Tahun 65, tepat di hari ke-30 bulan September mungkin hari paling kelam dalam sejarah bangsa ini. Ketika orang-orang yang tak jelas kesalahannya, dibantai, dibuang, dipenjara dan diberi cap tanpa mereka tahu apa kesalahannya. Hingga kini tak ada proses hukum, mereka pun terlunta, terkucil, terbuang dan mati merana. Tak ada air mata, tak ada yang peduli.
Di hari yang sama, tahun 2005, seorang ibu berkebaya lusuh, berurai air mata di siang yang terik depan sebuah warung kecil. Katanya dia letih sejak subuh mencari minyak tanah, dimana-mana habis. Tak ada yang bisa menolong. Diberi uang pun pecuma, karena minyak yang mau dibeli, tak setetes pun tersisa di pangkalan minyak tanah. Mungkin habis diselundupkan oleh orang-orang di laut sana. Padahal tanah Kaltim, bumi etam, yang ditinggali ibu itu turun temurun adalah sumber minyak yang lebih banyak diselundupkan itu. Tapi hanya ada air mata sang ibu, tak ada yang peduli.
Esok hari, setelah pembantaian tahun 65 itu, sekelompok orang berseragam, berpesta pora, merayakan kemenangan, mengelu-elukan kesaktian pancasila, yang katanya punya tuhan, katanya punya rasa peri kemanusiaan, katanya punya rasa persatuan, katanya suka bermusyawarah untuk bermufakat, katanya punya rasa keadilan.
1 Oktober, Hari Kesaktian Pancasila
Bener masih sakti. Karena di hari yang sama tahun 2005, dia tak bergeming ketika jutaan orang menjerit, jutaan leher tercekik, jutaan tangan melambai lunglai di tengah lautan air mata yang berderai. Seperti mimpi buruk tengah malam tadi, yang berlanjut hingga hari ini. Abnormal-nya pemimpin fasis itu kumat lagi, BBM naik 87-185 persen.
Mimpi buruk terus berlanjut di hari kesaktian itu....bom meledak, lagi-lagi di Bali. Adakah ini untuk mengalihkan kemarahan rakyat karena BBM naik gila2an? Duuuhh...tempat mana di negeri ini yang benar-benar aman dan nyaman, bukan hanya slogan tiap kota....?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar