Semalam, setelah membaca blognya abang ini lewat blognya mas Andreas, juga postingannya ndoro, saya dan teman kantor saya mengelus dada. Perih. Sekaligus salut melihat ketegaran dan keberanian si abang. "Semua yang diomongin, realistis, Yat. Gw bisa ngerasain beratnya hidup yang harus dia tanggung. Ga usah jauh2, di kantor kita aja, mungkin kalian yang lajang, mau ngapa2in juga cukup. Tapi buat yang udah berkeluarga, lumayan berat mencukupi hidup. Apalagi anak koran lokal yang hidupnya senen-kemis yak? Digaji juga nggak kali," katanya.
Saya cuma mengangguk membenarkan. Lebih perih lagi saat teringat sebuah berita dua pekan lalu. Seorang yang ngaku wartawan sebuah mingguan di Jakarta tertangkap karena mencuri hp. Saat diperiksa polisi, dia mengaku terpaksa nyolong buat makan karena dia belum dapet gaji selama tiga bulan. Yang punya perusahaan tempat wartawan itu bekerja, mungkin saja malu. Tapi apakah setelah kejadian itu, dia lalu memperbaiki manajemen perusahaannya, meningkatkan kesejahteraan wartawannya?
Halah, mimpi! Seorang teman saya pernah curhat soal gajinya yang ga dibayar selama 6 bulan. Ketika menghadap pimpinan, mereka diberi jawaban: sabar dulu, karena duit yang ada untuk menggaji bagian bisnis. Kalian di redaksi kan gampang dapatnya karena selalu ke lapangan. Lhooo...saya membelalak, marah. Apa dikira wartawan itu tukang ngemis? Lalu bagaimana nasib anak2 layout, desain grafis, dll? Usai curhat, sambil berlinang airmata, teman saya itu meminta saya menemaninya ke sebuah kantor pemerintah (walopun saya cuma sampai di depan pintu).
Dalam keadaan biasa, saya pasti menolak, tapi demi alasan kemanusiaan, saya ikut dia, karena saya tau, duit yang ditagihnya adalah duit iklan, dan hasilnya untuk dibagi dengan teman kantornya yang butuh duit buat istrinya yang akan melahirkan. Herannya, si pemilik media bosnya temen curhat saya itu, sedang membangun rumah seharga sekitar Rp 2 miliar yang dilengkapi dengan kolam renang dan sebuah ruang pertemuan (aula). Hah, rumah apa hotel sih? Lalu teman saya cerita, duit buat membangun rumah itu diambil dari duit2 pembayaran iklan. Nah lho...!
Di Kaltim, ga ada yang namanya AJI, organisasi wartawan yang anti amplop itu. Beberapa kali, saya dan beberapa teman kantor berniat mendirikan organisasi wartawan atau sekalian bergabung dengan AJI. Hal itu dilandasi kegerahan kami pada para narasumber yang menganggap wartawan adalah peminta duit. Ini Kaltim, Bung! Duit dimana2. Saya sudah terlalu sering menghadapi rayuan duit segepok, bahkan pernah dibuatkan rekening dan "jatah wartawan" tidak lagi disimpan dalam amplop tapi langsung dimasukkan ke rekening itu. (pernah diposting disini, tapi lupa kapan dan judulnya apa :d)
Iman saya yang secuil, membuat saya menahan diri untuk tidak menerima duit itu. Seringkali saya mendapat "nasehat" terutama temen2 dari perusahaan 'saingan' untuk bersikap 'realistis'. Kata mereka, tak ada gunanya mengandalkan idealisme karena idealisme adalah tai kucing ketika berhadapan dengan anak dan istri di rumah (nasehat yang salah karena saya ga punya anak istri hihihi). Setidaknya, mereka mengaku tidak menjadi wartawan bodrex beneran karena mereka masih bisa menolak amplop jika terkesan melecehkan dan menghalangi mereka untuk menuliskan sebuah berita. Sayangnya, ketika mereka berusaha memegang teguh prinsip "yang realistis" itu, justru pimpinan mereka di kantor yang sibuk menerima suap.
Kasus itu, membuat saya dan kawan2 di kantor ga pernah maju2 dalam rencana membentuk AJI di Kaltim. Karena masalah sebenernya, bukan pada wartawan. Demi memegang teguh kode etik profesi sebagai jurnalis, mereka mati2an menolak amplop. Tapi kalo perusahaan tempatnya bekerja tidak pernah menghargai sikap, kerja keras dan pengorbanan mereka, lalu apa alasannya menolak amplop? Anak istri mereka butuh hidup dengan duit, bukan dengan kata2. Justru wartawan2 bodrex malah bisa hidup mapan dengan rumah bagus, dua mobil, dan 'perlengkapan' wartawan yang lengkap dan canggih.
Buat AJI maupun organisasi wartawan lain, juga Dewan Pers, bisakah sedikit lebih BERTAJI? Jangan nuntut para wartawan untuk anti amplop, tapi tuntutlah perusahaan tempat mereka bekerja untuk lebih memanusiakan wartawannya.
Simpati mendalam saya haturkan buat bang Jarar Siahaan, semoga senantiasa diberi kekuatan dan ketabahan!
Sabtu, 31 Maret 2007
Tolak Amplop, Terima Suap
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
10 komentar:
memang begitu ok jeng yat...
di kantor saya apalagi, kampanye anti terima amplop ya gencar, tapi apa ndak mikir saya saja yg hidup membujang tiap bulan hanya bisa nabung 50.000-100.000, tapi jangan tanya ttg nasib temen2 sekantor saya yang lain....
saya lupa...
saya nulis ttg susahnya birokrasi disini:
http://mbnw.blogspot.com/2007/03/makhluk-sialan-bernama-birokrasi.html
tapi lupa memasukkan fakta bahwa saking susahnya birokrasi di endonesia, saya belum digaji selama 2 bulan!!!
keren kan??
miris bacanya.....
hiks......
waduh...*ikutan ngelus dada*
Sampe mengkerutkan dahi sepanjang paragraph sampe abis :(
Frustrating banget ngadepin realita seperti itu, namun demikian semoga Bang Jarar Siahaan diberi kekuatan dan pengganti yang membawa berkah.
Mungkin udah saatnya untuk bisa merantau keluar? ;)
Coba aja KESINI!
jangankan di daerah kek Kaltim jeng... di Jakarta ajah yang kek gituh banyak!!!
kalo saya, sih, ga bermaksud munafik, kalo mereka kasih ya saya terima *selama ini sih ga pernah klo bentuk uang paling juga bingkisan produk*
tapi saya selalu tetapkan pada diri saya, GAK BOLEH minta!
namanya rezeki dateng darimana aja..
toh, alhamdulillah meski bingkisan itu saya ambil saya blom pernah kejebak sampe menuliskan sesuai dengan yang mereka mau.
alhamdulillah, idealisme saya masih bisa saya pertahankan =) *mudah2an akan selalu dapat saya pertahankan*
loh, bukannya aji itu emang cuma ngurusin wartawannya atawa reporternya bu? kalo perusahaan bukannya urusan sps alias serikat penerbit surakabar? saya selalu salut dg mereka yg selalu penuh idealisme mesti perut harus keroncongan.
hmm.. nasib nasib..
Mental bu... Namanya uang dipelupuk mata, susah nolak kan..?
masa sih nggak bisa buat AJI di Kaltim... :-)
terlalu berat ya godaannya kalo di Kaltim...
terus BERGERAK lah...
Posting Komentar