Rabu, 02 Maret 2005

Dia Kawanku...

Senin, 2 Agustus 2004

Bangun pagi banget, maklum baru pindah kota, masih semangat. Apalagi kota ini sedikit lebih dinamis dibanding kota yang kemarin gw tinggalin. Pagi-pagi, ada unjuk rasa dari lautan buruh pabrik kayu, hmm....pagi yang asik!

Tapi belum sempat berbaur dengan mereka, gw terseret ke sebuah hotel mewah. Katanya hari ini gw ga boleh ada di jalanan, gw harus ngorbanin mimpi sementara waktu. Gw harus ada ditempat yang lebih menjanjikan dengan segepok mimpi. Mimpi indah milik orang lain, punya pemilik kapital.

Padahal sungguh mati, gw ga suka acara berbau primordial ini. Apalagi dalam suasana pemilu ini, ada bau sarat kepentingan, gw bisa alergi. Kalo saja gw punya kekuatan, gw bakal arahin aksi unjuk rasa tadi ke gedung ini, menggugat pertemuan basa nan basi ini.

Tak dinyana, gw bertemu seorang kawan lama dari Papua yang pernah sengaja menghilangkan diri, merunduk sedalam-dalamnya, lari dari kampus dan hidup di kampung, jadi pedagang kecil demi menyambung hidup.

Dia memberitakan nasib seorang kawan lain yang berambut keriting asli Papua. Dia tewas diterjang peluru BRIMOB atau Koppasus, gw ga ngerti. Yang gw tau, pembunuhnya berloreng ijo, tentara, bangsat, yang tak pernah menghargai nyawa mahluk lain.

Aku ingat sekarang, kejadian itu bersamaan dengan diculiknya Abang Berambut Putih Keriting yang juga tewas beberapa hari setelahnya. Rasanya sakit bener saat gw ingat kalimat yang diucapkannya sambil bercanda, pada seorang kawan yang terkena DBD. Katanya, "Lebih baik abang mati diterjang peluru TNI daripada mati digigit seekor nyamuk!" Dan itu terbukti kini.

Aku juga jadi teringat kawan lain dari ujung barat negeri ini, Atjeh.
Seorang kawan, yang jauh-jauh datang ke Jakarta untuk berkumpul bersama kami, curhat tentang negerinya yang dilanda beribu amuk.
Dia kawanku, datang dari Atjeh hanya berbekal baju yang melekat di badan. Sebab di kampung dikira TNI, di kota dikira GAM, nasib!
Dia kawanku, jauh-jauh dari Atjeh, ke Jakarta naik bus, dengan 1.000 kali pemeriksaan orang- orang bersenjata
Dia kawanku, hidup susah di negeri sendiri, hingga harus jual ganja beli senjata
Dia kawanku, datang ke Jakarta kota jahiliah, mau pulang ke Atjeh harus ngamen dulu
Kawanku bertanya, mana pesawat yang dulu dibeli dengan uang kami?
Kawanku juga berkata, negeri elok, aman, damai yang kau janjikan, ternyata penuh pertumpahan darah
Kini kawanku hilang, mungkin ditelan tsunami, mungkin pula jadi korban darurat sipil, atau kini telah bertemu kawan dari Papua, bertemu Munir sang pembelanya, di alam sana.