Selasa, 23 Desember 2003

Refleksi Ultah

Selasa, 23 Desember 2003
Hari ini usia gw pas 26 tahun dan menjadi hari pertama diusia 27 tahun. Nggak banyak yang gw minta, cukup tiga hal. Satu, semoga gw diberi kesehatan sepanjang tahun ini. Kedua, semoga temen-temen gw masih inget dan selalu percaya ma gw. Ketiga, semoga para pemimpin negeri ini dibukakan hatinya biar lebih peka terhadap kesulitan yang dihadapi bangsa ini dan ga korup lagi, Amiiiiiin!!!!!

Ngomongin kesehatan, gw jadi inget tulisan gw 25 Juli tahun 2001 yang gw tulis pas lagi sadar karena begitu banyak kehilangan yang gw alami waktu itu. Ada beberapa orang sekitar gw yang meninggal hanya berselang sehari dan setelah itu gw takuuuut banget jika telepon berdering tengah tengah malam dan gw harus mendengar berita kematian lagi.

25 Juni 2001
Gw baru tiba di rumah (di kampung) saat ponakan gw berlari-lari kecil ke gw ngasih tahu kalo semua orang lagi ke Makassar karena seorang kerabat yang rumahnya tepat di depan rumah (di Makassar) meninggal. Waduh, trus gw sama siapa? Gw takut sepi, apalagi listrik di kampung terlalu sering byar pet. Nyusul orang-orang buat balik lagi, tapi nggak dapat. Berarti malam ini gw cuman berdua dengan Bapak. Bener-bener sepi!

Dan sepanjang malam, Bapak mengajakku ngobrol tentang tanah-tanah pertanian kami yang terbengkalai karena tidak satupun diantara kami yang punya perhatian pada tanah. Semuanya hanya ingin pergi jauh dari rumah seperti yang selalu gw bilang sama mama, "Ma, mana ada anak Bugis tinggal di kampung? Aku ini anak rantau dari sononya, Ma!" Dan mama hanya mengelus dada.

Seingat gw, tanah-tanah itu hanya selalu jadi masalah. Udah banyak keretakan dalam keluarga besar kami karena persoalan tanah. Apalagi jika sudah dipegang sama orang-orang serakah dan sok berkuasa menjadi raja kecil. Gw juga kadang muak dengan kebangsawanan ini, selalu saja menimbulkan masalah, bukannya mendapat kenikmatan. Lebih baik dicopot saja!

Gw makin takut dengan suasana malam saat Bapak mulai menyinggung usianya. Ga sabar rasanya menunggu pagi tiba dan terbebas dari obrolan ini. Bukan tidak menghormati, gw malah suka dipetuahin gini, karena kami jarang banget bisa ngobrol. Ada jarak yang teramat jauh antara kami dengan sistem paternalism yang begitu kuat. Tapi gw ga kuat dengan obrolan tentang kematian.

Subuh, mobil jemputan datang, gw pulang ke Makassar. Jenazah masih di rumah, sebentar lagi akan dikebumikan. Setelah itu yang tersisa hanya kenangan almarhum di saat-saat terakhirnya. Waktu dirawat di rumah sakit, gw sempet minta maaf nggak ya?

Esoknya, gw jalan sama temen-temen kampus, jengukin temen yang udah lama sakit, sejak Februari lalu. Sedih, kawan berkurang satu, padahal dialah penggerak organ kami. Pas lagi dirumah temen yang sakit itu, gw ditelpon dari rumah disuruh mampir ke tempat sepupu yang suaminya meninggal. Waduh, ternyata barusan adalah dering telepon kematian. Lemes banget rasanya, tapi gw harus mampir ke sana. Untungnya waktu sakit gw sempet jengukin juga.

Baru gw keluarga dari pihak istri yang ditinggalkan almarhum yang ada di sana. Dia langsung meluk gw dan nangis. Kulihat ada kesedihan yang amat sangat sekaligus kelegaan di matanya. Mungkin karena suaminya meninggal dalam keadan sakit, dari pada menderita sakit terlalu lama, Tuhan mempersingkat penderitaannya dan itu melegakan.

Waktu meluk gw, dia juga cerita tentang gw ke orang-orang yang melayat. "Adik gw ini malah pernah dikasih ultimatum ma dokter umurnya nggak panjang lagi karena didiagnosa leukimia. Tapi dia masih sehat sampai sekarang. Kok malah suami saya yang duluan?" Ups ... iya ya, gw malah lupa kasus itu. Gw terlalu jauh dari Tuhan saat ini, dan baru aja gw diingatkan. Gw sedikit bergidik....!

Gw ingat, waktu itu taon 1997. Gw sakit Typus di bulan April, bertepatan awal gw gaul di organisasi kemahasiswaan. Gw sampe opname dua minggu dan setelah keluar gw langsung aktif lagi. Maklum, situasi lagi panas-panasnya menjelang pemilu dan gw lagi ngerasa asik-asiknya kalo diintai intel-intel melayu dari Kodam dan Kepolisian. Gw ga mau kehilangan momen sedikit pun, jadi meski dalam masa penyembuhan pun tetap dipaksa.

Mungkin gw lagi pengen ngasih liat ke Bapak kalo gw bisa kayak Yeni Rosa Damayanti. Entah kenapa, gw dulu ngerasa Bapak lebih sayang sama Yeni dibanding kami anak-anaknya. Karena waktu itu Yeni dan Sri Bintang Pamungkas demikian TOP-nya di rumah kami setelah aksi bareng mahasiswa Jerman saat Soeharto berkunjung ke sana. Dan Bapak sepertinya sangat memuja dan mendukung mereka, setiap saat. Dan sejak saat itu, gw sering diingetin kakak gw tentang cita-cita gw jadi tahanan politik, nyaingin Yeni, nuntasin dendam gw. Hahaha....konyol, kok malah bercita- cita tertangkap sih?

Balik ke soal sakit, waktu masih opname, kata dokter, typus gw udah parah banget sampe kalo buang air besar dan kecil yang keluar malah darah. Gw aja sampe pingsan-pingsan ngeliatnya. Karena kasus itu akhirnya gw musti bolak balik ke dokter buat periksa intensif dan parahnya lagi, dari lima kali pemeriksaan, empat diantaranya menyatakan gw positif Leukimia dan udah ngasih jangka waktu hidup.

Terang aja gw down abis, dan ngerasa ga berguna lagi buat terus hidup. Terbayang penderitaan orang-orang yang melakukan cangkok sumsum tulang tapi tetep aja ga sembuh. Baru dokter kelima dan pemeriksan darah yang kelima yang bilang gw negatif leukimia. Tapi nggak sampe dua minggu, gw masuk rumah sakit lagi, hampir dua minggu lagi.

Dan sekarang gw diingetin, betapa gw pernah lolos dari kematian yang dijadwalkan dokter, tapi gw ga pernah mencoba menunduk, mengucap sepatah kata Alhamdulillah. Tapi apa lolos dari kematian itu benar sebuah keberuntungan? Bukannya nanti juga ga akan ada yang lolos?
Tapi yang gw tau, gw emang bandel, selalu menipu Tuhan.

Back to Selasa 23 Desember 2003 >>> Hufh...sakit ini bener-bener bisa ngancurin gw, bahkan sampe sekarang saat gw ada di Kota Minyak ini, udah pernah menginap di rumah sakit karena sakit yang sama. Dan gw kali ini benar-benar sendirian, jauh dari siapa pun. Dan ketakutan pada kematian itu juga ngejar-ngejar gw sampe ga tidur karena keringat dingin dan takut mendapat mimpi kematian saat gw tertidur.

Pasti karena jauh dari Tuhan, maka mendekatlah karena jatah umurmu hari ini telah berkurang. Terima kasihku buat teman yang sudah mengingatkanku sejak sore kemarin, pukul 00.00 semalam, hingga pagi, siang dan malam ini. Mungkin juga besok, masih ada yang inget gw ultah hari ini, trima kasih sebelumnya.

Jumat, 19 Desember 2003

Pembersih Closet

Kamis, 11 Desember 2003
Seperti hari-hari kemarin, untuk dapat makanan dengan haga pasti dan lebih murah, mengenyangkan dan bersih, aku selalu memutuskan ke resto fastfood yang sebenarnya sudah pernah kuhindari beberapa tahun terakhir. Saat di kota mahal ini pun aku butuh waktu cukup lama untuk berdamai dengan usaha franchise ini.

Tak ada pilihan lain, kota ini jarang menyediakan makanan murah dan sehat sekaligus, apalagi kota ini bukan kota pelajar yang memungkinkan banyak warung makan murah seukuran kantong anak kost. Ini kota industri, kota jasa, dan kota segala macam barang mahal.

Rumah Makan Padang yang kata temanku pasti lebih murah karena ada disetiap tikungan dan persimpangan jalan pun harganya selangit, kecuali ada satu Rumah Makan Padang yang terselip diantara bangunan besar, langganan teman-teman setelah melakukan survei rumah makan termurah, sehat, bersih.

Cukup mengesalkan juga ternyata, saat melihat makanan-makanan yang hanya mengandalkan kemasan yang bagus tapi isinya tidak terjamin, baik rasa maupun kebersihan apalagi harga. Kalaupun ada yang sedikit murah, aku selalu curiga soal kebersihannya sebab tidak hanya sekali dua kali aku memergoki pembuat makanan yang dengan seenaknya meletakkan makanan dimana saja termasuk tempatnya berpijak dengan sandal jepit yang permukaannya tak lagi berwarna putih.

Yang kutahu, kota ini merupakan yang terbersih di seantero negeri, tapi yang kulihat sehari-hari, bersih hanya di luarnya saja. Saat masuk ke gang-gang bahkan pernah ke rumah yang tampak mentereng dari luar, bagian dalamnya sempat membuatku mual. Apalagi yang namanya rumah makan, kotor, becek dan jorok.

Makanya satu-satunya pilihan yang cukup tepaksa kuanggap terbaik adalah di resto fastfood.
Padahal aku sempat membencinya karena sistem ekonomi yang dianutnya, pengaruh budayanya dan dampaknya bagi kesehatan. Lebih benci lagi jika mengingat sumbangsih setiap rupiah yang kukeluarkan akan berarti ikut menyumbang satu peluru untuk memisahkan jiwa dan raga saudara- saudaraku di Palestina, Bosnia, Afganistan, Aceh, Papua, Ambon, Poso dan setiap sisi dunia yang bergolak.

Karena disetiap tempat yang bergolak, pasti ada Amerika yang menyokong bantuan peluru yang dibeli dari pajak warganya. Salah satu warganya adalah pemilik lisensi resto fastfood tempatku menyantap makanan kini.

Belum lagi bicara softdrink yang merupakan pasangan satu paket pembelian fastfood ini yang juga lisensinya di Amerika. Tahukah Anda bahwa Coca Cola itu tak lebih dari pencuci closet, pembersih ceceran darah di jalanan, pembersih karat yang melekat pada besi-besi tua?

Tahukah Anda disetiap bagasi mobil patroli polisi di Amerika selalu memuat satu pak minuman ringan ini untuk membersihkan jalan dari tetesan darah setelah terjadi kecelakaan dan esoknya jalan tersebut bersih tanpa bekas?

Atau jika ingin membuktikannya, rendamlah paku, bor, baut dan besi-besi berkarat Anda dengan cairan Coca Cola, lihat hasilnya. Atau closet di kamar mandi anda sudah licin karena jarang dibersihkan dan Anda tak sempat membeli pembersih poselen yang wangi itu, Anda tinggal buka kulkas. Ambil minuman ringan itu, siramkan ke closet Anda, diamkan sejenak, sikat dan bilas. Persis cara kerja pembersih porselen Anda, hasilnya pun sama.

Jadi bisa dibayangkan bagaimana jika cairan itu masuk ke tubuh kita, mengalir dalam darah, menuju lambung, usus, ginjal dan semua organ tubuh? Aku tidak lagi heran pada dokter yang melarang keras penderita sakit maag dan pelanggan sakit typus sepertiku meminum softdrink semacam itu. Karena mengkonsumsi minuman tersebut sama saja menghancurlumatkan lambung, usus dan semua yang ada dalam tubuhku. Noda closet saja bisa hilang apalagi darah dan daging.

Tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti tapi mengajak Anda mempraktekannya dan kita buktikan bersama. Karenanya aku selalu menceraikan pasangan fastfood dan softdrink itu dengan teh botol produk negeriku sendiri.

Mungkin tetap saja kawan-kawan yang tahu dan membaca tulisan ini akan mencibir dengan alasan yang kukemukakan meski aku mengkonsumsinya karena tak ada pilihan lain dan tetap memilih minuman produksi negeriku (yang juga memakai sistem monopoli yang sama saja dengan produk minuman luar).

Mungkin semua akan berkomentar bahwa aku sekedar mencari pembenaran. Tapi ini memang soal pilihan, karena aku 'seolah' sudah tidak memiliki waktu (dan jelas karena malas saja) membuat masakan sendiri.

Aku hanya coba berpikir, karena tak ada pilihan lain, aku mungkin bisa membantu buruh yang bekerja di sana, semoga saja setiap tambahan rupiah dari pembeli sepertiku juga akan menambah salary mereka. Juga bagi penjual minuman di pinggir jalan yang mungkin merasa kurang afdol jika tidak menjual softdrink dan teh botol sekaligus. Ah, pedagang kaki lima ini .... mereka sesungguhnya pejuang penggerak perekonomian negara yang masih harus menambah deret agenda perjuangannya saat berusaha menghindari kejaran aparat ketertiban umum yang punya hoby aneh, menggusur!