Sabtu, 30 September 2006

G30S/NBS; Nobel Buat Siapa?

Tenggelamkan, tembak di tempat, lalu pailit.
Tiga skenario besar itu gw yakin pasti akan dilakukan Bakrie dengan lumpurnya. Tenggelamkan Porong dan sekitarnya, lalu Sidoarjo, bahkan ujung timur pulau Jawa semuanya sudah terjadi. Gimana nggak, para ahli udah memprediksi kalo semburan lumpur itu bakal abadi. Sekarang aja udah 8 desa terendam dan tanah2 sekitarnya udah ambles tanpa harus menunggu Desember seperti prediksi para ahli.

Lalu ada perintah tembak di tempat bagi warga yang melakukan aksi unjuk rasa. Gw juga yakin ini bukan sekedar ancaman. Yang ga mengganggu kapital penguasa aja diculik dan dibunuh. Dan undang2 yang memihak pemilik modal itu, jelas2 memberi kewenangan kepada aparat keamanan untuk melakukan apa saja demi pengamanan modal. Lihat misalnya Freeport yang menganggarkan sedikitnya Rp 50 miliar setahun untuk biaya keamanan.

Skenario terakhir, jika Bakrie telah bosan, maka satu-satu perusahaannya akan dilepas. Sekarang saja kasus lumpur ditangani tim nasional (baca: negara). Lama2 saat perusahaannya satu per satu dilepas, grup Bakrie yang ngurusin Lapindo akan dinyatakan pailit. Dan itulah akhir semua skenario. Saat pailit, berarti perusahaan tidak akan dituntut apa2. Lalu negara yang akan menanggung semuanya (itu pun kalo penguasanya lagi waras).

Anak kecil pun tau. Menghilangkan sumber hidup orang lain dengan membenamkannya di lumpur panas itu, lalu nmengancam tembak mati (najis, padahal peluru2 itu dibeli dari pajak yang kami bayarkan setelah keringat kami habis terperas), lalu pailit (dengan sengaja lewat tipuan dokumen) adalah kejahatan kemanusiaan terbesar.

Tapi, kalian cuma rakyat jelata, terimalah nasibmu. Di negeri ini, tak ada satu pun tempat yang aman dari resiko pelanggaran moral, hukum dan kemanusiaan. Jangan coba2 bicara tentang HAM, karena tak ada tempat dan waktu untuk persoalan itu. Daerah yang paling kaya dengan perusahaan migasnya, otomatis menjadi daerah yang terbanyak penduduk miskinnya. Karena migas adalah dewa baru sumber UANG yang tak boleh dibagi pada kalian para jongos.

Hari ini, 30 September, puncak peringatan sejarah kelam bangsa ini ketika sekitar 500.000 orang dibantai tanpa mereka tahu kesalahannya. Kapan pengadilan buat mereka?
Hari ini 30 September, warga Sidoarjo tak tau lagi arti hak asasinya sebagai manusia.
Hari ini 30 September, hari terakhir penilaian pemberian Nobel Perdamaian. Nobel Buat Siapa? Jika nobel itu ada di tangan, masihkah daftar kasus Trisakti, Semanggi, 27 Juli, Munir, Tanjung Priok, Lampung, Aceh, Papua, Timor Timur, hanya menjadi koleksi sejarah?
Hari ini, esok, nanti, apa masih layak mereka yang justru penindas itu disebut manusia?



NB...thanks kiriman hujannya, sakit gw jadi lebih indah...

Senin, 25 September 2006

cuma nama dan gambar

Di zaman ekstrim (versi gw) dulu, doa gw sebelum makan adalah "Terima kasih bapak tani atas rezekimu hari ini. Berkat kerja kerasmu, saya bisa makan, semoga dipanjangkan umurmu oleh-Nya, Amin!"

Denger doa gw, 'seseorang yang pernah bikin gw berdebar' menatap gw dengan tatapan aneh. Ups...maap. Gw emang ga berusaha jaim dan tampil seolah2 sangat beriman di depan dia. Biarin aja gw kek gini. Kalo dia emang suka ma gw, ya nembaklah, ga usah sok pengen nuntun gw ke jalan yg bener dengan tatapannya itu...hihihi...

Halah...jadi curhat padahal bukan soal tatapan dia inti cerita gw. Gw cuma mikir, jaman sekarang masih ada ga ya orang yang mikirin petani. Kemaren, 24 September, adalah hari tani sedunia. Ga tau napa di Indonesia 24 September juga ditetapkan sebagai hari tani. Apa kasusnya sama dengan hari kemerdekaan? Hanya sekedar peringatan bahwa kita pernah punya kelompok masyarakat bernama petani?

Emang masih ada lahan yang bisa dipake buat bercocok tanam? Hutan dibabat untuk perumahan, bukit dipotong untuk jalan, sawah ditimbun lumpur karena salah ngebor, kuburan digusur demi real estate, perumahan kumuh digusur demi sebuah mall. Apa harus nanem padi di batu?

Tapi mungkin bener, peringatan hari tani sama dengan peringatan hari kemerdekaan. Petani hanya akan dicatat dalam sejarah pada bagian kelam dengan lambang palu arit diatasnya. Gambar presiden yang tersenyum lebar saat menuai padi dengan arit di kanan, padi menguning di kiri, caping di kepala, hanya tipuan belaka.

Tak ada yang benar2 peduli pada lelaki2 berkulit kelam yang tercenung dipinggir kubangan raksasa Porong menatap matinya sumber penghasilan mereka tertelan lumpur panas. Militansi petani Lombok hanya jadi tontonan di layar tivi. Anak2 muda hanya bisa menyanyi kecil Di bawah topi jerami, kususuri garis revolusi...* sambil menatap mahasiswi2 centil ber-tanktop dan rok mini(m) di koridor kampus.

Harga pupuk tetap saja menggila. Sawah2 tak bisa diselamatkan dari lumpur panas. Tanah2 dirampas. Hutan dibabat, sawah terendam banjir. Tersisa cuma kepiluan. Tak ada lagi yang bisa ditanam dan dimakan dari tanah ini. Beras didatangkan dari negeri yang jauh. Petani tinggal nama, arit tinggal gambar, pacul jadi tumpul, hanya ada peringatan sejarah 24 September.

*) lagu itu semakin sayup terdengar. dulu dinyanyikan ribuan pemuda dari puluhan kampus, kini dinyanyikan puluhan pemuda dari satu dua kampus. bertarung satu lawan satu di PN Jaksel sana, maju tiga langkah, ketangkep dua orang, subversif satu orang. lantas apa bedanya dengan Cendana?



NB:...tak perlu basa basi itu, gw udah CUKUP TAU...

Kamis, 21 September 2006

Gw cemas...semoga Ramadhan damai

Tiba2 tangan dan kaki gw dingin. Ini bukan pengaruh ac ruangan. Bukan pula pengaruh hujan di luar sana yang ga brenti2 dari semalem. Gw cemas menanti eksekusi Tibo cs. Padahal kami ga ada hubungan saudara kecuali sebangsa setanah air dan sama2 warga dunia.

Jadi apa yang gw cemasin? Gw ga ngerti...gw cuma takuuut sesuatu akan terjadi setelah eksekusi nanti malem. Gw dah coba untuk biasa aja, tenang2 saja, wait and see, berharap sungguh keadaan baik2 aja, tapi ga bisa2.

Bayangan hitam kerusuhan2 dulu, melekat jelas di kepala gw. Gw ga ngalamin langsung, cuma pernah sedikit bersinggungan dalam satu perjalanan nekat. Tapi melihat derita akibat kerusuhan2 itu...goresannya dalem banget buat gw.

Seandainya dia bukan Tibo, seandainya dia ga punya agama, seandainya dia bukan warga etnis tertentu, seandainya dia ga punya KTP, seandainya dia bukan warga Indonesia, mungkin gw ga secemas ini. Tapi kita sama2 hidup di lintang khatulistiwa, dengan satu presiden dan satu aturan.

Ah, aturan mungkin memang cuma satu. Tapi perlakuannya terhadap warga negara, beragam. Lihat saja polisi2 itu. Mana berani mereka menilang pengendara yang pake lambang garuda terbungkus padi kapas meski isi mobilnya cuma dua orang di jalur 3 in 1? Itu baru contoh kecil.

Mana ada pejabat koruptor yang ditahan? Yang banyak adalah maling jemuran dan maling ayam. Membunuh hakim secara berencana aja CUMA ditahan tiga tahun kok. Hello...apa Tommy Soeharto udah kembali ke Cendana? Ah, pertanyaan ga penting. Di Nusa Kambangan aja dia bisa bolak balik maen golf ke Bogor.

Jadi, jelas, gw ga bisa meredam kecemasan gw pasca eksekusi Tibo cs. Apalagi mau berharap keadilan untuk Munir. Dan cuma mimpi jika berharap kasus lama dari Sabang sampe Merauke bisa diselesaikan. Cuapek deuh...kata anak Jakarta!

Tapi dimaklumi ajalah. Negeri kami masih dalam tahap belajar soal hukum tanpa pandang bulu. Pun soal Tibo cs, pemerintah kami pasti sulit memutuskan eksekusi itu. Semoga setelahnya, bumi khatulistiwa ini tetap damai. Sedamai Ramadhan yang segera tiba. MARHABAN YAA RAMADHAN...mohon maaf lahir dan batin, selamat menjalankan ibadah puasa!



NB:...telpon semalem, seperti dentang kematian rasa...

Selasa, 19 September 2006

Gw bilang mereka kebo

Seorang kawan pernah cerita tentang ponakannya yang pinter itu. Di sekolah, si ponakan belajar soal Lumpur Lapindo. Sang guru bilang "Pemerintah sebenernya ga bisa nanganin lumpur, tapi malu mengakui. Makanya lumpur itu ga ada selesai2nya".

Bener apa kata Pak/bu guru itu. Sayangnya, sekaligus untungnya, cuma diucapkan seorang guru. coba diucapin seorang politikus, maka gemparlah negeri ini dengan berbagai komentar yang justru akan menutupi isu sebenernya soal penanganan lumpur.

Ugh...bosen, omongan mulu. Padahal, warga Porong butuh realisasi, bukan cuma omongan. Ampuuun, tar lagi puasa, lebaran, musim ujan, tapi mereka masih tinggal di tenda? Rumah, harta, ternak, tanah, semua terendam lumpur panas, beracun, dan bau itu!
Ada ga seehhhh yang mikirin merekaaaaaaaaaaa?????

Apa nunggu satu kota tenggelam semua ma orang2nya? Sekarang aja tanggul2 udah jebol, tanah ambrol sampe 4 meter yang menenggelamkan alat2 berat, empat desa di sekitar semburan lumput mengalami penurunan tanah 94 cm, delapan desa udah terendam, anak2 ga sekolah lagi karena gedungnya terendam...nunggu apalagi?

Ayolah...kalo emang udah ga sanggup, menyerahlah Bakrie. Mintalah bantuan ke negara manapun yang sanggup. Berlama2 seperti ini, cuma akan menguras sedikit demi sedikit uang negara. Ahaaa...anak pinter. Doanya terkabul. Sekarang negara mengambil alih kasus lumpur ini. Konon Lapindo tetep sebagai penyedia dana sebanyak Rp 1,5 triliun. Semoga...! Jangan2 tar malah negara juga yang bayar.

Hiks...sekarang lupain deh soal Bersama Kita Bisa menghentikan lumpur. Yang penting gimana Bersama Dapet Nobel Perdamaian. Mungkin panitia nobel ga tau, sapa komandan, arsitek dan penyokong dana ketika pergolakan terjadi di Aceh, Timor Timur, Papua, Maluku yang udah menelan ribuan korban.

Tapi perkembangan lumpur dari hari ke hari bikin dagdigdug. Para ahli memprediksi, semburan ini bakal abadi. Amblesnya Porong tinggal menunggu waktu. Gw salah, kemaren gw bilang mereka monyet. Yang bener, mereka kebo. Mereka bikin kubangan raksasa buat berendam di lumpur panas.



NB: ...dan enyah saja kau pekat...

Sabtu, 16 September 2006

Kala Duit Tak Berharga

Kebanggaan Bu Menkes seketika redup, nyaris padam. Sebabnya, cerita kemewahan pernikahan anaknya seharga Rp 15 miliar beberapa waktu lalu kini tersaingi. Padahal sebelumnya, Bu Menkes berhasil mengungguli rekor pernikahan Siti Nurhaliza yang biayanya cuma Rp 12 miliar. Bu Menkes unggul dengan jembatan es antar ruangannya dan menang karena cerita gedung Hotel Darmawangsa-nya.

Tapi semua cerita ada akhirnya Bu Menkes. Ada sebuah perhelatan lebih besar sedang berlangsung di Jakarta sana. Anak tertua mantan penguasa orba, Tutut Soeharto dari klan cendana lagi mantu. Bu Menkes kalah berkali lipat. Pertama, klan cendana lebih TOP dari Bu Menkes. Kedua, mantunya artis. Ketika, souvenirnya bunga2an terbuat dari duit.

Yup...bunga mawar dari duit. Bunganya warna ungu kemerahan terbuat dari lima lembar uang 10.000-an dan selembar uang 20.000-an sebagai daunnya. Jadi setiap undangan yang hadir pas acara siraman, bisa bawa pulang duit Rp 70.000. Tapi yang mereka bawa sebagai upeti pasti lebih dari itu. Ato, jangan2 duit Rp 70.000 itu buat kembalian yak?

Jadi inget tadi sore pas ke kantor, orang2 lagi antri beli minyak tanah di lapangan dekat rumah. Keringat mereka bercucuran sejak subuh, hanya untuk dapet paling banyak 3 liter minyak tanah. Sukur2 kalo dapet. Kalo ga, mereka sekeluarga ga bisa makan seharian. Belum semua orang punya kompor gas. Kayu bakar? Hutannya udah abis.

Gw cuma bisa geleng2 kepala. Di Balikpapan kok antri minyak tanah? Bukannya kota ini dinamai Kota Minyak? Ada beberapa keluarga kemaren ternyata pake avtur buat masak karena jera ngantri minyak tanah. Gila, pake avtur. Padahal pesawat2 perintis yang ngangkut bahan makanan ke pedalaman sekarang harus antri juga buat dapet avtur. Ini malah dipake buat masak. Herannnn....!

Antrian itu juga ngingetin gw ma antrian BLT (apa BTL sih?) yang Rp 100 ribu per bulan pengganti subsidi BBM itu. Gw juga inget antrian uang lauk pauk bagi korban bencana di Jogja, di Pangandaran, di Sidoarjo, di...semua tempat bencana yang cuma Rp 3.000 per hari. Itu pun banyak yang cuma janji2.

Dan ini yang lebih menyakitkan. Minggu lalu gw menjenguk seorang ibu yang mati2an pengen melahirkan putri kembarnya secara normal karena tak punya cukup duit buat operasi. Tapi akhirnya harus operasi juga karena bayi kembarnya tak bisa keluar dengan normal. Setelah keluar pun, bayinya harus jetlag (setelah 9 bulan meringkuk aman di perut bundanya) karena ditidurkan di lantai.

Omigad...perihnya hidup. Gw ga tega berlama-lama di ruangan ibu itu. Rumah sakit buruk, dokternya juga jahat, ga ngasih penjelasan tentang ada apa selain bayi di perut ibu itu dan cuma bilang "Untung udah punya anak". Sementara di luar sana, koruptor bebas berkeliaran. Di rumah Tutut sana, duit seolah tak berharga, dipilin2, dijadiin souvenir, lalu dibagikan ke orang2 yang juga udah kelebihan duit. Gw muakkkkkk....!




NB; Nebeng Bentar...
Gw ga pengen jadi perempuan yang mengajarkanmu melawan dan membantah orang tua. Gw ga mau jadi perempuan yang menghalangimu untuk berbakti. Demi ibumu, perempuan yang gw hormati, dan demi bapakmu, lelaki tempatmu mengabdi, gw rela menghilang dari kehidupanmu. Semoga ini melegakanmu. Tak ada yang salah dan tersakiti. Gw rela. Banyak kehidupan di luar sana yang begitu indah dan jauh lebih penting dari sekedar gw!
(one day without him)

Selasa, 12 September 2006

Fasis, Amnesia dan Pesawat

12 September
Beberapa orang memperingati satu hari penuh kekerasan di zaman penuh kegelapan di tahun 1984 (yang masih berlangsung sampai hari ini). Ya, hanya diperingati beberapa orang karena cuma mereka yang ga amnesia. Karena mereka adalah korban kasus Tanjung Priok berdarah itu. Yang lain? Telah lama mereka lupa. Jangan berharap apa-apa karena emang ga bakal dapet apa-apa.

11 September
Sekelompok orang di AS sana, juga memperingati hari penuh kekerasan dengan ribuan nyawa melayang. Sama saja dengan negeri kami, kekerasan, konspirasi, mungkin juga urusan dunia akhirat. Di sebuah pengadilan di Jakarta juga dijatuhkan vonis pada seorang kawan karena dianggap menghina pejabat. Ada pula pejabat yang dilempari telur busuk karena dianggap melindungi koruptor.

9 September
Seseorang bertubuh tegap khas tentara, sedang merayakan ulang tahunnya di pesawat. Ya, di pesawat. Tanpa harus takut makanan yang disajikan mengandung arsenik. Dan dia ga bakal gelagapan ketika seorang pejabat di Eropa sana menanyakan kasus Munir. Karena dia terbiasa tanpa ekpresi, tanpa perasaan.

7 September
Hari ini 200-an orang mengenang Munir. Mengenakan kaos bertuliskan Dibunuh Karena Benar. Mungkin akan lahir pepatah baru di buku pelajaran anak sekolah. Dibunuh karena benar, disanjung karena korupsi. Ah, padahal airmata Suciwati belum kering.

Begitulah kehidupan di negeri kami. Hari-hari penuh kekerasan di masa lalu, kini diperingati dengan kekerasan-kekerasan baru. Tak salah Daniel Mahendra menamainya Bangsaku yang Fasis. Soal hukum adalah soal gelap bagi kami. Mungkin kain penutup mata dewi keadilan memang sengaja diartikan sebagai dewi kegelapan.
Para korban sudah hapal...! Masa lalu begitu jauh. Kematian begitu dekat.

ps : ....sampai jumpa, di kehidupan yang lain...

Minggu, 10 September 2006

Maling Jagoan dan Jagoan Maling

Kirain pengutang terkaya Sukanto Tanoto (hartanya 2,8 miliar dolar AS) itu udah yang paling bikin sengsara di negeri ini. Dia debitor kelas kakap Bank Mandiri senilai Rp 4 triliun. Kesandung kredit macet, ternyata masih jadi orang terkaya se-negeri aneh.

Ternyata oh ternyata...masih ada yang lebih jagoan. Ini nih manusia luar biasa, Adelin Lis. Kerugian negara yang ditimbulkan karena illegal logging nilainya ratusan triliun. Gw ga bisa bayangin berapa koper dan truk yang dibutuhin buat ngangkut duit segitu. Jangankan duit pecahan 10.000, duit pecahan 100.000 juga gw ga sanggup. Edy Tansil aja kalah.

Nilai totalnya, ga bisa gw itung. Tapi gini nih ngitungnya. Dari PT Inanta Timber, sumbangan kerugian karena tunggakan PSDH, besarnya Rp 256.445.446.215, Dana Reboisasi besarnya US$ 2.349.293 dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan Rp 225 triliun. Dari perusahaan satunya lagi, PT KNDI, tunggakan PSDHnya Rp 309.824.653.850, dan US$ 2.938.556, serta kerusakan lingkungan yang ditimbulkan Rp 202 triliun.

Mabok ga bacanya? Bayangin, APBN kita aja cuma Rp 700 triliun. Itu dipake buat mbiayain manusia di 13.000 pulau. Sementara duitnya Adelin Lis buat dirinya sendiri, padahal jumlahnya hampir sama ma APBN kita. Anjrettt...! Kalo dia mati, bakal dibawa ga sih harta sebanyak itu ke akhirat?

Mari berhitung, berapa sekolah yang bisa dibangun? (lagi-lagi gw inget Lintang, nasibmu nak!). Berapa rumah sakit yang bisa dibangun? Berapa anak yang tak harus kehilangan masa depan dan mimpi2? Berapa orang yang bisa sembuh setelah berobat gratis? Illegal Logging cuma bisa nyumbang kesengsaraan. Brapa korban banjir meninggal di kampung gw kemaren? 200? 300? Di Sumatera Utara, tak terhitung. Dan sampai sekarang mereka tetap tak bisa membangun rumahnya kembali.

Jika hukuman Adelin ga berat dan kerugian negara ga dibalikin (buat dikorupsi pejabat lain lagi?), lantas apa gunanya kita melahirkan anak-anak untuk dibiarkan makin sengsara karena kekayaan alam telah terkuras habis seorang Adelin? Belum lahir saja, anak2 kita sudah dibebani utang. Atau, biar anak2 kita ga sengsara, apa harus kawin ma anak koruptor yang hartanya ga habis mpe tujuh turunan? Siapa yang sudi ya?

Rabu, 06 September 2006

Orang2 Borju dan Kasus Munir

Nih, 10 orang terkaya versi Majalah Forbes Asia. Ngitungnya dollar lho ya....
1. Sukanto Tanoto (2,8 Miliar)
2. Putra Sampoerna (2,1 Miliar)
3. Eka Tjipta Widjaja (2 Miliar)
4. Herman Halim (1,8 Miliar)
5. Budi Hartono (1,4 Miliar)
6. Aburizal Bakrie (1,2 Miliar)
7. Edy Katuari (1 Miliar)
8. Trihatma Haliman (900 juta)
9. Arifin Panigoro (815 juta)
10. Liem Sioe Liong (800 juta)

Ada yang bikin gregetan, makanya gw posting. Yang bercokol di nomer satu itu, kalo ga salah, debitor kelas kakap Bank Mandiri senilai Rp 4 triliun. Kesandung kredit macet kok bisa jadi orang terkaya? Hehehe....tapi begitulah hukum di negeri kami, negeri yang aneh! Ups...dia baca ga ya? Dia punya blog lho (sukantotanoto.blogspot.com) Gw baik kan om, blognya dipromoin.

Yang nomor enam, termasuk salah satu manusia aneh koleksi negeri kami. Dia abis ngebor tanah. Yang keluar bukannya minyak ato emas, tapi lumpur. Sekarang, 267,7 hektar sawah ga bisa diapa2in lagi karena ketutup lumpur. Areal irigasi seluas 615 hektar skarang ga mengalirkan air tapi lumpur. Perusahaan manusia aneh satu ini, ada di semua bidang. Yang terbaru setelah Lapindo yang juga rame dibicarain adalah proyek pipa. Tar kalo proyek sachet-isasi lumpurnya udah jalan, pasti makin makmur tuh. Ah, pengusaha yang aneh.

Kalo yang nomer 10 itu, emang turun jauh peringkatnya. Dulu di jaman orba, peringkatnya nomer satu. Berhubung ga tinggal di bawah ketek aSoeharto lagi, terpuruk deh! Tapi mereka pasti ga pusing soal makan anak2nya mpe tujuh turunan. Mereka ga mungkin se-terpuruk manusia miskin yang jumlahnya tiba2 naik menjadi 37 juta orang.

Jelas bedalah ma nasib pengungsi di Aceh, di Jogja, di Pangandaran, di kubangan lumpur Lapindo sana. Ah, lumpur ini juga aneh. Katanya kalo dibuang ke laut pasti aman karena airnya doang yang dibuang, bukan lumpurnya. Contohnya, Meneg LH gpp abis minum aernya. Iya, sekarang gpp, tunggu besok2. Lha wong kebo ma pohon2 aja bisa mati di lumpur sana...! Ah, serba aneh memang di negeri kami.

Dongeng indah blom selesai. Dua tahun lalu, seorang kawan kami yang juga aneh (karena tubuhnya kecil tapi keberaniannya luar biasa) tiba2 meninggal di pesawat menuju Amsterdam. Tangan tak terlihat merenggut nyawanya. Ratusan korban Sutet yang nginap di depan istana ketika itu, diam dalam bisu melepas kepergiannya. Orasi bungkam, tangan mengepal.

Dua tahun kini. Dan pembunuh Munir, lelaki pemberani itu, (sengaja) belum ditemukan. Lumpur pun kini mengalir sampai jauh, mendekati Malang, makam Munir, untuk menutup semuanya, membunuh tak cuma satu, tapi meMUNIRkan semuanya hingga musnah tak tersisa.

Senin, 04 September 2006

ai lop yu....!!!

Banyak suara2 di kepala gw yang minta dipostingin. Misalnya ngasih tantangan buat blogger yang bisa jualan lumpur Lapindo sachet-an ke ibu2 dan nyonya menteri buat maskeran ato luluran, soal rencana komporgas(sasi) yang bikin warga antre minyak tanah dimana2, dll. Tapi akhirnya gw memilih satu, mungkin agak narsis, tapi biarlah.... Katanya narsis bukan dosa (tapi bikin mual...hihihhi)

Minggu malam kemaren, gw diminta ngomentarin buku Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata di sebuah radio di Makassar. Dengan senang hati, gw terima permintaan itu. Alasannya, buku itu favorit gw banget. Mpe baca berulang2, nangis berulang2, ngakak ndiri berulang2 setiap gw baca buku itu. Seger, lucu, mengharukan! Jadilah gw berkomentar panjang lebar via telpon (karena gw di Balikpapan) soal buku, soal pendidikan, soal Laskar Pelangi...

Bukan mo promosi...tapi buku itu emang wajib baca! Bukunya berkisah tentang perjuangan 10 anak miskin di Belitong sana, daerah kaya di bagian selatan Pulau Sumatra, untuk bisa mengecap pendidikan di sebuah SD Muhammadiyah yang mirip kandang ayam (jangan marah Pak Wapres, ini NYATA, tidak hanya di Belitong tapi di seluruh negeri). Limpahan kekayaan alam tak terkecap oleh mereka. Keadaan pun akhirnya menghempaskan mereka pada kemiskinan dan ketidakadilan.

Tak ada yang peduli pulau kecil nan kaya itu punya seorang Lintang, anak kurus dekil namun luar biasa cerdas tapi akhirnya harus menyerah, lagi2 karena kemiskinan. Setiap inget Lintang, selalu saja hati gw tersayat. Berkah otak cemerlangnya bener2 tersia2kan. Ga ada yang peduli, kecuali temen2nya, yang juga sama2 miskin.

Dengan suara bergetar karena emosi gw membuncah mengingat nasib Lintang, gw bilang, kalo gw punya duit banyak, gw pengen nyekolahin semua anak2 miskin, ketika penyiar radio nanyain pikiran pertama yang terlintas abis gw baca buku itu. Karena, berharap pada pemerintah untuk peduli pada mereka, mungkin sama dengan nungguin monyet bisa terbang, alias PERCUMA.

Duh...masalah terbesar gw, mostingin apapun akhirnya selalu esmosi...! Alih2 me-narsis dengan lemah gemulai, gw malah pengen ngamuk. Jadi...udahan aja ah! Ga bakat gw nyeritain kesimpulan gw jadi "pembanding"-nya si empunya buku, Andrea Hirata. Gw juga masih terharu bis baca kelanjutan Laskar Pelangi, Sang Pemimpi yang baru gw beli tadi sore. Terharu, sekaligus ngakak sampe perut gw kram. Penasaran? Baca deh....gw jamin ga nyesel!

Gw mo ngomong..... Ai lop yu...buat....buku2 itu!!!