DERITA tak hanya dirasakan para tahanan poltik (tapol) yang dicap PKI oleh penguasa saat itu. Istri dan anak-anak yang mereka tinggalkan, tak kalah menderita batin. Ketika tulang punggung keluarga mereka dipenjara, mau tidak mau, mereka harus berjuang sendiri menghidupi anak- anak. Banyak yang tidak tahan dan akhirnya meminta cerai pada suami atau istri yang sedang menjalani hukuman, lalu kawin lagi. Tingkat pasangan yang bercerai malah hampir separuh dari jumlah tahanan sebanyak 165 orang yang kini bermukim di Desa Argosari, Samboja, Kutai Kartanegara
"Yang cerai, banyak, hampir separuhnya. Tapi itu bisa dimaklumi. Kasihan juga, mereka masih muda dan harus mencari nafkah sendiri. Tidak terbayangkan bagi kami bagaimana mereka bertahan hidup. Jadi lebih baik diizinkan cerai dan kawin lagi," tutur Untung, salah seorang tapol yang tinggal Argosari. Seperti rata-rata tapol lain, dirinya pun terpaksa bercerai dengan istri dan anak-anaknya. Setelah menetap di Argosari, Untung pun menikahi perempuan lain dan kini memiliki tujuh anak dari pernikahan keduanya.
Namun, ironisnya, hubungan dengan anak-anak dari istri pertamanya tak pernah baik lagi. "Anak-anak saya menjauh dan takut untuk mengakui kalau bapak mereka dituduh PKI. Sampai saat ini, anak laki-laki saya tidak mau bertemu dan istri pertama saya meninggal karena stress," kata Untung yang kini mengisi hari-harinya dengan berkebun.
Hal yang dialami Untung juga dirasakan Paelan. Anak-anak dari istri pertamanya bahkan menganggap dirinya telah meninggal dunia. Ketika anaknya menikah, dia tak diundang dengan alasan sama, malu bapaknya dituduh PKI. "Sekarang saya sudah menikah. Heran juga masih ada yang mau sama saya," ujarnya tersenyum sambil melirik istrinya, yang umurnya 14 tahun lebih muda.
Pengalaman almarhum Agustinus Rahmat, seperti diceritakan kawan-kawannya yang masih hidup, tak kalah menyakitkan. Hingga akhir hayatnya, tak sekalipun anak-anaknya mau bertemu dengannya. Cerita Supatmi lain lagi. Saat ditahan, dia baru saja melahirkan. Anaknya belum berumur tiga bulan. Sementara anaknya yang lain masih kecil-kecil. Terpaksa, anak yang baru dilahirkannya itu dibesarkan di penjara. "Di barak perempuan, ramainya seperti pasar, sebab kami membawa anak-anak kami ke penjara agar mereka bisa mendapatkan ASI. Anak saya sampai umur tiga tahun baru saya kembalikan ke rumah," ceritanya.
Karena ibu-ibu itulah yang menjadi tahanan, otomatis anak-anak mereka tak mendapat jatah makan. "Mereka dikasih ASI saja, karena jatah makan kami pun kadang hanya nasi putih," cetusnya lirih. Kini, setiap kali Supatmi bercerita tentang pengalaman hidupnya, anak perempuan yang dibesarkannya di penjara selalu memohon untuk tidak mengingat cerita kelam itu lagi. "Anak saya selalu bilang, Bu, jangan ingat-ingat lagi yang lalu-lalu. Pedih. Umur tiga tahun berarti dia masih bisa mengingat masa kecilnya," kata Supatmi. Keluar dari penjara, Supatmi pun langsung menerima surat cerai. "Mau apalagi, rumah tangga saya tidak utuh lagi. Ketika dipenjara, saya hanya dijenguk keluarga dua kali," imbuhnya. Supatmi pun akhirnya menikah dengan sesama tapol namun hampir dua bulan lalu suaminya meninggal dunia.
Meski cerita dari desa eks tapol diwarnai kisah perceraian dan ditinggalkan anak-anaknya, masih ada segelintir cerita hubungan suami istri yang tetap utuh. Ny Soekarni, istri Ismary, salah satunya. Dia rela menunggu suaminya selama 20 tahun. "Saya sudah berkali-kali menyuruh dia nikah, tapi dia tetap nunggu saya. Sama sekali tidak terbayangkan bagaimana dia menghidupi empat anak kami dan tetap bisa menjenguk saya di tahanan setiap Sabtu," kata Ismary.
Sambil tersenyum, Soekarni mengisahkan perjuangannya. "Saya bekerja di keluarga bule Prancis, bos salah satu perusahaan minyak asing di Balikpapan," ujarnya. Soekarni pun terpaksa mengarang cerita bahwa dia ditinggal kawin suaminya di Jawa agar bisa tetap bekerja pada keluarga bule itu. Suatu hari, ketika Ismary bebas dan keluarga bule itu mengunjungi rumah mereka di Argosari, barulah cerita sebenarnya terungkap.
Di desa Argosari mereka kini bisa berkumpul lagi. Hidup seadanya dari hasil kebun. Rumah yang didiami Soekani tak memiliki jaringan listrik. Untuk alat penerangan malam hari mereka menggunakan lampu teplok. Genset pemberian anaknya baru dua kali digunakan sejak enam bulan lalu. "Itupun dinyalakan kalau kebetulan ada yang lewat di depan rumah dan bisa dimintai tolong," ujar Ismary. Kamar mandi pun akhirnya ditempatkan di ruang tamu sebab tubuh tua mereka tak mampu lagi bolak balik ke belakang rumah. (bersambung)
Senin, 12 Maret 2007
Menengok Desa Eks Tapol (2)
Cerai dan tak Diakui Anak-anak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 komentar:
Hiks... kejamnya negeriku...
gue jadi teringat liputan di daerah lampung, tepatnya di desa talangsari. di sana sebagian penduduknya dicap sebagai anggota gerombolan pengacau keamanan (gpk) jemaah warsidi dan sampai kini masih ada yang dikucilkan dari pergaulan masyarakat. padahal fakta-fakta belum sepenuhnya membuktikan mereka adalah pengacau keamanan.
kisah sedih lagi. sampai kapan?
bener....aku juga pernah baca ttg riwayat desa talangsari..serem tenan..!!!
balesan para penguasa yang menyia2kan rakyatnya kayak gitu kira2 apa ya?
digantung2?apa di pendam di neraka selama2nya?
Posting Komentar