Kamis, 16 Maret 2006

Bangsa Kanibal

Liat tayangan di tivi soal bentrokan mahasiswa dan aparat, sepanjang sore sampe malem ga? Memuakkan sekaligus menyedihkan. Dua kelompok anak bangsa berperang entah untuk apa dan siapa. Sementara ada satu golongan, mungkin Freeport dan Amerika Serikat (mungkin lho ya...) sedang bertepuk tangan.

Miris...satu pihak mungkin bosan dengan kondisi tak mengenakkan yang sepanjang hayat mereka rasakan akibat ketidakadilan aturan dari pusat. Sehingga tak secuil pun hasil alam bisa mereka nikmati. Terus diperas oleh saudara sebangsa sendiri dan ditambah pemerasan bangsa lain. Kekerasan juga tak pernah henti mereka rasakan.

Sementara satu pihak lagi hanya bisa menerima perintah. Atasan perintahkan serangan, serdadu tak boleh bilang tidak. Komando tak punya mata, cuma punya telunjuk. Mungkin ada titipan dari komandan yang lebih atas lagi, maka perintah harus jalan. Dan pertumpahan darah di Abepura pun terjadilah.

Gw ga ngeliat korban sebagai mahasiswa dan aparat. Karena menggolongkan mereka dalam kelompok itu, maka persoalan ga akan selesai, ga ada abisnya. Seterusnya pasti selalu ada balas dendam. Kasus ini toh ga ada bedanya dengan kasus Trisakti, Semanggi, Amarah di Makassar, bentrok di UMI Makassar, dan semua kasus yang melibatkan aparat dan mahasiswa.

Ga kurang2 sakit hati gw kalo nginget temen gw, anak Uncen juga, yang meninggal setelah digilas mobil aparat dan ditebas lehernya. Tapi nasib polisi2 yang dipecat saat bentrok di UMI Makassar juga tragis meski mereka cuma kehilangan pekerjaan, padahal ada istri dan anak (generasi masa depan) yang harus dihidupi. Sekali lagi, bukan mahasiswa dan aparat, karena mereka sama2 manusia biasa.

Gw miris ngeliat mereka yg jadi korban, karena kebijakan yang salah. Kejadian yang selalu berulang2. Karena sang pemimpin cuma bisa membuai rakyat dengan pidato dan kata-kata indahnya. Sementara wakilnya lebih sibuk jadi makelar dan pimpinan partai politik. Lagi2 perusahaan dan negara raksasa itu tepuk tangan.

Bangsa kanibal. Warganya saling membunuh. Penontonnya, para pemimpin. Lebih sibuk mikirin hal2 remeh temeh soal pakaian dan goyangan dangdut. Sementara persoalan di depan mata ga ada abis2nya. Nyawa di negeri ini emang ga ada nilainya. Karena uang jauh lebih berharga. Lihat wakil rakyat itu. Tunjangan berhalo-halo di telepon sekarang ditambah jadi Rp 8 juta per bulan. Huh...kalau saja perang di tivi itu bukan horisontal, tapi vertikal.....!

3 komentar:

Ifoeng mengatakan...

Mungkin ini adalah bentuk ekspresi ketidakberdayaan plus akumulasi kekecewaan. Ketika suara tak lagi didengar. Mereka sudah kehilangan harapan. Ketika halaman depan mereka diacak-acak orang tak dikenal. Kekayaan alam mereka dirampas tanpa ada kompromi. Sementara mereka dibiarkan busung lapar, bodoh, terbelakang, terasing di tanahnya sendiri. Yang lebih pedih, mereka yg mengaku sebagai saudara malah tega menjual airmata dan darah mereka demi lembaran uang. Membalut kemelaratan, keterbelakangan, pakaian kulit kayu serta koteka sebagai sebuah tradisi, khasanah budaya yg perlu dilestarikan...

Lalu, bahasa apalagi yg bisa dimengerti
Selain bacokan parang???.

Memang ini bangsa Kasihan..

Awan Diga Aristo mengatakan...

Ya memang kita sudah ga punya rumah... Kita ga bisa menjadi tuan di tanah kita sendiri. Kondisi yang brengsek!

Suatu saat konflik vertikal itu kayanya akan terjadi... karena gak lama lagi, sepertinya akan semakin banyak yang hidupnya hanya diwarnai oleh kelaparan yang konstan, satu ciri khas kaum proletariat di negara miskin!

may hendrawati mengatakan...

karena suara hati yang jujur sudah tak lagi terdengar

sudah terlalu banyak kaum oportunis :(