Selasa, 08 Agustus 2006

Kisah Negeri Pembantu

God, ga sampe enam bulan, udah dua kali Makassar memanas karena isu SARA. Dan begonya, dua-duanya dipicu oleh mahasiswa. Bukan main, mahasia (mengutip tulisan di Kompas) status mereka. Percuma sekolah tinggi-tinggi kalo ternyata cuma bisa menciptaan kerusuhan. Sia-sia.

Pemicunya sama, kasus (maaf) pembantu, dua2nya juga dari Sinjai. Tapi kenapa semua jadi isu SARA? This is a crime! Murni kriminal! Tidak cukupkah polisi yang bekerja? Polisinya yang ditekan, jangan keluarga pelaku. Kenapa konflik selalu diciptakan horisontal? Skalian aja vertikal, lawan semua penegak hukum yang ga jujur. Tapi jauh lebih baik tanpa konflik!

Apa yang diajarkan senior mereka ya? Bertindak reaksioner? Pake otot ga pake otak? Pengkaderan macam apa yang mereka ikuti? Buku macem apa yang mereka baca? Apa siswa yang ngaku maha itu ga belajar dari kerusuhan 97 dulu? Kok sampe mereka ga tau kalo kerusuhan itu menyengsarakan?

Konflik tuh ga ada enaknya, tolol! Kalo kalian sakaw pengen ada konflik, skalian aja ke Timur Tengah sana. Sedihnya lagi, ketika Sinjai kena musibah, gw ga denger apa aksi mereka buat membantu para korban. Maaf kalo gw salah duga. Pengecualian tentu saja buat temen2 di SAR yang ada di setiap kampus.
***
Gw pengen cerita dikit tentang kisah negeri pembantu.
Ada sebuah daerah di Sinjai, yang ditinggalkan sebagian besar putri-putri mereka ke kota. Rata-rata, mereka menjadi pembantu atau pelayan toko. Bukan tanpa alasan para majikan mempekerjakan buruh dari sana. Kualitasnya diakui. Mereka rajin, ulet, terampil, rapi dan bersih. Yang paling penting dan utama, mereka JUJUR.

Dulu, banyak dari mereka tinggal di rumah kami, juga di rumah sodara2nya Bapak. Biasanya orangtua mereka yang menitipkan ke keluarga kami meski anak-anak itu masih kecil. Tapi ada juga karena 'diminta'. Umumnya yang diminta ini karena sayang banget kalo mereka cuma di kampung, ga bisa baca tulis, ga kerja dan ga bisa makan karena ga punya tanah buat bercocok tanam.

Saat tinggal di rumah kami, mereka dipaksa sekolah, harus pinter ngaji dan sholat, dibiasain kerjaan rumah tangga. Buat anak laki, mereka harus bisa ngurus kebun sekitar halaman. Biasanya mereka disekolain sampe SMA. Tapi banyak juga yang sampe SMP aja udah dilamar orang, karena udah pinter. Ya udah, dinikahin.

Kebanyakan, mereka tinggal di rumah kami dari kecil sampe tamat sekolah, bahkan sampe kerja (kantoran, bukan PNS), dan 'beranak pinak' dan akhirnya mereka yang ngerjain semua tanah2 pertanian kami.

Tapi...belakangan, udah jarang yang mau ikut keluarga kami sejak beberapa dari mereka kenal dengan gemerlap kota. Di sana, duitnya lebih jelas. Ga perlu susah2 sekolah lagi. Saat pulang kampung, bisa bawa oleh2. Biasanya sih, tiap mudik, mereka yang pernah tinggal di rumah kami, tetep nyempetin buat mampir ke rumah.

Meski banyak orang di kampung yang ga suka mereka bekerja di tempat majikan yang beda agama (maaf harus menyinggung soal ini), umumnya mereka pulang membawa cerita bahagia. Karena jujur, mereka disukai majikan, kerjanya rajin jadi banyak dapet bonus, bahkan berjodoh dengan majikan.
Ah, ya...masa kecil gw kadang-kadang mirip cerita putri2 raja berkat mereka. Ma kasih ya...!

7 komentar:

Gagah Putera Arifianto mengatakan...

hmm.....mo sedikit cerita aja....mak saya sering bilang begini......"itulah, pemerintah pake ngerubah nama ujung pandang jadi makassar.....bener kan orangnya jadi kasar semua..." gw ketawa aja....:))

Anonim mengatakan...

heu3...maknya gagahput3ra bener juga lho... :) tapi mahasiswa skrg memang gitu kan? sejak mereka yang disebut mahasiswa berhasil menumpahkan rezim orde baru, mereka tidak hentinya mengadakan demonstrasi politik dan segala macam aktivitas anarkis lainnya. sayang... sayang sekali... padahal, yang namanya mahasiswa adalah orang yang berpendidikan tinggi, tetapi mahasiswa sekarang seperti orang yang tidak berpendidikan. hanya sedikit yang benar2 'berpendidikan'.
*posting komen apa artikel yak?? :p*

Anonim mengatakan...

tuan puteri apakah sedang menunggu pangeran berkuda putih ?
sabar dulu ya ?
kendaraan saya masih keledai :p

Yat, apa sebab mhs di Makassar bisa begitu ? Apa sebabnya ?
Drugs ? Alcohol ? dugem ? broken house effect ?

coba elo liput deh, elo selidiki bareng2 temen

gue tunggu liputannya ya ?

:p

may hendrawati mengatakan...

gw pernah beberapa kali ke Makassar dan berinteraksi dengan beberapa mahasiswa pencinta alam di sana. Kesimpulan gw mereka baik sebagai teman, tapi kadang suka ga mikir kalau bertindak, lebih banyak ngutamain senang-senang aja.

Hmmmm semoga cepat disadarkan

wtf mengatakan...

hmm..makassar.
*jadi pengen maem coto+burasa, kaledo trus pake es pisang ijo*
ato gara2 kebanyakan maem coto, mhasiswa-nya cepet panas yah? hehehe.

ester mengatakan...

masa kecil elo rame dong, yat? pasti seru yah? biar jaman berubah, semoga kejujuran orang2 itu ga berubah ya....

Anonim mengatakan...

turut prihatin...

aku masih tak paham tentang cara pikir mahasiswa ya... (kayak aku nggak pernah ajaaa :">)

beberapa waktu terakhir, aku mengamati bagaimana mereka berkomentar, mengemukakan pendapat dan bahkan tuduhan terhadap sesuatu, juga bereaksi terhadap suatu kejadian. rasanya yang tampil di tv tak pernah bisa memuaskan. kebanyakan mereka tak memiliki dasar apapun untuk berpendapat, memutuskan maupun bertindak. mereka sering bermain kata 'pokoknya'. Dan pada akhirnya prasangka merekalah yang mereka anggap benar....

prihatin.. prihatin..