TANGGAL 11 Maret 1966 adalah tonggak berdirinya orde baru yang dipimpin Soeharto setelah diterbitkannya Supersemar oleh Presiden Soekarno. Ribuan bahkan ratusan ribu orang di negeri ini mengalami ketidakadilan pada awal-awal pemerintahan tersebut, khususnya mereka yang dituduh terlibat peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Namun tak banyak yang tahu, daerah pembuangan para tahanan politik (tapol) ini, bukan hanya Pulau Buru, tapi juga di sebuah desa terpencil di Kalimantan Timur bernama Desa Argosari. Untuk mengetahui lekuk liku kehidupan mereka saat ini, saya mengunjunginya pekan lalu.
Matahari bersinar cukup terik. Namun angin padang ilalang di area bekas hutan lebat Desa Argosari, bertiup kencang. Tubuh tua Ismary Musran, 75, tak sanggup menahan tiupan angin, beranjak menutup pintu. Sementara istrinya, Soekarni, 45, berlalu ke belakang dan keluar lagi dengan mengenakan jaket rajutan warna hijau. Tangannya membawa nampan berisi enam gelas teh manis hangat.
Pasangan ini adalah warga Desa Argosari, Kecamatan Semboja, Kutai Kartanegara yang telah menetap di sana sekitar 20 tahun. Sejak 1977, bersama sekitar 165 mantan tapol menghuni daerah seluas 2.000 hektar tersebut yang sengaja dialokasikan oleh Gubernur A Wahab Syahrani sebagai wilayah program rehabilitasi tapol.
Jarak Desa Argosari dari pusat Kota Balikpapan sekitar 45 kilometer yang berbatasan langsung dengan kelurahan paling ujung Balikpapan, Kelurahan Teritip. Meski berada di daerah terkaya di Kaltim, jalan masuk desa ini tak tersentuh aspal. Tanah liat merah membuat jalan berlumpur seperti kubangan kala musim hujan, terutama sejak truk-truk pengangkut batu bara berseliweran di daerah savana ini. Di desa yang sama, terdapat area lokasi latihan perang TNI satuan infanteri dari Kodam Tanjung Pura.
[Oh iya, tubuh kami sempat belepotan lumpur ketika ban mobil terjebak dalam lumpur. Kami pun bermandi keringat mendorong mobil. Tapi kata teman-teman, baju bergambar Mao Tse-tung yang saya kenakan --dan banyak diminta warga di sana-- paling bersih dibandingkan teman lain, hehehe. Soal truk2 pengangkut batu bara yang seliweran itu, konon dari tambang ilegal yang dibekingi instansi berbau militer. Tak heran kalo truk2 itu tidak pernah berani mengangkut batu bara hingga jalan besar dan batu bara yang diangkut dimasukkan dalam karung2 plastik. Belum ada waktu dan nyali menyusuri mining ilegal ini. Munir aja yang punya tujuh nyawa bisa mati...]
Rumah sederhana berdinding batako dan papan milik Ismary, tempat yang kami kunjungi pertama kali. Ismary adalah salah satu korban ideologi dan hidup dalam kurungan rezim orde baru selama hampir 20 tahun. Pasca pembunuhan para jenderal yang dikenal dengan peristiwa G30S/PKI di Jakarta, penahanan orang-orang yang telah 'dicap' juga berlangsung di Balikpapan. Suatu malam di Bulan Februari ketika Ismary tengah meronda, tiba-tiba dicokok serombongan prajurit dan diangkut dengan truk.
"Saya tidak pernah tahu kesalahan saya apa. Saya ditahan tanpa pemeriksaan, dituduh membakar pabrik lilin, dituduh sebagai PKI," kenangnya. Kala itu, Ismary bekerja di Kantor Pertamina Balikpapan dan aktif di organisasi pekerja migas. "Tapi tidak semua orang serikat pekerja itu PKI walaupun di sana memang ada orang PKI. Itu yang menyakitkan, karena rezim Soeharto mem- PKI-kan semua orang seperti saya meski jelas-jelas mereka tidak terlibat apapun," ujarnya geram.
Tapi seperti korban lainnya, kemarahan seperti itu hanya bisa ditelannya bulat-bulat. Selama interogasi dan penahanan, siksaan secara fisik terus mendera. Sepatu lars para tentara menyisakan luka abadi di tubuh dan hati mereka. "Saya ini ompong bukan karena tua, tapi karena gigi saya rontok diinjak-injak tentara," ujar Paelan, 63, korban lain, dengan nada tinggi.
"Makanya saya jengkel benar kalau lihat tentara dan melihat pemerintahan sekarang ini. Mereka benar-benar tidak pernah menghargai jasa dan pengabdian yang pernah kami berikan pada negara," lanjut Paelan, masih dengan nada berapi-api. Bukan tanpa sebab Paelan segeram itu. Sebelum ditahan selama tujuh tahun oleh rezim berkuasa, Paelan dan 50-an tapol lainnya adalah tentara yang menjalankan disiplin ketentaraan sepenuhnya. "Saya tidak penah tahu menahu mengenai PKI, tiba-tiba saya ditahan dan dituduh PKI. Berarti saya ini PKI sejati karena yang mengesahkan saya sebagai PKI adalah Kodam," ujarnya keras.
Pengalaman yang dirasakan Untung, tidak jauh beda. Meski bernama Untung dan masa itu berpangkat Kopral II Batalyon Infanteri 612 (Manggar sekarang), nasibnya sungguh tidak beruntung. Gara-gara aktif di kelompok Ludruk Gaya Muda, suatu pagi, Untung diangkut dengan truk untuk menjalani pemeriksaan lalu ditahan sejak 16 Maret 1970 hingga Desember 1977.
Ironisnya, yang memeriksa dirinya adalah orang PKI bernama Mulyono, dari Commitee Central (CC, semacam pengurus pusat di Jakarta). Menurut informasi dari teman-teman tahanan lainnya, Mulyono sengaja direkrut oleh tim Litsus TNI untuk memeriksa para tahanan. "Maka pesan saya pada anak muda, di organisasi manapun, akan terjadi kristalisasi. Selalu ada yang teguh pada pendirian dan ada yang berkhianat, jadi jangan kaget lagi," imbuh Ismary mengingatkan.
Tahanan tidak hanya didominasi kaum lelaki, tapi juga perempuan. Supatmi, 64 salah satunya. Supatmi adalah penduduk Tanah Grogot. Sekitar tahun 1965, dirinya didatangi Gerwani untuk direkrut sebagai anggota. Namun Supatmi menolak. Tak lama berselang, aparat menangkapnya, menahannya di Tanah Grogot selama dua tahun, dilanjutkan di Balikpapan selama lima tahun. "Rupanya nama saya dicatat orang-orang Gerwani, padahal saya bukan anggota mereka dan tidak tahu apa-apa soal mereka. Kok malah saya ditahan," katanya setengah bertanya dengan mata berkaca-kaca. (bersambung)
versi sopan dan ga narsis bisa dibaca di sini, edisi 11 Maret 2007
6 komentar:
kasian :(
*menghela nafas tanpa bisa berkomentar
jadi ingat wkt sd aku dimarahi guru krn nanya, "anak orang yg dianggap PKI kan gak bersalah, knp ikut dikucilkan juga?" wkt itu guru cerita mrk tdk boleh jd pegneg dsb. hrs ada surat bersih diri ato semacamnya...sbg anak aku merasa itu tdk adil...
huh!...mo nulis apalagi ya, ketakadilan ttp saja ada selama pemimpin menjadi penguasa, bukan panutan ato pelindung rakyatnya
oh itu fotonya :p. Maap out of topic. Aku speechles soalnya.
jadi ingat Mbakyu Srintil yang gak tau apa-apa, niatnya cuma meronggeng, dibui gara-gara dituduh terlibat PKI. Hmmm kasian orang-orang Dukuh Paruk..
keadilan tampaknya menjadi salah satu barang langka di negeri ini ya jeng...ikut prihatin :(
Posting Komentar