Senin, 28 Januari 2008

TV Anda Rusak Juga Hari Ini?

Sejak kemarin migren saya kumat. Maka tadi pagi saya tak bisa bangun pagi untuk kerja. Capek. Tapi lamat2 dari tv di kamar sebelah saya berkali-kali mendengar suara "Pemirsa, mantan Presiden Bapak Haji Muhammad Soeharto, yang kita kenal sebagai bapak pembangunan, adalah sosok blablabla...." Wooo....kepala saya kian berdenyut2. Saya hapal suara itu, penyiar perempuan TVRI dari zaman duluuu banget. Konon katanya rumahnya tak jauh dari rumah orang yang sedang dibicarakannya, yang namanya selalu disebut sangat lengkap. Penyebutan nama itu mengingatkan saya pada pikiran kanak2 dulu. "Apakah 'Presiden' adalah sepotong dari namanya? Nama: Soeharto. Nama lengkap: Presiden Soeharto." Hihihi...bodoh kali saya nih!

Lalu, untuk menetralkan telinga, saya juga nyalain tipi di kamar [yang stengah tahun ini jarang banget saya sentuh]. Tapi ini malah bikin saya makin pening. Karena gambarnya ternyata seragam. Ekslusif TVRI. Warnanya lebih bening daripada channel TVRI sendiri. Oh God! Apa tipi saya rusak? Kok gambarnya sama di semua channel? Atau saya terbangun dalam dimensi waktu masa lampau? Ketika hanya ada TVRI yang bisa menjalin persatuan dan kesatuan? Bukan. Rupanya ini masih bagian dari setting itu. Dan karena ga bisa tidur lagi, saya beranjak, ke kantor.

Buka-buka koran, ya Tuhan, banyak kali iklan duka cita dari pemerintahan, perusahaan. Ini apa??? Kalo biaya masang iklan stengah halaman, berwarna pula, dipake buat nambah2 subsidi minyak tanah, minyak goreng, ngasih modal usaha buat orang2...berapa yang terselamatkan hidupnya? Daripada dikasih ke orang yang udah meninggal? Dia ga baca! Ga akan ngasih proyek karena jilatan iklan2 kalian [kecuali anak2 dan kroninya, kalo mereka ga buru2 melarikan diri keluar negeri setelah pemakaman ini usai].

Belum lagi kalo melihat biaya perawatan selama orang itu nginep di RSPP. Nyaris 1 miliar rupiah? Dua kamar Presiden Suite seharinya aja masing2 Rp 2,5 juta. Trus ada dua lagi kamar kelas III seharinya masing2 Rp 200.000. Kalo dikalikan 23 atau 24 hari? Belum biaya obat, dokter, keamanan, dll, dsb? Ada berapa puluh "Slamet" yang modalnya sehari cuma Rp 50.000 yang bisa dibantu dengan dana yang hanya buat satu orang, yang sebenernya udah lewat tanpa bantuan alat2 itu?

Kembali ke soal tipi rusak, kenapa semua berita penuh puja puji najis yang melupakan perasaan korban pembantaian, penembakan dan penculikan? Berapa ratus ribu nyawa terbantai? Berapa ratus keluarga tercerai berai karena tuduhan2 tak berdasar dan tanpa pengadilan? Berapa ratus genangan darah tercipta di Aceh, Papua, dan Timor Timur karena telunjuknya? Huh, sampai tak ada yang ingat berita ini, soal pemakaman di Kalibata.

Suara najis perempuan yang memujanya sebagai Bapak Pembangunan itu, akan terus berdengung di telinga anak2 yang menonton tivi hari ini. Anak2 itu akan mengenangnya sebagai bapak baik, penuh senyum, suka mancing, main golf, berkebun. Dan orang2 tua yang mendapingi anak2 itu menonton akan melanjutkan dongeng tivi rusak hari ini untuk membantah bahwa wajah penuh senyum itu juga orang yang begitu fasis, pembunuh, mengekang kebebasan rakyatnya. Kenapa? Karena dia pergi tanpa pernah diadili. Karena, penerusnya ga pernah ada yang berani mengadilinya. Karena, penerusnya, berasal dari institusi yang sama, tentara! Kasian sekali anak2 zaman ini, yang tak pernah mengenal Munir!

Rabu, 23 Januari 2008

Simsalabim, Inilah Neraka Ciptaan Ical

Tak perlu lagi repot membincangkan wujud surga dan neraka. Agama mengajarkan untuk meyakini hal itu. Tapi jika tak puas dengan deskripsi di buku-buku dan kitab suci tentang api yang berkobar-kobar di neraka, cobalah datang ke kawasan Lumpur Lapindo di Porong sana.

Bukan mau menyaingi para uztad yang punya program wisata religius. Tapi, si empunya proyek gagal, Ical, telah menciptakan miniatur neraka di Porong, Sidoarjo sana. Mungkin ini bagian dari program Visit Indonesia 2008. Bukankah Ical bagian penting dari program itu? Ada gambarnya nyelip di sana.

Jadi, ajaklah keluarga, teman dan handai tolan untuk berwisata ke neraka ciptaan Ical. Di sana anda akan melihat lautan lumpur yang panas dengan bau menyengat. Lho, mana api nerakanya? Coba berkunjung ke rumah Pak Hadi Wiyanto. Nyalakan korek di kamar mandinya. Dan, simsalabim, api pun berkobar.

Nah, belum pernah liat kan? Air berubah jadi api, sodara-sodara! Di tempat wisata mana di dunia ini yang ada keajaiban seperti ini??? Bau gas menyengat dari mana-mana. Rata-rata air di sumur, kran kamar mandi dan wastafel, airnya berubah menjadi api. Sungguh, petualangan ke neraka yang mengagumkan.

Mau pemandangan lain misalnya gambaran pengungsi macam di Sierra Leone akibat perang saudara? Wah, terlambat. Objek wisata yang satu itu udah digusur jauh2. Konon katanya ada yang digusur hingga ke Ambon, ke Kaltim. Itu sebuah upaya untuk memindahkan benih-benih konflik ke daerah yang baru. Yah, anda tau sendiri, pemimpin negeri kita kan ahli strategi, murid teladan tuan yang sedang terbaring sakit.

Bagaimana reaksi kumpulan orang2 bernama tim penanggulangan lumpur Lapindo [f**k buat orang2 yang selalu menggantinya dengan kata Lumpur Sidoarjo]? Belum ada respon. Ini kan peristiwa yang bagus sekali. Anda bisa memperlihatkan tontonan yang sangat menarik pada rombongan wisatawan. Tentang bagaimana gambaran ketakutan warga terhadap air yang berubah jadi api, yang bisa membakar tubuh mereka setiap saat. Mau mengevakuasi diri ke tempat yang lebih aman? Bagaimana mungkin? Sampe sekarang ganti rugi penghilangan harta benda mereka belum dibayar!



Sumber inspirasi makian: berita Antara

Minggu, 13 Januari 2008

Berita Seragam, Setting-an Siapa?

Mungkin detik ini, seluruh mata di republik Indopahit, melihat ke satu arah, berita! Baik di televisi, koran (terbitan pagi-siang-sore-malem) dan internet. Isinya seragam, si anu menjenguk siapa. Mereka mungkin ga sadar, besok, ketika bangun pagi2, mereka ga bisa lagi membeli apa2 untuk mengisi perut. Karena harga kedelai dan terigu, bahan makanan rakyat jelata, melonjak semua. Terpaksa tempe dicampur singkong. Balik ke zaman awal peradaban? Makannya singkong?

Media, menurut gw, udah over expose. Tak ada lagi yang mengingat soal keseimbangan. Semua satu suara, satu muara, pemaafan. Herannya, yang berlomba2 memberi maaf justru bukan orang-orang yang tersakiti oleh u-know-who! [ouh, saya pun melakukan itu. saya heran melihat Guruh di layar tivi. Tak ingatkah dia tentang kasus Dokter Hewan buat sang ayah? tapi sudahlah, itu hak dia. Dan Guruh memang bukan Rahma]

Setting siapa sih ini? Hanya ada dua nama! Pemilik kepentingan dan pemilik media. Siapa pemilik media di negeri ini? Halah, u-know-who-lah, masa masih nanya! Pemilik kepentingan? Yaelah, masih nanya juga. Sama aja, pendukung setia, u-know-who! [terserah mau percaya atau nggak, ini memang cuma sok analisis bodoh gw]

Mungkin ada satu atau dua media yang tidak sepenuhnya over expose karena latar belakang dukungannya selama ini. Tapi menurut gw, koran itu tetep aja belum bersikap adil. Dan menurut gw, koran ini akan tetep ngikut ke selera pasar yang udah disetting mati2an oleh dua nama tadi. Mungkin takut ga laku kalo ga ikut yang seragam. Belum nyoba udah takut duluan.

Hah...cuma ibu-timun di kartun kompas yang masih berpikir jernih. Tetep sibuk antre minyak tanah, sibuk ngurus jatah raskin, sibuk ngurus askeskin, dan ga peduli pada bapak yang lagi sakit. Padahal ...itu suaminya sendiri, haqhaqhaq...pikiran jernih apa gila yak? :p

Oh iya, sementara semua orang sibuk dengan satu berita, pabrik satu ini memberitakan soal meninggalnya Sekretaris Yayasan Supersemar, Arjodarmoko. Menurut berita itu, atas perintah Soeharto, Arjodarmoko disebut-sebut pernah membeli tanah 144 hektare di Citerurup Bogor, Jawa Barat. Tanah itu kini menjadi Sirkuit Sentul. Arjodarmoko sempat menolak menggunakan tanah itu untuk membantu memajukan olahraga balap. Alasannya, Yayasan Supersemar merupakan yayasan sosial. "Kami tidak mengurusi masalah olahraga," kata Arjodarmoko suatu ketika.
Innalillahi...



UPDATE: Effendi Gazali, Dosen di UI, mengkritisi media karena omongan tebar2 pesona soal Soeharto sibuk diberitakan dan porsinya terlalu besar. "Sekarang kan salah satu yang jadi blunder itu, misalnya, jika dibandingkan perlakuan yang diberikan ke Soeharto dengan yang diterima para korban banjir. Apakah mereka dapat dokter puskesmas dan fasilitas kesehatan cukup? Apakah media massa juga memperlakukan mereka sama?"
Betul bung! Ah, isi pikiran kita sama aja ya :p huehehehe

Sabtu, 12 Januari 2008

Menunggu Kematian Paman Gober

Fiksi, bukan fakta. Sebaliknya, fakta bukan fiksi. Maka sebuah karya fiksi memang tak bisa dikategorikan karya jurnalistik, meski didasarkan pada sebuah kisah nyata. Tapi saya suka karya2 fiksi semacam itu, seperti yang dibuat oleh Seno Gumira Ajidarma. Sama sukanya saya dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Berikut, saya mengambil cerpen karya Seno Gumira Ajidarma ini dari sebuah milis yang entah telah mengalami berapa kali copy-paste sehingga saya tak mencantumkan lagi sumber milisnya. Sangat relevan dengan kondisi kekinian sebuah negeri antah berantah.

Menunggu Kematian Paman Gober
Oleh: Seno Gumira Ajidarma

Kematian paman gober ditunggu-tunggu semua bebek. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk Kota Bebek membuka koran, yang mereka ingin ketahui hanya satu hal : apakah hari ini Paman Gober sudah mati. Paman Gober memang terlalu kuat, terlalu licin, dan bertambah kaya setiap hari. Gudang-gudang uangnya berderet dan semuanya penuh. Setiap hari Paman Gober mandi uang disana, segera setelah menghitung jumlah terakhir kekayaannya, yang tak pernah berhenti bertambah.

Begitu kayanya Paman Gober, sehingga ia tak bisa hafal lagi pabrik apa saja yang dimilikinya. Bila terlihat pabrik di depan matanya, ia hampir selalu berkata, "Oh, aku lupa, ternyata aku punya pabrik sepatu." Kejadian semacam ini terulang di muka pabrik sandal, pabrik rokok, pabrik kapal,pabrik arloji, maupun pabrik tahu-tempe. Boleh dibilang, hampir tidak ada pabrik yang tidak dimiliki Paman Gober. Ibarat kata, uang dicetak hanya untuk mengalir ke gudang uang Paman Gober.

Meskipun kaya raya, anggota klub milyarder no1, Paman Gober adalah bebek yang sangat pelit. Bahkan kepada keluarganya, Donal bebek, ia tidak pernah mewmberi bantuan, meski Donal telah bekerja sangat keras malah Donal ini, beserta keponakan-keponakannya Kwak, Kwik, dan Kwek, hamper selalu diperas tenaganya, dicuri gagasannya, dan hasilnya tidak pernah dibagi. Cendekiawan jenius Kota Bebek, Lang Ling Lung, yang dimuka rumahnya tertera papan nama Penemu, Bisa Ditunggu, pun hamper selalu diakalinya.

Sudah berkali-kali Gerombolan Siberat, tiga serangkai kelas kakap, menggarap gudang uang Paman Gober, namun keberuntungan selalu berada dipihak Paman Gober. Pman Gober tak terkalahkan, bahkan oleh Mimi Hitam, tukang tenung yang suka terbang naik sapu. Sudah beberapa kali Mimi Hitam berhasil merebut Keping Keberuntungan, jimat Pman Gober, namun keping uang logam kumuh itu selalu berhasil direbut kembali. Tidak bisa dipungkiri, Paman Gober memang pekerja keras. Masa mudanya habis dilorong-lorong gua emas. Sebuah gunung emas yang ditemukannya menjadi modal penting yang telah melambungkannya sebagai taipan tak tersaingi dari Kota Bebek.

Suatu hal yang menjadi keprihatinan Nenek Bebek, sesepuh Kota Bebek yang mengasingkan ke sebuah pertanian jauh di luar kota, addalah kenyataan bahwa Paman Gober dicintai kanak-kanak sedunia. Pman Gober menjadi legenda yang disukai. Pman Gober begitu rakus. Pman Gober begitu pelit. Tapi ia tidak dibenci. Setiap kali ada orang mengecam,menyaingi, pokoknya mengancam reputasi Paman Gober sebagai orang kaya, justru orang itu tidak mendapat simpati. Paman Gober bisa menangis tersedu-sedu meski hanya kehilangan uang satu sen. Ia sama sekalli bukan tokoh teladan, tapi mengapa ia bisa begitu dicintai? "Dunia sudah jungkir balik," ujar Nenek Bebek kepada Gus Angsa, yang meski suka makan banyak, sangat malas bekerja. Namun Gus Angsa sudah tertidur sembari bermimpi makan roti apel.

"Suatu hari dia pasti mati," ujar Kwik.
"Memang pasti, tapi kapan?" Kwak menyahut.
"Kwek!" Hanya itulah yang bisa dikatakan Kwek. Dasar bebek.
Begitulah, setiap hari, Lubas, anjing dirumah Donal, membawa Koran itu dari depan pintu ke ruang tengah.
"Belum mati juga!"
Donal segera membuang lagi Koran itu dengan kesal. Karena memang tiada lagi berita yang bisa dibaca di Koran. Banyak kabar, tapi bukan berita. Banyak kalimat, tapi bukan informasi. Banyak huruf, tapi bukan pengetahuan. Koran-koran telah menjadi kertas, bukan media.

Semua bebek memang menunggu kematian Pman Gober. Itulah kabar terbaik yang mereka harapkan terbaca. Paman Gober sendiri sebenarnya sudah siap untuk mati. Maklumlah, sebagai generasi tua di Kota Bebek, umurnya cukup uzur. Untuk kuburanya sendiri, ia telah membeli sebuah bukit, dan membangun mausoleum di tempat itu. Jadi, bukanya Paman Gober tidak mau mati. Ia sudah siap untuk mati.

"Mestinya, bebek seumur saya ini, biasanya ya sudah tahu diri, siap masuk ke liang kubur. Makanya, ketika saya diminta menjadi Ketua Perkumpulan Unggas Kaya, saya merasakan kegetiran dalam hati saya, sampai beberapa lama saya bisa bertahan? Apa tidak ada bebek lain yang mampu menjadi ketua?"

Kalimat semacam itu masuk ke dalam buku otobiografinya, Pergulatan Batin Gober Bebek, yang menjadi bacaan wajib bebek-bebek yang ingin sukses. Hampir setiap bab dalam buku itu mangisahkan bagaimana Paman Gober memeburu kekayaan. Mulai dari harta karun bajak laut, pulau emas, sampai sayuran yang membuat bebek-bebek giat bekerja, meski tidak diberi upah tambahan. Bab terakhir diberi judul Sampai Kapan Saya Berkuasa? Memang, Paman Gober adalah ketua terlama Perkumpulan Unggas Kaya. Entah kenapa, ia selalu terpilih kembali, meski pemilihan selalu berlangsung seolah-olah demokratis. Begitu seringnya ia terpilih, sampai-sampai seperti tidak ada calon yang lain lagi.

"Terlalu, masak tidak ada bebek lain?"

Paman Gober selalu berbasa-basi. Namun, entah kenapa, kini bebek-bebek menjadi takut. Paman Gober, memang, terlalu berkuasa dan terl;alu kaya. Setiap hari yang dilakukannya adalah mandi uang. Ketika Donal Bebek bertanya dengan kritis, mengapa Paman Gober tidak pernah peduli kepada tetannga, bantuan keuangannya kepada Donal segera dihentikan.

"Kamu bebek tidak tahu diri, sudah dibantu, masih meleter pula."
"Apakah saya tidak punya hak bicara?"
"Bisa, tapi janngan asal meleter, nanti kamu aku sembelih."
"Aduh, kejam sekali, menyembelih bebek hanya dilakukan manusia."
"Ah, siapa bilang bebek tidak kalah kejam dari manusia."
"Lho, manusia makan bebek, apakah bebek makan manusia?"
"Yang jelas manusia bisa makan manusia."
"Tapi Pman mau menyembelih sesame bebek, apakah sudah mau meniru sifat manusia?"

Paman Gober mempunyai banyak musuh, namun Paman Gober suka memelihara musuh-musuh yang tidak pernah bisa mengalahkannya itu, justru untuk menunjukkan kebesarannya. Paman Gober sering muncul di televise. Kalau Paman Gober sudah bicara, kamera tidak berani putus, meskipun kalimat-kalimatnya membuat bebek tertidur. Paman Gober selalu menganjurkan bebek bekerja keras, seperti dirinya, dan Paman Gober juga semakin sering menceritakan ulang jasa-jasanya kepada warga
Kota Bebek.

"Coba, kalau aku tidak membangun jalan, air mancur, dan monument, apa jadinya Kota Bebek?"
Tidak ada yang berani melawan. Tidak ada yang berani bicara.
"Paman Gober," kata Donal suatu hari, kenapa Paman tidak mengundurkan diri saja, pergi ke pertanian seperti Nenek, menyepi, dan merenungkan arti hidup? Sudah waktunya Pman tidak terlibat lagi dengan urusan duniawi."

"Lho, aku mau saja Donal. Aku mau hidup jauh dari Kota Bebek ini. Memancing, main golf, makan sayur asem, dan membaca butir-butir falsafah hidup bangsa bebek. Tapi, apa mungkin aku menolak untuk dicalonkan? Apa mungkin aku menolak kehormatan yang segenap unggas? Terus terang, sebenarnya sih aku lebih suka mengurus peternakan."

Maka hari-hari pun berlalu tanpa penggantian pimpinan. Demokrasi berjalan, tapi tidak memikirkan pimpinan, karena memang hanya ada atu pemimpin. Segenap pengurus bisa dipilih berganti-ganti, namun kedudukan Paman Gober tidak pernah dipertanyakan. Para pelajar seperti Kwik, Kwek, dan Kwak menjadi bingung bila membandingkannya dengan sejarah kepemimpinan kota lain. Kota Bebek seolah-olah memiliki pemimpin abadi. Generasi muda yang lahir setelah Paman Gober berkuasa bahkan sudah tidak mengerti lagi, apakah pemimpin itu memang bisa diganti. Mereka pikir keabadian Paman Gober sudah semestinya.

Dan itulah celakanya kanak-kanak mencintai Paman Gober. Riwayat hidup Paman Gober dibikin komik dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Bebek terkaya yang sangat pelit dan rakus ini menjadi teladan baru. Nenek Bebek tidak habis pikir, mengapa pendidikan, yang mestinya semakin canggih, membolehkan budi pekerti seperti itu. Generasi muda ingin meniru Paman Gober, menjadi bebek yang sekaya-kayanya, kalau bisa paling kaya di dunia.

"Paling kaya di dunia?" Kwak bertanya.
"Iya, paling kaya di dunia," jawab Nenek Bebek.
"Apakah itu hakikat hidup bebek?"
"Bukan, itu hakikat hidup Paman Gober."

Sementara itu, nun di gudang uangnya yang sunyi, Paman Gober masih terus menghitung uangnya dari sen ke sen, tidak ditemani siapa-siapa. Matanya telah rabun. Bulunya sudah rontok. Sebetulnya ia sudah pikun, tapi ia bagai tak tergantikan.

Semua bebek menunggu kematian Paman Gober. Tiada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk Kota Bebek membuka koran, yang ingin meraka ketahui hanya satu : apakah hari nin Paman Gober sudah mati. Setiap pagi mereka berharap akan membaca berita Kematian Paman Gober, dihalaman pertama.

Jakarta, 16 Agustus 1994

Selasa, 08 Januari 2008

Pekan Penuh Order Bagi Pendoa

Sejak akhir pekan lalu, ada berita besar. Soeharto, sakit lagi. Saking besarnya berita itu, kata detik com, ranking penguasa orde baru ini melesat di deathlist.net di Inggris. Pekan ini, ada order besar bagi para pendoa. Order besar bagi para penjilat. Ketika berita itu tersiar, mereka ramai2 datang membesuk, mendoakan. Padahal mereka sebenernya berdoa bukan untuk si sakit. Tapi berdoa untuk kepentingannya sendiri. Sebentar lagi pemilihan umum, partai kami butuh suntikan dana segar.

[Upah bikin RUU yang hanya Rp 21,4 miliar dan masih harus dibagi2 itu, tak mencukupi untuk modal ke 2009. Setiap anggota sirkus senayan, dapet Rp 1 juta per RUU. Jumlah RUU, 39. So masing2 dapet Rp 39 juta. Jumlah yang didapet sama anggota pansus dan komisi yang membahas RUU itu, serta pimpinan sirkus, beda lagi. Masing2 dapet Rp 5 juta per RUU. Kalikan 39 RUU, hasilnya, kaya raya. Walopun di ruangan cuma diem dan nitip absen.]

Doa-doa yang diikuti buaaanyak sekali pernyataan2. Sok memaafkan lalu disambung pernyataan2 yang sangat terlihat menjilat dari para pengecut. Mereka sengaja mengulur waktu. Menggantung nasib si sakit. Doa mereka sesungguhnya adalah: Ya Tuhan, jangan kabulkan doa kami bagi si sakit agar kami bebas dari sorotan kasus ini. Agar kami tetap terlihat berani mengusut kasus ini. Agar kami tak dicap pengecut. Karena sesungguhnya, kami tak berani menyentuh kasus itu. Selamatkan wajah kami ya Tuhan.

Ah, benar2 pekan yang penuh order bagi para pendoa.
Dan pekan penghinaan bagi mereka, korban-korban pelanggaran HAM. Yang puluhan tahun dipisahkan dengan keluarganya karena cap kejam itu.

Belum reda berita besar itu, ada tangisan seorang pendoa di pengadilan. Hakim menolak permintaannya untuk mendoakan Soeharto. Saat ditanya hakim kenapa dia berlinang air mata, dia bilang, kalau ga dapet beasiswa, mungkin ia tidak akan pernah berhasil dan bisa pake dasi seperti saat ia hadir dalam persidangan. Mungkin ia masih jadi petani.

x-( Apa yang salah dengan jadi petani? Apakah orang berdasi lebih terhormat daripada petani? Apakah ga boleh jadi petani kalo udah dapet beasiswa? Oh, iya, saya baru ingat. Banyak petani dirampas tanahnya. Petani ditembaki. Petani dicekik dengan harga pupuk yang melangit. Ya, ya, dia bener2 patut bersyukur tak jadi petani.



UPDATE: Saya menemukan qoute menarik yang ditulis Dr Victor Silaen, Dosen Fisipol UKI:
"Maret 1998, di tengah krisis moneter yang sangat mengguncang perekonomian Indonesia, Soeharto pernah berkata, Dengan semangat kejuangan dan Saptamarga, jangankan harta, jiwa pun akan dipasrahkan untuk pengabdian kepada bangsa dan negara ini."
Lalu kenapa aparat hukum demikian pengecut? Mengapa parpol kuning itu demikian menjilat?

Rabu, 02 Januari 2008

Visit Indonesia 2008 = Jalan2 ke Luar Negeri?

Seperti daerah lain, Kaltim juga sedang bebenah, melakukan persiapan untuk mendukung program Visit Indonesia 2008. Kalau targetnya 25.000 wisatawan tahun ini, mungkin masih dalam kisaran angka yang wajar. Maklum, di sini cukup banyak objek wisata yang bisa dijual (?) Ditambah lagi, tahun ini Kaltim juga menjadi tuan rumah penyelenggaraan PON XVII.

Kaltim mengandalkan wisata alam dan budaya. Untuk wisata alam, ada taman laut Derawan di Kabupaten Berau, wisata arung jeram di kecamatan Long Bagun dan Long Pahangai, Kutai Barat, Taman Nasional Kayan Mentarang di Malinau, Hutan Lindung Sungai Wain dan penangkaran buaya di Balikpapan. Sedangkan untuk wisata budaya, Kaltim mengandalkan kawasan pemukiman adat Dayak Kenyah dan Dayak Krayan di Malinau, Dayak Benua di desa budaya Tanjung Isoi, Kutai Barat, dan desa budaya Pampang di Samarinda.

Sayangnya, yang disiapkan adalah paket perjalanan ke luar negeri. Katanya sih untuk promosi wisata ke Thailand, Jepang, Cina dan sebagainya. Daerah Eropa misalnya Jerman dan Italia, juga ke Rusia, untuk melanjutkan promosi yang udah dilakukan tahun lalu.
Saya yakin, biayanya sangat mahal. Karena, saya yakin pula, jumlah rombongannya pasti tidak sedikit. Ada orang dinas pariwisatanya, ada pejabat provinsi, dan biasanya, ada wartawan. Biar pergi- pulangnya ga diributin, yang pasti anggota DPRD juga diajak. Anak-istri-suami juga, biasanya diajak. Ke banyak negara pula! Kalkulasi sendirilah beapa biayanya.

Padahal, menurut berita ini, Kepala Dinas Pariwisata Kaltim Firminus Kunum mengeluhkan sedikitnya anggaran untuk dinas yang dipimpinnya tahun ini. Hanya Rp 10 miliar. Jumlahnya turun Rp 1 miliar dibanding anggaran tahun lalu. Rp 800 juta diantaranya, dialokasikan untuk promosi wisata. Uang segitu katanya tak cukup untuk mengenalkan objek-objek wisata Kaltim ke dunia luar. Rp 1,6 m untuk pengembangan destinasi, Rp 1,4 m untuk renovasi tempat wisata dan usaha jasa. Sisanya, tak taulah, mungkin udah termasuk gaji PNS.

Herannya, meski mengeluh dananya minim, mereka justru hanya menyiapkan kunjungan ke luar negeri untuk promosi. Bukan mempercantik dan membangun infrastruktur tempat wisata agar mudah diakses wisatawan. Dan, seberapa efektif sih promosi yang akan mereka lakukan itu?

Saya kok merasa, kalo misalnya mereka konsen membenahi objek wisata, lalu mengundang orang dalam negeri, bahkan 'cuma' masyarakat sekitar untuk datang ke sana, lalu sepulangnya orang2 itu akan bercerita ke orang lain, menulisnya di koran atau blog (?) tentang keunikan objek yang dikunjunginya, keramahtamahan masyarakatnya, kebersihannya, petugas jaga yang tidak sembarang mengutip uang masuk, akan lebih efektif. Ketimbang berombongan ke luar negeri, hanya bertemu segelintir orang (pejabat), blablabla...? Atau promosi di website? Bukankah dananya Rp 17 miliar? Dengan dana segitu, seharusnya semua yang orang butuhkan tentang wisata di Indonesia, udah ada di sana.

Ini cuma pendapat pribadi. Mungkin keliru karena berangkat dari perspektif berbeda. Sebab saya tak tau kalo misalnya Visit Indonesia 2008 itu artinya memang kunjungan orang2 Indonesia ke luar negeri. Mungkin memang seharusnya diganti dengan Invite Indonesia 2008. Eh, kalo invite pun diartikan undangan ke luar negeri, ya maap, kesalahan bukan pada kamus.