Jumat, 20 April 2007

Mengapa Harus Kartini?

Saya tidak anti Kartini atau anti Jawa seperti dituduhkan beberapa teman yang mendebat pertanyaan saya soal peringatan Hari Kartini. Saya cuma bertanya, Mengapa Harus Kartini? tapi kok tanggapannya malah jadi rasis gitu? Padahal Agus juga Jawa dan dia berpikir gimana kalo surat2 Kartini isinya bukan seperti dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang tapi resep masakan? Saya ngotot bertanya pada Mas Mbilung di postingannya, tidak berarti saya memilih Hari Malahayati. Bukan pula karena ikut2an Tamara Geraldine (halah...) yang katanya dukungan Tjut Nyak Dien terhadap suaminya adalah sebenar2nya emansipasi.

Sekali lagi saya cuma bertanya. Dan akhirnya, saya menemukan tulisan seorang kawan dan tulisannya mengenai kontroversi Kartini sebagian saya kopas ke sini dengan seijinnya.

Kontroversi-1. Keaslian pemikiran RA Kartini dalam surat-suratnya diragukan. Ada dugaan bahwa J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda saat itu, melakukan editing atau merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Kita hanya disuguhi tulisan-tulisan yang bersumber dari buku yang diterbitkan oleh Abendanon semata.

Kontroversi-2. RA Kartini dianggap tidak konsisten dalam memperjuangkan pemikiran akan nasib perempuan Jawa. Dalam banyak tulisannya beliau selalu mempertanyakan tradisi Jawa (dan agama Islam) yang dianggap menghambat kemajuan perempuan seperti tak dibolehkan bersekolah, dipingit ketika mulai baligh, dinikahkan dengan laki-laki tak dikenal, menjadi korban poligami. Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan bersedia untuk dimadu pula. Namun demikian, bertolak belakang dengan pemikirannya, RA Kartini rupanya menerima untuk dinikahkan (bahkan dipoligami) dengan bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903, pada usia 24 tahun. Pada saat menjelang pernikahan, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.

Kontroversi-3. RA Kartini dianggap hanya berbicara untuk ruang lingkup Jawa saja, tak pernah menyinggung suku atau bangsa lain di Indonesia/Hindia Belanda. Pemikiran-pemikirannya dituangkan dalam rangka memperjuangan nasib perempuan Jawa, bukan nasib perempuan secara keseluruhan. Walaupun demikian ide-idenya dianggap menyeluruh secara nasional karena mengandung sesuatu yang universal.

Kontroversi-4. Tidak jelas persinggungan RA Kartini dengan perlawanan melawan penjajahan Belanda seperti umumnya pahlawan yang kita kenal. Tak pernah terlihat dalam tulisan dan pemikirannya adanya keinginan RA Kartini untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda saat itu, apalagi membopong senjata sebagaimana Pahlawan Wanita lainnya seperti; Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Emmy Saelan atau Christina Martha Tiahahu.

Kontroversi-5. Dari sudut pandang sejarah, pemikiran RA Kartini dalam emansipasi wanita lebih bergaung daripada tokoh wanita lainnya asal Sunda, Raden Dewi Sartika, walaupun langkah gerak Dewi Sartika justru lebih progressif. RA Kartini lebih terkenal dengan pemikiran-pemikirannya, sedang Dewi Sartika tak hanya giat berpikir, tapi juga mengimplementasikan pemikirannya ke gerak nyata dalam masyarakat dengan mendirikan sekolah khusus putri, Sekolah Kaoetamaan Istri pada tahun 1902.

Kontroversi-6. Penetapan tanggal kelahiran RA Kartini 21 April sebagai hari besar juga diperdebatkan karena terkesan terlalu melebih-lebihkan sosok beliau, sementara masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Mereka mengusulkan untuk merayakan Hari Perempuan secara umum pada tanggal 22 Desember.

Apapun kondisinya, tidak bisa saya pungkiri bahwa sejarah Kartini yang diajarkan di sekolah telah membuka mata saya bahwa laki-laki tidak selalu lebih baik daripada perempuan. Tapi tetap saja saya bertanya, Kenapa Harus Kartini, terutama setelah mendengar dan membaca kisah Laksamana Malahayati jaman kecil saya dulu.

15 komentar:

coDOT mengatakan...

Iyaah... di antara semua pahlawan cewek itu, kebetulan cuma Kartini yang dilengkapi dengan jingle, yang dibikin oleh WR Supratman, komposer paling laku pada zaman itu yang kebetulan juga orang jawa.

Jadi gimana? buat milih calon pahlawan wanita berikutnya, musti diadakan audisi dan polling SMS di lima kota besar di Indonesia?

Anonim mengatakan...

tjuk nyak dien? bukan tjut?

Anonim mengatakan...

mungkin karena namanya singkat, kartini. soalnya nda' lucu kalo kita nyanyinya: "ibu kita laksamana malahayati.....halah!"
pan kepanjangan.......xixixixixi....

Anonim mengatakan...

hehehe...apa pun, selamat hari kartini :D

Anonim mengatakan...

Banyak belum tentu benar. Penyanyi kontes, dgn dukungan sms terbanyak, belum tentu yang terbaik. Yang paling dielu-elukan, belum tentu pahlawan sebenarnya.

Akhirnya, semoga saja ada hari perhitungan di seberang sana; biar ada kehormatan bagi yang berhak.

NiLA Obsidian mengatakan...

hmmmm...sebenarnya yg harus dipertanyakan..kriteria penetapan para org2 itu utk menjadi pahlawan.....
keabsahan latar belakang dan history org2 tersebut siapa yg bisa mempertanggung jawabkan......
masa menetapkan org sebagai pahlawan...kriterianya kho "KATANYA"....

Anonim mengatakan...

Pertanyaan itu sebenernya udah ditanyain Pak Marwan di buku Satu Abad Kontroversi Sejarah Indonesia.

Dia bilang kalo dibandingkan dengan Cut Nyak Dien, misalnya, Kartini kalah jauh. Jadi, adakah politisasi di sini? Wallahualam :D

Anonim mengatakan...

seorang ibu juga bisa jadi pahlawan. lha udah ngelahirin dan nggedein anak kan juga perjuangan banget..

Anonim mengatakan...

dulu aku juga sebel, tp bukan krn aku rasis, ato sukuisme, paling sebel dg hari Kartini, kan banyak pahlwan wanita lain di indo ini? ternyata pilihan itu terpengaruh banyak hal juga, diantaranya penguasa yg menetapkan dulu. kenyataannya juga ada pahlawna yg tak dikenal, mungkin lbh byk...

namun--bagaimanapun--respek-ku muncul waktu baca buku ttg Kartini yg di tulis Pramudya. lumayan utk wanita zaman itu pemikiran2nya cukup hebat, itu kalau sejarahnya benar, namun tetap saja ada pahlawan2 wanita lain yg lebih ok, atau sama saja kualitasnya di negeri ini...

Anonim mengatakan...

Usulin aja bikin hari Tjut Nyak Dien, hari Dewi Sartika, hari Malahayati, dan semua hari dengan nama wanita yang pernah berjuang utk Indonesia. Juga sekalian bikin hari Diponegoro, hari Imam Bonjol, hari Soedirman, hari Soekarno, dll. biar tambah seru. Asyik kan tiap hari ada perayaan...

Anonim mengatakan...

ada satu tambahan kontroversi lagi dari teman...
http://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/
=====
Cari buku berjudul Dutch Culture Overseas tulisan Frances Gouda. Ada satu kontroversi lagi yang belum anda sebutkan…

Yakni, Kartini tidak menyinggung nasib-nasib perempuan dari kelas yang lebih rendah. Karena perempuan dari kelas yang lebih rendah di Jawa, derajatnya setara. Mereka merdeka.. lebih merdeka daripada perempuan-perempuan yang dari kelas priyayi di Jawa.

Anonim mengatakan...

yati, upayamu menulis ini patut dipuji.

sebab kita tahu, banyak sejarah dan "kebenaran" di negeri ini yang tidak selayaknya kita terima bulat-bulat.

orang-orang yang berani tampil beda seperti yati akan terus diperlukan.

kita harus terus mencubit "kebenaran" agar kebohongan berteriak kesakitan; sehingga semuanya menjadi terang-benderang.

sukses ya, ti.
salam hangatku selalu.

dW mengatakan...

He..he,.. iya, kenapa sih musti Kartini. Perasaan she's not not fight for that anyway,.. masih banyak yang lain..,

Agus Yudiana mengatakan...

wah entar kalau semua pahlawan wanita ada hatinya asik juga tuhh!! tiap hari kita make kebaya kayak di hari kartini kekekekke

udahlah jangan diperpanjang mendingan jadi Kartini/pahlawan-pahlawan wanita berikutnya untuk benahi bangsa ini!!

Hanjeli mengatakan...

1. Sebetulnya yang berjuang itu para meneer.
2. Perjuangan kartini hanya untuk priyayi jawa, wanita umum sudah merdeka dari dulu. Jadi hari kartini cukup di jawa saja.
3. Perjuangan kartini telah membantu menghapus adat, budaya dan tradisi Indonesia