 Agustus 2007

Bedanya Orang Waras dan Ga Waras

Gw agak merinding semalem ketika menyaksikan tayangan news dot com di Metro TV. Coba ya..., semalem itu, ada warga Porong (korban lumpur Lapindo tentu saja) bernama Pak Waras, bener2 berlaku waras di zaman edan (sampe gw juga bingung, sepertinya itu justru perilaku ga waras?). Beliau mengembalikan duit yang masuk ke rekeningnya, karena dia merasa tidak berhak atas duit ganti rugi itu.

Ceritanya (maap kalo ada yang udah nonton. Ini cerita buat yang ga nonton :p), ganti rugi yang harus dibayarkan Lapindo ke Pak Waras sebagai korban lumpur adalah Rp 200 juta lebih. Tapi tiba2 duit yang masuk ke rekeningnya sebesar Rp 400 juta lebih. Karena merasa ga berhak, Pak Waras ngembaliin duit itu ke Lapindo. Dan beliau cuma mengambil yang dianggap haknya yaitu sekitar Rp 57 juta atau sebesar 20 persen dari haknya yang Rp 200-an juta lebih itu, sesuai ke(tidak)sepakatan warga dengan Lapindo.

Oh, God! Gw bener2 takjub. Pertama, Pak Waras itu, korban lumpur Lapindo, tapi masih bisa berpikir duit yang masuk rekeningnya, bukan haknya. Kedua, di saat orang lain berlomba2 menuntut ganti rugi atas keteledoran Lapindo sehingga lumpur mengubur semua harta warga, Pak Waras malah ngembaliin duit! Ketiga, dia ga ngambil sekaligus duit Rp 200 juta lebih itu yang memang senilai dengan haknya, tapi cuma ngambil 20 persen.

Bener2 gila, setan2 dalam diri gw langsung ngamuk2 ga puas dengan aksi Pak Waras, hahaha, dasar setan! Soalnya setan2 nyolot dalam diri gw baru abis seneng2 berpesta ketika Rabu (15/8) lalu, YLBHI menobatkan SBY sebagai Presiden Direktur PT Lapindo Brantas Inc, bukan Presiden Republik Indonesia. Pertimbangannya, SBY dianggap lebih memihak Lapindo dibanding ribuan warganya yang sengsara karena lumpur.

Bedanya orang waras dan ga waras, ada di Perpres No 14 Tahun 2007 itu. Soalnya, isinya malah mengubah kewajiban Lapindo memberikan ganti-rugi kepada korban lumpur, menjadi jual-beli tanah. Padahal, ganti rugi kan harusnya emang HAK korban. Belum lagi kalo bicara soal HAK lain, misalnya rasa aman, hak atas keuntungan yang didapat seandainya daerah mereka ga tertimbun lumpur. Belum lagi soal pembayaran bertahap model 20 persen-80 persen, yang tidak akan cukup bagi korban untuk memulai kehidupan baru. Dan akhirnya, soal tanggung jawab. Dalam Perpres itu, pemerintah malah mengambil-alih sebagian tanggungjawab Lapindo sebagai penyebab semburan lumpur. Bodoh!

Maka, orang seperti Pak Waras bener2 seperti lahir dari alam mimpi. Manusia langka, udah susah ditemuin di zaman edan ini. Lapindo pun memberinya hadiah berupa nginep di hotel. Tapi Pak Waras menolak karena kamar hotel terlalu dingin dan kambing2 piaraannya ga bisa ikut ke hotel. Ah, lugunya orang ini! Akhirnya Lapindo, katanya, ngasih rumah type 40. Alhamdulillah, selamat Pak Waras! Semoga bapak-yang-ga-waras-karena-menelantarkan-rakyatnya bisa mengikuti kewarasan Bapak.

Selasa, 14 Agustus 2007

nasionalisme, videoklip, atau dokumentasi 2009?

Sebuah tayangan hiburan di stasiun tipi tadi siang menayangkan tentang dua grup band yang sedang syuting video klip di bandara Halim PK. Konon nanti salah satu bintang dan model videoklip itu adalah mr presiden. Hmmm...menarik! Alasan mr presiden mau menjadi model di videoklip itu, karena dua lagu masing2 milik Grup Band Coklat dan Samson itu mengandung nilai2 nasionalisme dan karenanya akan dijadikan kado ulang tahun kemerdekaan serta kado bagi pasukan perdamaian yang sedang bertugas di Lebanon.

Ga ada yang salah sih kalo presiden jadi model videoklip. Sayanya aja yang emang nyolot dan selalu negatip. Saya jadi inget jaman dulu, apa2 yang menyangkut soal negara, meskipun cuma kesamaan nama, semuanya dilarang. Liat aja disini, segala macem dilarang. Sampa kata KIRI pun dilarang. Padahal tanpa kiri, kanan ga akan lengkap. Apa mau disebut si buntung, atau telinga sebelah, atau si pincang atau si buta dari gua hantu? Hahaha...! Jaman dulu, dikit2 tersinggung, trus dilarang, trus dianggap subversif, dan sebagainya.

Konon pula, jangankan menjadikan presiden sebagai model video klip, dulu, kalo ada anak kedengeran bercita2 jadi presiden aja, ga boleh. Kalo ada acara anak2 ketemuan sama presiden, mereka hanya boleh ngibar2in bendera kecil dan nyanyi2: untukmu, bapak kami Soeharto.... Maka, film Joedy Soebroto (bener ga ya tulisannya gini) berjudul Nyoman dan Presiden pun akhirnya dicekal karena ada kata presidennya. Huh, ribet banget deh.

Padahal film yang dibintangi Yati Surachman itu hanya bercerita tentang seorang anak dari Bali yang sangat ingin bertatap muka dengan presiden dari dekat. Akibat dicekal, Yati Surachman yang sekaligus sebagai penanggungjawab produksi, terpaksa jualan film door to door agar filmnya tetap laku. Ketika itu, konon film ini dibolehkan edar kalo sutradaranya mau mengganti judul Nyoman dan Presiden (1989) menjadi Nyoman dan Bapaknya, Nyoman dan Kita, Nyoman dan Bangsa, Nyoman dan Merah Putih, atau Nyoman dan Indonesia. Karena menurut menteri penerangan saat itu, menggunakan kata Presiden di film itu, bisa merongrong kewibawaan presiden. Geblek kan?

Saya pun jadi penasaran, kok mr presiden mau jadi model videoklipnya Coklat dan Samson? Mmmm... ga takut kewibawaannya terongrong karena tampil nyanyi2? Dibayar berapa dia ya? Gajinya sebagai presiden ga cukup sampe harus nyari penghasilan tambahan? Atau... ini dia nih... jangan2 yang dibayar malah grup band-nya? Dasar otak saya nih..., ini persoalan nasionalisme, atau sekedar video klip, atau buat dokumentasi dalam acara2 di tahun 2009 kelak? Aaah...., kalo acara 5 tahunan lalu sepertinya suara ibu2 mendominasi, tampaknya ritual 5 tahunan mendatang akan terjaring suara2 pemilih pemula! Taktik jitu!

Jumat, 10 Agustus 2007

Korban Lapindo, Apa Kabar?

Apa kabar korban Lapindo? Ga banyak media yang masih mengingatnya. Lalu saya liat beritanya di SCTV tadi siang. Ah....masih gitu2 aja, belum ada yang berubah, belum ada yang jatuh kasian, apalagi nunggu yang bertanggungjawab, belum sama sekali. Kalo yang bertanggung jahat sih, banyak. Hari ini, lagi2 aparat2 fotokopian itu bersiap2 mengusir mereka dari pengungsian dengan alasan batas waktu izin tinggal di pasar yang berubah jadi tempat pengungsian itu, udah berakhir.

Ya ampuuuun, kalo batas waktu dari mereka aja, disiplin ngingetin dan ngusir2nya. Lha itu batas waktu pembayaran ganti rugi, ga pernah ditepati. Padahal sekarang udah Agustus!!! Gw uring2an sendiri di depan tipi. Mereka mo disuruh kemana??? Ganti rugi belum dibayar, mo tinggal dimana kalo ga di pasar pengungsian itu? Rumah ga ada, kerjaan ditimbun lumpur, trus mo disuruh pergi? Mo ngemis? Trus kalo dah ngemis trus ditangkapi lagi sama satpol PP?

Ah, siapa lagi sih yang masih inget ma mereka? Jadi pejabat kok adil banget. Lalu apa artinya bulan kemerdekaan jika hak-hak mereka dirampas, bukan oleh penjajah tapi justru oleh sebangsanya sendiri? Dirampas oleh pejabat yang seharusnya mengayomi mereka. Bakrie...Bakrie... punya telinga dan hati ga sih? Oh iya, ada lagi. Konon, ketika dulu katanya presiden mo berkemah di pengungsian sana (tapi boong...:p) dia ngasih bantuan Rp 10 miliar untuk usaha kecil menengah. Tapi warga bilang ga pernah tuh terima duitnya. Kata pejabat di sana sih, bantuan itu ga diserahkan dalam bentuk duit untuk tambahan modal, tapi buat pelatihan.
Ah...capek. Udah ga semangat nulis. Ternyata gw pun udah lupa ma mereka...

Selasa, 07 Agustus 2007

Sepotong Kisah Tan Malaka

Udah lama saya pengen didongengi tentang Tan Malaka. Rasa penasaran saya ga pernah habis untuk tau sejarahnya, karena begitu besar misteri yang melingkupinya. Selama ini saya cuma bisa mereka-reka sosoknya lewat sebuah buku tua, Pacar Merah Indonesia yang saya pun udah lupa dimana buku itu dan seperti apa bentuknya sekarang. Saya udah bermohon pada Tuan Ini dan Ndoro Ini yang biasanya punya pengetahuan yang ga umum, tapi tidak terpenuhi. Membaca buku sekolah? Ouh... Tan Malaka dicap KIRI, ga akan ada buku sejarah yang akan mengulasnya. Menyebut namanya pun, hampir tak ada!

Lalu saya dapat beritanya dari kawan2 di Persda Network. Seseorang bernama Harry A Poeze, sejarawan dari Belanda, mengaku menemukan kuburan kerangka Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kediri. Ouw...jangan langsung underestimate dengan penemuan ini karena tentu saja sangat beda dengan penemuan tuan yang rajin berkomentar di media itu tentang lagu Indonesia Raya.

Kesimpulan Harry soal lokasi kuburan Tan Malaka diperoleh dari banyak sumber, mulai dari para mantan aktivis Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) dan para veteran perang sampai dokumen di Kodam V/Brawijaya. Harry akhirnya berkesimpulan, prasasti di pinggir Kali Brantas dalam kota Kediri yang selama ini dipercaya sebagai lokasi eksekusi Tan Malaka, tidaklah benar. "Itu tempat pembunuhan tiga pengawal Tan Malaka, yang kemudian dibuang ke sungai," katanya. Ia akhirnya sampai di Desa Selopanggung, sekira 20 Km di sebelah barat Kediri.

Di desa itulah, pada 21 Februari 1949, dibantai satu pasukan yang dipimpin Soekotjo atas perintah sebuah divisi yang dipimpin Soengkono. Soekotjo kelak jadi walikota pertama Surabaya di zaman Orde Baru. Menurut Harry, motifnya adalah perselisihan paham di kalangan tentara, bukan atas perintah Soekarno-Hatta atau Jenderal Sudirman, meskipun, Tan Malaka adalah penentang utama politik diplomasi Soekarno-Hatta.

Sebelum ditangkap tahun 1949 itu, Tan Malaka juga pernah ditangkap tentara di bawah pimpinan Abu Bakar Lubis pada Maret 1996 atas tuduhan kudeta. Saat itu, Muhammad Yamin sebagaimana terbaca dalam dokumennya yang dihibahkan ke Arsip Nasional RI, juga ikut mengecam tindakan sewenang- wenang rezim Sukarno-Hatta melalui pernyataan pers. Yamin sendiri kemudian dituduh kudeta oleh rezim Sukarno dalam Peristiwa 3 Juli 1946. Namun, sebagaimana dicatat sejarah, Yamin setelah itu justru jadi loyalis Sukarno dengan menjadi aneka menteri berkali-kali. Sedangkan terhadap Tan Malaka, Sukarno menggelarinya sebagai pahlawan nasional 14 tahun setelah kematiannya.

Kisah ini dibukukan Harry dalam Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, De linkse Beweging en Indonesische Revolutien 1945-1949 atau Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949. Edisi Indonesia sedang diterjemahkan Hersri Setiawan, sastrawan kiri yang dipenjara di Pulau Buru antara 1969-1978, dan jilid pertama buku itu akan terbit paling cepat Januari 2008.

Oh iya, konon, pemerintah berniat membentuk tim forensik untuk uji DNA Tan Malaka dan akan dicocokkan dengan seorang keponakan Tan Malaka bernama Zulfikar, anak dari Kamaruddin Rasad, adik Tan Malaka. Konon pula, kalo kerangka itu udah ada kepastian, Depsos akan memindahkan kerangka itu Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Yah, kita liat saja nanti.

Hei...ada mars PKI, Darah Rakyat. Ini sebagian liriknya:
Kita bersumpah pada rakyat
kemiskinan pasti hilang
Kaum pekerja akan memerintah
dunia baru pasti datang


mmmm.... saya ga akan ditangkap setelah postingan ini kan? :p