Rabu, 02 Juli 2003

Maaf, Kuperkosa Kau!

Rabu, 02 Juli 2003

Seminggu sebelum darurat (militer atau sipil?) diberlakukan di Aceh, para wartawan sudah dianjurkan berseragam hijau.

Minggu pertama, TV begitu ramai memberitakan sekelompok orang di kelurahan, di kecamatan atau di masjid menyatakan kesetiaan kepada RI dan mengaku tanpa tekanan. Mereka komat kamit mengucap sumpah, didampingi orang berseragam hijau membawa senjata. Itukah janji kesetiaan tanpa tekanan?

Minggu kedua, banyak tenda didirikan di lapangan, menampung para wanita dan anak-anak ditempat yang aman.Tak berbekal sesuatu apapun, bahkan memotong tali pusar bayi yang dilahirkannya pun tak sempat. Tak ada yang bisa dimakan, tak ada susu buat adik bayi, tak ada para lelaki pencari nafkah. Inikah tempat yang aman untuk berteduh?

Minggu ketiga, semakin banyak bala bantuan berseragam datang. Semakin banyak perempuan ditinggalkan. Semakin banyak negeri diobrak-abrik. Semakin banyak orang berlari, menyusup, tiarap, atau mati. Inikah negeri berlambang Pancasila?

Lelah menghitung hari dan minggu. Ada orang ditemukan lari dari Aceh, ada bom ditemukan di Aceh, ada GAM menyerahkan diri, ada ganja di ladang, ada senjata di bungker, ada pemimpin Aceh di Swedia, ada warga Aceh mengurus KTP dua warna, ada bule sembunyi di Aceh, ada wartawan hilang di Aceh, ada wartawan dipecat, dan hampir lupa..., ada jenderal dimutasi. Ada apa lagi?

Tiga hari berturut-turut, 20, 21, 22 Juni, warga melaporkan tiga tentara memperkosa empat perempuan Aceh. Dengan menandatangani pernyataan tidak boleh dipublikasikan. Berapa ribu yang tidak dilaporkan? Berapa puluh tahun pemandangan yang sama ditonton orang Aceh? Berapa juta liter darah tertumpah di sana? Berapa puluh janji terucap dari Jakarta?

Usai pemerkosaan, sang jenderal meminta maaf. Maaf, kuperkosa kau! Anak yang lahir akan menjawab: maaf, aku anak pemerkosa!!!