Rabu, 08 Maret 2006

Dewa Baru

Libur setiap senin bukan berarti gw ga ke kantor. Soalnya gw capek di kost diem2 sendirian, ga ada temen ngobrol dunia nyata. Sebenernya bukan ke kantor, tapi ke kantin, nongkrong, makan, dll. Abis itu bingung lagi mo ngapain. Sementara malem masih jauh. Pulang ke kost, ntar malah diketawain ma pintu ato matahari sore, anak malam kok pulang sore? Ke toko buku ajalah, seperti biasa. Skalian beli kebutuhan bulanan yang udah menipis.

Di depan mall gw liat orang2 berdiri melongo ke arah jembatan penyeberangan. Serombongan Anggota Satpol PP lagi memburu beberapa anak kecil yang biasanya jualan manisan di sekitar mall dan jembatan penyeberangan. Jualan mereka disita dan anak yang tidak ikut tertangkap hanya bisa meringis dari kejauhan.

Seorang anak mencoba memberi perlawanan. Sebab sekeranjang kue buatan ibunya dibawa serta pemilik wajah beringas itu. “Saya nggak jualan pak, saya cuma istrahat di tangga, nungguin ibu pulang. Kembalikan milik saya. Ntar saya jawab apa ke ibu,” pintanya memelas.
Tapi serombongan wajah tak kenal ampun itu hanya berlalu. Anak kecil berkulit legam itu juga melangkah ke arah berlawanan. Gw ngeliat ada bara di matanya. Ada perih di ujung bibirnya. Tawaran seorang pramuniaga cantik untuk membawa anak itu ke ibunya di dalam mall tak digubrisnya. Dia terus berlalu sambil menggigit-gigit bibirnya, dengan setitik air menggantung di ujung matanya.

Lalu orang2 membubarkan diri sambil menggerutu. Gw tiba2 kehilangan selera untuk berbelanja. Tapi cuma sesaat. Karena gw terlalu takut kelaparan. Laper berarti ga bisa kerja. Ga kerja berarti duit ga nambah. Lalu apa bedanya gw dengan penguasa kota ini. Menjadikan kapital dan kondusifitas sebagai DEWA.

Demi dewa bernama keamanan dan ketertiban, anak2 itu dikejar, padahal si Aman dan Tertib ga pernah protes dengan kehadiran anak2 itu. Demi dewa bernama investor yang akan menanam kapital, anak-anak itu harus disingkirkan.

Begitulah cara negara ini bekerja. Memerangi kemiskinan dengan menggusurnya ke sisi gelap yang tak terjangkau matahari. Menyingkirkan orang-orang miskin ke tempat yang tak terlihat. Agar pejabat negara itu mendapat penghargaan sebagai pejabat yang bisa menyulap kekumuhan menjadi istana berkilau.

Tak peduli istana megah itu berdiri di atas darah dan keringat warganya. Aparat memang hanya bekerja untuk melayani mereka yang punya kapital. Lalu menagih nasionalisme dari orang2 melarat demi sebuah aset negara katanya.

Di negeri kami
Air mata tak bermakna
Darah dari irisan nadi tak berharga
Nyawa tak lebih dari selembar kertas buram
Pun tanah pemakaman, tak layak kami sediakan

5 komentar:

Gagah Putera Arifianto mengatakan...

fiuh....kalo ngomongin Satpol PP sih kaga' ada abisnya deh mbak...mereka itu calon susah hidup anak cucunya karena disumpahin fakir miskin

Dini mengatakan...

...dan aparat itu juga berkilah demi menjalankan tugas supaya tetap bisa ngasi makan anak dan istrinya... bener-bener benag kusut :(

Anonim mengatakan...

terkadang ...nurani lebih berarti dibandingkan khutbah2 ulama brengsek dan pemuka agama yang sibuk bahas aturan liat paha jadi horny apa nggak ...

kadang jijik liat tingkah laku mereka.

Anonim mengatakan...

Very cool design! Useful information. Go on! spironolactone acne does seroquel cause cataracts How to teach people to deal craps Mobile home cabinets http://www.ordertramadol7.info/secondhand-craps-table-for-sale-in-united-kingdom.html Tommy leather wallet 11 credit slots Best cool mist humidifier .profile aix boot sequence jefferson state insurance Recipes for natural skin care Psychotherapy children cancer Canada antique baccarat crystal Hard drive test Wildgames games Ferrari 412 auction-for sale

Anonim mengatakan...

Very cool design! Useful information. Go on! Hostave2 net homemadevids anal hardcore 115 propecia meridia open bra ultracet online cheap phone calls Boot dress productpage Pulsar by seiko watch for mens pxe092 Zoloft prozac chongqed dental insurance procedure codes Manguier bonsai