Jumat, 10 November 2006

Denias, Lintang dan Pahlawan

Siapa pahlawan yang dikenal oleh anak muda sekarang? Ah, semoga saja tidak seperti potongan sebuah wawancara di sebuah tivi swasta. Konon, kata gadis manis di tipi itu, tokoh peristiwa 10 November di Surabaya adalah DI Panjaitan. Oh god, belajar apa anak ini di sekolah? Ato, semoga wartawan saja yang salah memilih narasumber. Ato, jangan2 memang begitu gambaran anak-anak negeri ini?

Dulu2, sempat ada kekhawatiran anak2 akan menjadikan Superman dkk sebagai pahlawan masa kini. Siapa yang harus disalahkan? Tokoh itu yang selalu menjadi tontonan anak2. Sementara, Jenderal Soedirman dan angkatan2 sebelumnya, hampir tak pernah ditayangkan di tivi. Kalo pun ditayangkan, selalu dikemas dalam acara yang membosankan bagi anak2. Lalu siapa pahlawan anak2 sekarang?

***

Minggu lalu saat masih di Makassar, saya sempet nonton Denias, Senandung di Atas Awan filmnya John de Rantau. Bagus. Kejutan banget ada film kek gini. Dan happy ending dibandinglan cerita tentang ngenesnya nasib Lintang di buku Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata. Film ini, lucu, seger, sangat Papua. Dan saya gembira, lebih separuhnya yang nonton adalah anak2 kecil. Tanpa bermaksud rasial, anak2 kecil ini bermata sipit.

Saya begitu terharu dengan semangat Denias. Menempuh perjalanan 4 hari 4 malam, naik turun gunung, keluar masuk hutan, menyeberangi sungai, membawa 'Indonesia' dalam tas Papua-nya untuk mendapatkan sekolah yang punya fasilitas dan seragam bagus. "Gunung takut sama anak sekolah" adalah semangat dari ibunya yang membawa Denias pergi jauh dari honai-nya.

Juga semangat dari bapak yang bercerita tentang memanjat Pohon Kacang Polong, agar Denias bisa memandang dunia dari atas awan. Juga Maleo, si tentara baik. Dan saya tercenung pada keprihatinan Ibu Gembala (ko liat, logat Marcella Zaliyanti Papua skali toh? Sa suka!). "Ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di Papua ini, saya berpikir penindasan dan pembodohan hanya dilakukan oleh para pendatang. Ternyata, penduduk asli pun melakukan hal yang sama".

Ironis memang. Sekolah yang dituju Denias, juga Enos [ko mo skolah juga kah? ko pi ambil ko pe raport karena skolah nda bisa pake peta saja], ternyata sekolah yang hanya ditujukan bagi anak2 para ketua adat dan anak2 dari lingkungan terdekat perusahaan raksasa di Papua. Padahal, berapa ribu anak yang butuh sekolah di sana?

Tapi sukurlah, Ibu Gembala mau menjadi pahlawan bagi Denias dan anak2 lainnya (menyakitkan mengingat Lintang yang tak punya pahlawan). Konon katanya Denias kini sekolah di Australia berkat beasiswa (kalo ga salah). Semoga cepat pulang, membangun kembali Papua yang zuper uwindah tapi penuh ironi itu.
Papua nan eksotis, juga ironis. Indonesia juga.

6 komentar:

Anonim mengatakan...

T_T gw blm nonton tu film..kmrn wkt mo nonton g jd krn ssuatu hal..T_T

mari kita coba untuk jadi bwt anak2 spt denias n lintang yg ada dskitar kita..=)

*asik gw yg pertama kasi komen*

the laZY mengatakan...

baru2 aja semalem aq nonton, filmnya sebenarnya sangat ringan namun sangat sarat pesan moral. salut buat ale dan nia(alenia)yg berani buat film yg benar2 gila (melawan arus). Denias menggambarkan anak2 papua yang tegar n gak manja. tidak seperti sebagian anak2 lainnya pake minggat dari rumah cuman gara2 ortunya gak ingat hari ultahnya uuuhhh. kalo aq dah punya anak ini film yg mesti harus dinontonnya pertama.

Afin Yulia mengatakan...

sayang ya aku belum sempat nonton, tapi kalo lihat di teve semua bilang keren,
bener-bener gambaran indonesia sejujurnya, negri yang gemah ripah loh jinawi ternyata cuma segini, dulu saat masih di bali sempet merasa kaget masa sih ada sekolah bobrok di pulau seterkenal itu...but thats true, ternyata menjadi negeri yang hebat itu masih jauuuh dari mimpi....

nina mengatakan...

jadi pengen liat pilemnya nih :D

Anonim mengatakan...

aku belon nonton, bisa kirimin ke sini ga pilemnya??

Awan Diga Aristo mengatakan...

SIP!
gw suka tulisan ini!!! =D
dan filemnya juga tentunya =p