Minggu, 07 September 2003

Pembunuh Pemimpin Fasis

Minggu, 7 September 2003
Kata berita pagi tadi, sekolah tinggi pembunuh Jatinangor menewaskan satu orang siswanya lagi. Meski muak dan mual, berita itu bukan hal baru. Hampir setiap tahun ada korban dan sepanjang tahun berikutnya, korban berkeliaran sebagai hantu yang juga siap mencekik pelakunya. Pembalasan dendam mungkin tak mengenal alam yang berbeda bagi yang percaya.

Saat tengah malam buta, ketika para dosen, pembina asrama dan ibu asuh mulai terlelap, hantu- hantu mulai bergentayangan dengan suara pilu menyayat hati seperti derit pedati yang ditarik sapi tua dijalan berbatu.

Hantu-hantu itu mencari para senior yang semalam mencekik mereka, menginjak tubuh mereka, dan membenamkan mereka ke rawa-rawa dekat kampus. Menarik paksa jasad mereka dari ambulans yang meraung mengejar nafas terakhir sang korban.

Wajah senior yang beringas telah dimaklumi yang lebih senior lagi. Katanya demi tegaknya disiplin junior, demi mencetak pemimpin masa depan yang handal, demi solidaritas (tai kucing) kawan asal daerah yang sama, demi wibawa senior dan demi menciptakan generasi Soeharto bin Militer yang harus tetap berkuasa di negeri ini.

Dan hal yang sama juga terjadi di institusi lain, ya sekolah tinggi, ya universitas, sama fasisnya. Seharusnya dengan status mahasiswa, otak mereka jadi lebih berisi, yang terjadi malah otot yang kian kekar padahal bercita-cita sebagai binaragwan pun mereka tak ada tempat karena sikap sportif tak mereka punyai.

Tidak ada bedanya dengan militer yang sering mereka hujat saat aksi. Militer yang kini juga tengah berpesta kekuasaan di Aceh. Inikah wajah pemimpin masa depan yang siap menggebuki rakyatnya saat tak menyetorkan upeti? Inikah penguasa masa depan yang akan menjejalkan nasi basi ke mulut kawulanya?

Sementara wajah ibunda yang kehilangan sang buah hati terus memburam, seperti kaca jendela rumah kosong di seberang jalan yang halamannya ditumbuhi ilalang. Tak ada roh, hanya raga yang berjalan meraba masa depan.

Pupus sudah harapan perbaikan masa depan dari anak yang akan menjadi lurah, camat dan syukur- syukur bupatinya bukan kader partai politik atau purnawirawan. Padahal puluhan ternak telah dijual dan sehamparan sawah di kampung telah tergadai, demi satu kursi seharga Rp 50 juta di sekolah pembunuh itu.

=======================================

Kamis, 31 Juli 2003

Kau Tak Bisa Tanpaku

Tak tahukah?
Kau rusak pagi indahku dengan dering teleponmu
Saat liurku belum kering
kudengar suaramu di ujung telepon
Tersengal nyaris tercekik
Mungkin diburu pulsa sekarat
Katamu kau lelah menyertai langkahku
Hanya bisa nikmati sisa letih ambisiku
Senja tak pernah lagi kau nikmati sejak bersamaku
Sore ini aku bersorak girang
Rinai hujan menghapus semburat jingga kesumba
Tak bersamaku, senja pun enggan kau nikmati

========================================

Selasa, 22 Juni 2003

Manajemen Kanibal

Hampir sebulan lalu aku masih bersama orang itu, meski mungkin hubungan perusahaan kami tidak begitu harmonis karena persaingan bisnis, tapi di lapangan sebagai orang yang seprofesi, aku tetap menganggapnya kawan. Meski beberapa kali dia pun berusaha mencegat jalanku, dengan menendang kakiku dari belakang. Tak mengapa, karena semua orang punya garis tangan sendiri.

Iseng, kutanyakan kabarnya hari ini, dan seorang menjawabnya, dia dipecat! Seorang polisi wanita menjawab pula, dimutasi! Apa pasal? Mengapa jawaban beragam yang kudapat?

Konon kabarnya, pemecatan itu berawal dari hari terakhir kami bersama. Dia tak menuliskan pesanan itu, yang membuat murka sang jenderal, membahayakan posisi Harmoko. Memerahkan muka sang redaktur, membuat malu yang mulia, merugikan marketing. Dan kambing hitamnya dia, kariernya dimatikan begitu saja!!!

Jadilah dia luntang lantung kini, akibat ketakutan orang-orang akan kehilangan jabatan dan muka. Sayangnya, tempat lain pun tak ada yang menerima, karena dia membawa tradisi berbeda. Itu pula yang disesalkan, tak ada keselamatan bagimu. Sayang sekali, padahal rajin banget...!

Katanya, air mata sang polwan menetes saat mendengar derita kawanku kini. Tanpa dipecat pun, balas jasa yang didapatnya tak pernah mencukupi harga susu bayi mungilnya. Apalagi kini setelah dipecat, dia hanya bisa mendengar nyaring tangis sang bayi dengan pilu. Kemana lagi harus menadahkan tangan saat semua wajah berpaling tak sudi karena dulu pun dia tak sudi berpaling tanpa amplop yang tersedia di atas meja, pesanan atasan di kantor sana???