Minggu, 20 Juli 2003

Gembel dan Satpam

Kamis, 17 Juli 2003
Siang yang terik, plus tanah yang dua per tiga mengandung minyak dan batu bara, membuat kota kecil ini seperti oven yang memanggang penghuninya. Bagiku, tempat paling asik dari semua pilihan jelek yang ada adalah toko buku. Adem (karena bantuan air conditioner) dan bisa membuatku terbang ke alam lain dengan membaca gratis buku-buku yang ada di sana. Walaupun aku sadar ini bagian dari mencuri alias maling, kupikir masih sedikit lebih manusiawi ketimbang aku numpang baca di toko buku loakan atau minjem koran di loper.

Hasilnya, aku keluar dengan dada terdesak haru biru komik dan novel yang sempat kutamatkan. Serta setangkup benci pada segunung sentimentil yang kupunya. Berjalan tak menentu, mumpung hari ini aku terbebas dari sepatu dan baju berkerah yang membuatku gerah. Kulepas kerinduan pada kaos, jins belel dan sandal jepitku yang talinya nyaris putus tapi membuatku bernafas lega.

Berlari kecil menyeberangi aspal panas dan kejaran lampu merah ke warna hijau, disambut empat bocah berkepala plontos, yang langsung menadahkan tangannya meminta receh angsuran sopir angkot.
"Hus, gak boleh minta, kakak ini teman kita," seorang anak menepis uluran tangan si plontos.
Tak puas, si plontos bertanya padaku, "Kakak orang Bugis kan? Bukan Jawa?"
Temannya pun tertawa terbahak-bahak, "Hahahaha..., apa hubungannya ya kak?"
Si plontos sigap menjawab, "Orang Bugis kan banyak duit dan tak akan pelit diminta berapapun!"
Aku ikut tertawa keras dan berpikir, dari mana anak-anak kecil ini punya pikiran aneh itu. Tawa mereka tak kalah keras hingga berguling-guling di trotoar. Tawa yang terhenti oleh hardikan satpam pemilik hotel yang tidak memiliki areal parkir. Mungkin takut trotoar depan gedungnya tercemari bau gembel.

Sejenak kutinggalkan mereka, menyusul teman yang sedang meloby di loby. Tergesa satpam yang sama menyusulku, "Hei, mau apa? Cari siapa? Mau masuk ketemu siapa?" Shit, tak bisakah sedikit lebih bersahabat?
Sedikit merajuk memendam dongkol aku balik bertanya, "Maaf, saya gak boleh masuk ya pak?"
"Iya, gak boleh, kamu siapa dan mau ketemu siapa?"
Ups..., masih dengan sedikit senyum dan sedikit nyeri di hati, "Boleh tau kenapa saya gak boleh masuk? Dan kenapa teman saya yang di dalam itu boleh masuk? Pasti karena saya juga berteman dengan empat bocah tadi ya pak?"
Ketegasan suaranya berkurang, tapi tatapannya menyelidikku dari atas hingga bawah. Dari ujung rambutku yang hari ini tak tersentuh sisir, hingga sandal jepitku yang tipis nyaris putus. "Iya, saya pikir Nona teman anak-anak itu yang coba-coba masuk hotel." Kukeluarkan sehelai kartu, satpam itu masih berusaha tersenyum walau pias, saat aku berlalu ke loby hotel.

Setelah mencuri ilmu di toko buku, aku baru saja melacurkan profesiku. Sobekan celana di bagian lututku makin menganga. Najis! Ada luapan asam dari perutku mendesakku keluar dari hotel, diikuti teman-temanku yang menuai sukses barusan. Keempat bocah mengerumuniku lagi, menyodorkan kepala plontosnya untuk kuusap dengan sebelah jariku sekilas. Jari satunya membungkam mulutku, menahan ludah tak tahu diri ini.

Perjalanan berlanjut, ke Bank, dengan tatapan yang sama dari satpam dan teller cantik berbibir marun. Sedikit anggukan hormat ke arah segepok uang di tas hitam. Tatapan berbeda saat jari kaki telat menginjak rem mobil. Satpam menyelidik, pengguna jalan melotot.
Sedemikian tidak patutkah seorang (berpenampilan) gembel masuk hotel dan gedung kantor walau membawa duit dalam kantong kresek hitam? Apa penampilan menetukan kegembelan? Apa yang kelihatan gembel sudah pasti tak punya uang dan otak? Apa yang berdasi dan bersepatu semiran sudah pasti intelek dan bukan maling?

Baik, akan kutanggalkan blazer dan syal pencekik leher serta sepatu hitam yang bisa kupakai bercermin itu, dan kubiarkan kau mengobrol dengannya. Entah..., kau mendekatiku atau kau menjauhiku dengan tubuh telanjangku kini.

========================================

Rabu, 15 Juli 2003

Ngilu

Rona aura selubung langit
Membenam pandang kabut kabur
Leleh sembilu rajam cadas
Hangati kutub redam silau
Rindu dendam remuk redam
Susuri malam berbayang pekat
Patah tongkat terbenam lumpur
Lunglai tungkai pijakan tenggelam
Bungkam kata dalam selimut

========================================

Jumat, 4 Juli 2003

Tua-tua Keladi

Seorang kawan pergi hari ini
Meninggalkan sang adik bermata nanar
Meninggalkan sang bunda berurai air mata
Meninggalkan sang ayah bermandi peluh
Meninggalkan sang kakak yang menaruh asa
Katanya demi tulang rusuknya yang hilang....!

Seorang kawan datang hari ini
Menawarkan hari penuh bunga
Menawarkan angan hingga ke awan
Tanpa pesawat, tanpa sayap
Katanya aku tulang rusuknya yang hilang....!

Banyak tulang rusuk berserakan
Seorang ibu berkerudung hitam
Seorang gadis cantik jelita
Seorang tante bertubuh perkasa
Seorang kakek renta keropos, kehilangan banyak tulang rusuk....!

Rabu, 02 Juli 2003

Maaf, Kuperkosa Kau!

Rabu, 02 Juli 2003

Seminggu sebelum darurat (militer atau sipil?) diberlakukan di Aceh, para wartawan sudah dianjurkan berseragam hijau.

Minggu pertama, TV begitu ramai memberitakan sekelompok orang di kelurahan, di kecamatan atau di masjid menyatakan kesetiaan kepada RI dan mengaku tanpa tekanan. Mereka komat kamit mengucap sumpah, didampingi orang berseragam hijau membawa senjata. Itukah janji kesetiaan tanpa tekanan?

Minggu kedua, banyak tenda didirikan di lapangan, menampung para wanita dan anak-anak ditempat yang aman.Tak berbekal sesuatu apapun, bahkan memotong tali pusar bayi yang dilahirkannya pun tak sempat. Tak ada yang bisa dimakan, tak ada susu buat adik bayi, tak ada para lelaki pencari nafkah. Inikah tempat yang aman untuk berteduh?

Minggu ketiga, semakin banyak bala bantuan berseragam datang. Semakin banyak perempuan ditinggalkan. Semakin banyak negeri diobrak-abrik. Semakin banyak orang berlari, menyusup, tiarap, atau mati. Inikah negeri berlambang Pancasila?

Lelah menghitung hari dan minggu. Ada orang ditemukan lari dari Aceh, ada bom ditemukan di Aceh, ada GAM menyerahkan diri, ada ganja di ladang, ada senjata di bungker, ada pemimpin Aceh di Swedia, ada warga Aceh mengurus KTP dua warna, ada bule sembunyi di Aceh, ada wartawan hilang di Aceh, ada wartawan dipecat, dan hampir lupa..., ada jenderal dimutasi. Ada apa lagi?

Tiga hari berturut-turut, 20, 21, 22 Juni, warga melaporkan tiga tentara memperkosa empat perempuan Aceh. Dengan menandatangani pernyataan tidak boleh dipublikasikan. Berapa ribu yang tidak dilaporkan? Berapa puluh tahun pemandangan yang sama ditonton orang Aceh? Berapa juta liter darah tertumpah di sana? Berapa puluh janji terucap dari Jakarta?

Usai pemerkosaan, sang jenderal meminta maaf. Maaf, kuperkosa kau! Anak yang lahir akan menjawab: maaf, aku anak pemerkosa!!!