Kamis, 31 Desember 2009

Indahnya Indonesia karena Gus Dur

"Kalau Kristen jangan kebarat-baratan, kalau Islam jangan kearab-araban"

Itu quote Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang paling saya suka. To the point, tanpa basa-basi. Dan saya tak ragu mengatakan saya pengikutnya khusus untuk soal pluralisme. Saya tak banyak memahami Gus Dur seperti orang yang mengatakan ia seorang yang plin plan dan kurang mampu atau ga cocok jadi presiden. Tak apa-apa, ia memang bukan presiden, ia lebih tepat menjadi guru bangsa. Dan konsistensinya pada pluralisme-lah yang ingin saya teladani.

Sederhana saja alasannya. Semua dari kita apapun warna kulitnya, apapun warna rambutnya, apapun agamanya, apapun sukunya, adalah mahluk ciptaan Tuhan, bukan buatan pabrik a atau b. Jadi kenapa harus dibedakan? Bukankah yang membedakan derajad seseorang di mata Tuhan hanya amal ibadahnya? Dan bukankah tak satu pun dari kita meminta dilahirkan sebagai si hitam, si putih, si Islam, si Budha, si Kristen, si Jawa, si Bugis, dan sebagainya?

Dan amal ibadah yang dicatat para malaikat bukanlah kesenangan saat mengebom gereja. Bukan pula kegembiraan ketika berhasil memukuli pengikut Ahmadiyah atau aliran yang berbeda dengan kita. Bukan juga senyuman saat telah melecehkan pemeluk agama Budha atau Hindu. Lebih-lebih bukan pula dengan kepongahan usai membantai kaum minoritas hanya karena mata sipitnya atau karena ia dianggap bukan penduduk lokal.

"Jauhi sikap fanatik dalam kekatolikan"

Sejalan dengan Gus Dur, Fransiscus Xaverius Seda atau Frans Seda pun punya semangat pluralisme. Ia selalu mengingatkan umat Katolik untuk menjauhi sikap fanatisme dalam menjadi pribadi yang 100 persen Indonesia dan 100 persen Katolik.

Bayangkan indahnya dunia jika umat meneladani sikap mereka. Selamat jalan Gus Dur, selamat jalan Frans Seda, semoga pintu surga dibukakan untukmu, amin!

Senin, 14 Desember 2009

mari menghitung koin keadilan



Waw...begitu terasa nikmatnya hidup saat saya bisa bertemu kasur empuk untuk meluruskan punggung malam ini. Rasanya, lelah seharian tadi langsung terbayar lunas begitu badan menyentuh kasur setelah mandi.

Hampir seharian tadi saya ikut menghitung koin keadilan, koin2 untuk kebebasan prita di jalan langsat, markasnya wetiga, dagdigdug, dan politikana.com. Saya ada di sana mulai sekitar pukul 11 sampai pukul 16.50. Lalu malem usai ikut pembubaran Panitia Pesta Blogger 2009 di es teler 77 jl Adityawarman, saya balik lagi menghitung koin sekitar sejam. Hasilnya, bisa memasukkan 5 juta ke lima plastik bersama beberapa orang. Sebelum ke sana tadi pagi, saya udah membawa perlengkapan sendiri misalnya pembersih tangan, sarung tangan plastik, masker, air minum, dan kamera. Hihihi...kamera ini masuk perlengkapan juga kan ya? Walopun akhirnya jarang saya pake karena sibuk memilah dan menghitung koin.

Saat berada di sana, rasanya hati ini bungah. Terharu melihat kebersamaan semua orang. Terharu melihat keping2 koin yang rasanya setiap keping itu memiliki ceritanya sendiri. Ada yang dibawa pemulung, ada yang dari celengan anak kecil, ada yang dari sisa belanjaan ibu-ibu. Maka tak heran jika segala bentuk koin ada di sini. Keping2 yang tak pernah saya lihat lagi ujudnya bahkan ada di sini. Dari koin 5 rupiah, 25 lama dan baru yg begitu keciiiil, 50 lama dan baru yang ukurannya ga beda jauh dari uang 25, lalu 100-an model lamaaa dan baru, 500 lama dan baru, koin 1000-an, beragam koin dari begitu banyak negara, dan terakhir koin untuk nge-game!

Para relawan juga datang dari berbagai latar belakang. Paling pagi jam 8 ada dua lelaki tua, pensiunan mulai terbungkuk2 memilah koin. Lalu ada 3 perempuan paruh baya dari salah satu panti asuhan di Jakarta Timur. Lalu saya, datang ngaku2 sebagai blogger (hihi...tapi belakangan bocor infonya: ternyata saya jurnalis yang menjadi relawan katanya. Ga jadi deh diwawancara tipi :p). Ada pula anak SD yang bolos les demi ikut neneknya ngitung koin. Lalu ada artis, mba Sita Nursanti (dari grup vokal Rida Sita Dewi, RSD) ikut jadi relawan. Hebat juga lho, dia bertahan dari jam 2-an sampe jam 21.30. Kami duduknya deketan lho, pulangnya juga bersamaan (huh, ngaku2, ga penting banget deh).

Sebelum jam 12 siang, ngitung koin rasanya lamaaa banget. Sekarung itu lama banget milah2nya, juga ngitungnya. Makin siang, makin sore, makin malem, wus wus gitu, tau2 dari 2 juta, trus 7 juta, 14 juta, 22 juta, 36 juta...pas malem saya mau pulang udah 70-an juta dan total koin seluruhnya yang udah terhitung dari posko lain udah lebih 300 juta! Sementara orang2 yang tak hadir di sana, tak ketinggalan menjadi relawan dengan mengirim makanan, minuman, kain, plastik pembungkus, menggratiskan pengiriman paket koin, dan sebagainya. Bagaimana hati saya tak bungah melihat semua itu?

Bayangkan, begitu banyak orang baik di negeri ini, begitu banyak orang yang ikut berharap perbaikan hukum di negeri ini. Misalkan 1 rupiah = 1 orang, maka ada 300 juta orang baik di negeri ini, ada 300 juta orang berharap keadilan di negeri ini. Malu aja pemerintahnya kalo ga menyadari itu!
Kalo besok masih diberi kekuatan, saya ingin ke langsat lagi. :)

Jumat, 04 Desember 2009

Koin untuk Bebaskan Prita


Menurut berita di tempointeraktif.com, kasus perdata Prita Mulyasari ternyata sudah diputuskan sejak 8 September lalu oleh pengadilan tinggi Banten. Sudah lama ternyata. Dan kita tak pernah tau. Mungkin pula karena perhatian kita tersedot kasus cicak vs buaya. Keputusan yang memenangkan rumah sakit Omni itu diterima pengadilan negeri Tangerang bulan berikutnya, Oktober. Prita diwajibkan membayar kerugian materil dan immateril sebesar 204 juta rupiah. Rinciannya: kerugian materil kepada rs Omni 164 juta, immateril 40 juta, ke PT Sarana Mediatama Intl 20 juta, dr Hengky dan dr Grace masing2 10 juta. Keputusan itu menguatkan putusan pengadilan negeri Tangerang sebelumnya yang memutuskan Prita bersalah dan harus bayar 300 juta.

Ini tidak hanya mengagetkan Prita Mulyasari tapi juga kita semua. Belum hilang dari ingatan bagaimana nasib dua anaknya ketika ia dipenjara selama tiga pekan. Bagaimana kerugian yang dia alami karena berobat tapi bukan kesembuhan yang didapat malah penyakit baru dan tuntutan baru. Kini ia harus membayar sekian ratus juta untuk ganti rugi karena ia mengeluh!

Kenapa tak pernah dibalik ya? Kenapa konsumen tak pernah diperlakukan sebagai raja seperti kata pepatah? Seharusnya yang berlaku adalah: bersiaplah diprotes jika sebagai penyedia jasa anda tak mampu memberikan pelayanan maksimal kepada pelanggan. Jika tak siap dengan pelayanan yang baik, jangan marah ketika diprotes. Bukan malah memenjarakan konsumen yang hanya bertanya, lalu mengeluh atas kualitas pelayanan yang didapatnya, karena ia telah membayar sejumlah uang untuk mendapat pelayanan itu.

Bagaimana pun, kasus Prita ini bisa menimpa siapapun dari kita. Sering secara tak sadar kita ngomel2 bahkan menyumpahi para penyedia layanan misalnya jasa komunikasi dan internet. Nyaris setiap hari kita melihat celaan demikian di ranah internet ini saat layanannya ngadat, lamban, dan sebagainya. Adalah hal wajar keluhan diajukan, terlebih bila kita sebagai konsumen telah memenuhi kewajiban misalnya membayar jasa itu tiap bulan. Wajar kita meminta imbal balik atas bayaran itu.

Mewajibkan konsumen seperti Prita membayar Rp 204 juta atas keluhannya terhadap penyedia jasa, dimana adilnya? Kira2 setelah itu apa yang akan didapat pihak penggugat? Ok, terlalu banyak pertanyaan tentang rasa keadilan yang akan muncul nanti.

Saya hanya ingin meneruskan pesan dari para pihak yang bersimpati pada kasus Prita ini. Mulai nanti malam, Jumat, 4 Desember 2009, dibuka celengan koin untuk disumbangkan ke Prita Mulyasari. Tempatnya di wetiga, jl Langsat, markasnya politikana.com atau ngerumpi.com. Celengan ini akan dibuka hingga ada keputusan dari Mahkamah Agung atas kasasi yang diajukan kuasa hukum Prita.
Beberapa pihak telah memberikan sumbangan. Seperti kata @pamantyo di twitter, Fahmi Idris menyumbang Rp 102 juta dan DPD menyumbang Rp 50 juta. Sisanya 52 juta mungkin bisa dikumpulkan dari koin2 yang kita punya.
Mengapa harus koin? Menurut @pamantyo, harus koin agar lebih berat dan akan membuat malu pihak penggugat dan pengambil keputusan proses hukum ini.
Tapi menurut saya, dengan koin, rasa solidaritas akan terlihat nyata dari semua orang, semua lapisan masyarakat. Demi rasa keadilan, orang2 yang hanya punya receh pun bisa ikut menyumbang.

Saya meneruskan pesan ini bukan agar dianggap aktivis. Aksi mengumpulkan koin ini juga bukan untuk cari sensasi. Saya bersimpati dan berempati pada kasus Prita karena hal yang sama bisa menimpa saya, anda, atau siapapun. Saya berpartisipasi demi rasa keadilan. Saya tergerak untuk ikut karena saya juga adalah konsumen. Saya ikut karena saya juga tak ingin kebebasan saya untuk berpendapat sedikit sedikit dikebiri oleh undang2 salah kaprah bernama Informasi dan Transaksi Elektronik yang seharusnya bernama UU Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Saatnya pasal karet dalam UU ini dihapuskan dan UU Keterbukaan Informasi Publik harus digalakkan.