Jumat, 23 Maret 2007

ketika bangkai pesawat itu ditemukan

Selamat Datang di Pengadilan. Saya teringat lagi dengan buku kumpulan cerpen karya Daniel Mahendra yang saya baca zaman kuliah dulu. Banyak cerita heroik di dalamnya, khas aktifis mahasiswa, yang selalu ingin melihat negerinya semakin baik. Cerita yang penuh semangat, dibumbui kisah cinta, dan juga menyelipkan kisah kelam negeri ini yang tentu saja menimbulkan kegeraman Daniel yang ketika itu aktif bergelut di dunia pers mahasiswa di Bandung.

Saya sudah menduga, salah satu atau bahkan hampir seluruh cerpen di buku itu diangkat dari kisah nyata keseharian aktifis yang tak pernah jauh dari buku, cinta dan demonstrasi. Tapi saya sama sekali tidak menyangka, cerita tentang pesawat jatuh dan mayat korban yang ditenteng dalam travel bag adalah kisah nyata yang dialami sendiri oleh kk dari Daniel (atau hanya kesamaan nama ya???). Ketika itu, saya benar2 menangis membacanya, rasanya maraaaaaah banget. Marah dengan kelakuan cecurut, aparat yang sibuk berbisnis, tapi tak berbuat apa2 saat satu per satu pulau negeri ini lepas karena dicaplok negara lain

Serapih apapun menyembunyikan borok, pasti ketahuan juga akhirnya. Dan kemarin, bangkai pesawat yang hilang 13 tahun lalu itu ditemukan di Deli Serdang. Saya terhenyak sejenak. Ini rupanya yang ada dalam cerpen Daniel itu. Tapi terlalu banyak keanehan di sana. Mulai dari kalung Wanadri yang diduga milik Diaz Barlean, kartu mahasiswa, penemuan tulang belulang dan sebagainya.

Padahal, pada 1996, dua tahun setelah peristiwa jatuhnya pesawat itu, keluarga Diaz telah diserahi bukti2 meyakinkan berupa KTP, KTM, dompet, topi, ikat pinggang, dll, yang disertakan dalam tas berisi tulang belulang Diaz. Paket serupa juga diterima keluarga Ori Rahman, Petinggi LSM Kontras, karena almarhum Burhan Piliang, ayahandanya, adalah salah satu korban tewas bersama Diaz.

Mereka, para penerima "paket tulang dalam peti mati yang tak semestinya" juga menerima pesan penting dari pemilik (atau merasa memiliki) Helikopter Bolco TNI AD itu. Jenazah boleh diambil, apabila pihak keluarga menyetujui sejumlah persyaratan yakni: tidak boleh mempublikasikan ke media massa dan tidak boleh ada upacara apa pun di Kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), tempat kuliah Diaz. Bahkan Ori mengatakan, mereka juga tidak dibolehkan membuka "peti mati".

Mengapa??? Mengapa butuh waktu 2 tahun untuk menemukan heli yang ditumpangi Diaz Barlean dkk? Karena (alasan ini juga terdapat dalam cerpen karya Daniel Mahendra), waktu itu TNI AD menyangkal bahwa heli yang mereka pakai disewa dari tentara, jadi pencariannya tidak serius. Ya, penyewaan helikopter milik negara itu, tentu saja tidak dibenarkan.

Saya bergidik memikirkan beberapa kemungkinan saat itu. Apa iya, tulang belulang yang diserahkan ke keluarga korban, benar tulang belulang milik mereka? Siapa yang bisa menjamin, mengingat waktunya sudah dua tahun, kondisi tas mayat yang tidak boleh dibuka, dan...aaarrggghhh...ga ada yang ga mungkin dalam sebuah bangsa yang fasis dan korup.
*) mohon maaf jika tulisan ini membuka kembali luka lama keluarga korban

6 komentar:

NiLA Obsidian mengatakan...

Ya allah gusti.....merinding bacanya....
udah meninggal aja masih di korup....

sedih bgt ya....hiks...
gimana kita mau maju?

Anonim mengatakan...

tadi pagi baca di koran soal itu, ga nyambung gw karena emang ga tahu ada berita itu 2 tahun lalu :D

Anonim mengatakan...

yah, begitu lah, co...

gw cuma ga tega bayangin apa yg dirasain keluarga si diaz :(

Anonim mengatakan...

hm... pusing aku jadi orang indonesia

Anonim mengatakan...

Nyebar godong koro.....sabar sak wetoro.

Anonim mengatakan...

Ini kisah nyata ya... so sad :(, jadi bingung dan hablur ya kok terlalu banyak rekayasa. Ntar klo pulang baru bisa baca bukunya, thanks Yati.