Jumat, 19 Desember 2003

Pembersih Closet

Kamis, 11 Desember 2003
Seperti hari-hari kemarin, untuk dapat makanan dengan haga pasti dan lebih murah, mengenyangkan dan bersih, aku selalu memutuskan ke resto fastfood yang sebenarnya sudah pernah kuhindari beberapa tahun terakhir. Saat di kota mahal ini pun aku butuh waktu cukup lama untuk berdamai dengan usaha franchise ini.

Tak ada pilihan lain, kota ini jarang menyediakan makanan murah dan sehat sekaligus, apalagi kota ini bukan kota pelajar yang memungkinkan banyak warung makan murah seukuran kantong anak kost. Ini kota industri, kota jasa, dan kota segala macam barang mahal.

Rumah Makan Padang yang kata temanku pasti lebih murah karena ada disetiap tikungan dan persimpangan jalan pun harganya selangit, kecuali ada satu Rumah Makan Padang yang terselip diantara bangunan besar, langganan teman-teman setelah melakukan survei rumah makan termurah, sehat, bersih.

Cukup mengesalkan juga ternyata, saat melihat makanan-makanan yang hanya mengandalkan kemasan yang bagus tapi isinya tidak terjamin, baik rasa maupun kebersihan apalagi harga. Kalaupun ada yang sedikit murah, aku selalu curiga soal kebersihannya sebab tidak hanya sekali dua kali aku memergoki pembuat makanan yang dengan seenaknya meletakkan makanan dimana saja termasuk tempatnya berpijak dengan sandal jepit yang permukaannya tak lagi berwarna putih.

Yang kutahu, kota ini merupakan yang terbersih di seantero negeri, tapi yang kulihat sehari-hari, bersih hanya di luarnya saja. Saat masuk ke gang-gang bahkan pernah ke rumah yang tampak mentereng dari luar, bagian dalamnya sempat membuatku mual. Apalagi yang namanya rumah makan, kotor, becek dan jorok.

Makanya satu-satunya pilihan yang cukup tepaksa kuanggap terbaik adalah di resto fastfood.
Padahal aku sempat membencinya karena sistem ekonomi yang dianutnya, pengaruh budayanya dan dampaknya bagi kesehatan. Lebih benci lagi jika mengingat sumbangsih setiap rupiah yang kukeluarkan akan berarti ikut menyumbang satu peluru untuk memisahkan jiwa dan raga saudara- saudaraku di Palestina, Bosnia, Afganistan, Aceh, Papua, Ambon, Poso dan setiap sisi dunia yang bergolak.

Karena disetiap tempat yang bergolak, pasti ada Amerika yang menyokong bantuan peluru yang dibeli dari pajak warganya. Salah satu warganya adalah pemilik lisensi resto fastfood tempatku menyantap makanan kini.

Belum lagi bicara softdrink yang merupakan pasangan satu paket pembelian fastfood ini yang juga lisensinya di Amerika. Tahukah Anda bahwa Coca Cola itu tak lebih dari pencuci closet, pembersih ceceran darah di jalanan, pembersih karat yang melekat pada besi-besi tua?

Tahukah Anda disetiap bagasi mobil patroli polisi di Amerika selalu memuat satu pak minuman ringan ini untuk membersihkan jalan dari tetesan darah setelah terjadi kecelakaan dan esoknya jalan tersebut bersih tanpa bekas?

Atau jika ingin membuktikannya, rendamlah paku, bor, baut dan besi-besi berkarat Anda dengan cairan Coca Cola, lihat hasilnya. Atau closet di kamar mandi anda sudah licin karena jarang dibersihkan dan Anda tak sempat membeli pembersih poselen yang wangi itu, Anda tinggal buka kulkas. Ambil minuman ringan itu, siramkan ke closet Anda, diamkan sejenak, sikat dan bilas. Persis cara kerja pembersih porselen Anda, hasilnya pun sama.

Jadi bisa dibayangkan bagaimana jika cairan itu masuk ke tubuh kita, mengalir dalam darah, menuju lambung, usus, ginjal dan semua organ tubuh? Aku tidak lagi heran pada dokter yang melarang keras penderita sakit maag dan pelanggan sakit typus sepertiku meminum softdrink semacam itu. Karena mengkonsumsi minuman tersebut sama saja menghancurlumatkan lambung, usus dan semua yang ada dalam tubuhku. Noda closet saja bisa hilang apalagi darah dan daging.

Tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti tapi mengajak Anda mempraktekannya dan kita buktikan bersama. Karenanya aku selalu menceraikan pasangan fastfood dan softdrink itu dengan teh botol produk negeriku sendiri.

Mungkin tetap saja kawan-kawan yang tahu dan membaca tulisan ini akan mencibir dengan alasan yang kukemukakan meski aku mengkonsumsinya karena tak ada pilihan lain dan tetap memilih minuman produksi negeriku (yang juga memakai sistem monopoli yang sama saja dengan produk minuman luar).

Mungkin semua akan berkomentar bahwa aku sekedar mencari pembenaran. Tapi ini memang soal pilihan, karena aku 'seolah' sudah tidak memiliki waktu (dan jelas karena malas saja) membuat masakan sendiri.

Aku hanya coba berpikir, karena tak ada pilihan lain, aku mungkin bisa membantu buruh yang bekerja di sana, semoga saja setiap tambahan rupiah dari pembeli sepertiku juga akan menambah salary mereka. Juga bagi penjual minuman di pinggir jalan yang mungkin merasa kurang afdol jika tidak menjual softdrink dan teh botol sekaligus. Ah, pedagang kaki lima ini .... mereka sesungguhnya pejuang penggerak perekonomian negara yang masih harus menambah deret agenda perjuangannya saat berusaha menghindari kejaran aparat ketertiban umum yang punya hoby aneh, menggusur!