Senin, 16 April 2007

Mahasiswa vs Anak Sekolah Tinggi

Ini kisah anak STPDN
Calon pemimpin terbaik dari seluruh negeri dikumpulkan di ibukota provinsi. Dengan pesawat mereka diangkut ke sana. Dijemput masing2 dengan satu mobil untuk satu orang. Jika mobil belok kembali ke bandara, berarti ga lulus, dan kalau terus ke Jatinangor, berarti mereka lulus. Kemewahan menunggu di sana. Gaji bulan pertama sudah menanti. 100 persen dibiayai uang rakyat. Makan tiga kali sehari sudah ditanggung. Pakaian dari ujung kaki hingga ujung rambut sudah tersedia. Tidak ada cerita pakaian kotor dan lusuh menumpuk, karena tukang loundry siap sedia setiap saat. Tak perlu memikirkan uang kost setiap bulan karena tempat tidur empuk telah tersedia. Tidak perlu memikirkan biaya transportasi, karena tinggalnya di dalam kampus. Bangun pagi, masuk kuliah di ruangan ber-AC, selepas kuliah latihan baris berbaris plus gebukan. Tiba saatnya KKN, tinggal ngambil data di kantor bupati. Saat wisuda, dikukuhkan oleh presiden, mendagri dan segala pejabat. Tamat dari sana, jabatan sudah menunggu. Enak kan?

Simak kisah si mahasiswa
Mahasiswa (ingat, mahasiswa, bukan anak sekolah tinggi atau institut) ini sebenernya teman sebangku si anak sekolah tinggi di SMA dulu yang nilai raportnya jauh lebih baik daripada si anak sekolah tinggi. Si mahasiswa cuma kalah tinggi 1 cm dan kalah duit buat ganjelan. Akhirnya mereka berpisah jalan. Si mahasiswa mempersiapkan diri ke ibukota provinsi, mencari kost-an yang murah meriah meski tinggal di pinggir kali, berbahan tripleks tanpa ventilasi. Kerja serabutan demi membiayai kuliah. Ke kampus jalan kaki. Makan dua kali sehari dengan lauk tahu tempe (sesekali beruntung dapet undangan seminar, bisa makan gratis). Pagi2 mandi alakadarnya, mengenakan kaos dan kemeja lusuh serta jins belel, masuk kampus, belajar dan berdiskusi, bersosialisasi dengan segala lapisan. Di universitas, si mahasiswa mewakili Indonesia mengikuti kompetisi ilmu pengetahuan tingkat internasional. Saat wisuda, dengan baju pinjaman, dikukuhkan oleh rektor. Masa depan suram menantang mereka dengan sombongnya karena medali internasionalnya (yang pernah membuat nama negeri ini berkilau) ternyata tidak cukup mempan dipakai buat ngelamar kerja!

Hahaha....iri ga lo, anak2 mahasiswa? Gw ga ngomporin lho...gw ga memprovok...gw cuma memaparkan fakta yang diambil dari kisah nyata! Eh, ga boleh nyolot soal KEBERUNTUNGAN dan jangan bawa2 nama Tuhan! Kita maen fair aja, selayaknya sesama manusia :p

14 komentar:

Anonim mengatakan...

padahal si mahasiswa tadi pun udah cukup beruntung, dibanding ponakan gw, yg untuk lulus smp pun udah terbata-bata.

Anonim mengatakan...

yaiks..kurang mbak..
mahasiswa ditambahi kuliah make uang pinjeman orang tuanya ngutang sna -sini, lulus kuliah lama, skripsi ga kelar...

Anonim mengatakan...

nggak semua itu sama.... tak semua juga menjadi kaya... tapi negeri ini hampir semua dipaksa miskin... oleh kepentingan tangan yang tak terlihat....

mahasiswa? berfasilitas ataupun tidak... tak jua bermakna bila hanya sibuk dengan IP.... dan medali... :-)

Anonim mengatakan...

Tragissss... Ironis banget yak...

Anonim mengatakan...

bagus..bagus, tulisannya asik

mana kisah mahasiswa ekonomi yang wisuda pake jeans ?

Anonim mengatakan...

apapun jalan yang dipilih ... seharusnya bersyukur karena telah dapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi (kuliah di universitas juga termasuk "pendidikan tinggi" lho, ngga cuma klo masuk "sekolah tinggi" aja).

mengenai mahasiswa vs. siswa sekolah tinggi, umumnya Indonesia memang lebih menghargai pejabat daripada ilmu ... ini menyedihkan.

makanya biz lulus kuliah, pengen kabur aku dari Indonesia.
hehehe.

Anonim mengatakan...

sad but true, ya? itulah kenapa gw eneng banget liat anak2 'sekolah tinggi' itu. sombongnyaaaa....

Anonim mengatakan...

saya dari dulu kurang suka dengan hal2 yang instan.. kecuali mi instan ,,kopi instan ..susu instan.. heheh..

btw lam kenal yah ^_^

Anonim mengatakan...

MANTABSSS...
Jadi sedih, ingat nasib waktu mahasiswa doeloe....

Iya neh, mahasiswa kok tidak BERGERAK??

Anonim mengatakan...

100% ga' ngiri. gpp lah jadi mahasiswa kere plus madesu pula daripada musti make seragam kemana-mana, tidur dibarak yg berjubel, harus baris-berbaris&olrahraga (tidakkkkkkkk) belum lagi harus digebukin dan mati sia-sia. Demi status PNS, demi menjadi pejabat kelas "cere" CUIHHHHHHHH!!!! IPDN, akhirnya lo cuman jadi another Al Catraz!

hmz mengatakan...

wah mas, yang masih pake nama institut / sekolah tinggi bukan cuman ipdn / stpdn lho :D.

Anthony Steven mengatakan...

Gak ngiri lah, semua ada berkatnya sendiri-sendiri.

Selama lembaga pendidikan itu tidak mendehumanisasi kita. hehehe.

Anonim mengatakan...

Lha mbak Yati, 'anak' institut gak diaku mahasiswa? Mahasiswa ITB apa bukan mahasiswa? (eh kalimatnya redundan ya hihi..) ;p

*setuju dengan mas Timpakul*
Mahasiswa juga ngga semuanya 'bener'.
Tentunya tidak dengan maksud bilang anak STPDN semuanya bener ;)

Anonim mengatakan...

baca blog ini jadi capek sendiri, smua yg ada serba disalahkan, kok yg bener ga ditulis sekalian.

mahasiswa yang pake mobil ke kampus kok ga dimuat juga?

mbak, mbak bisanya kok mencari kejelekan orang..
jangan cuman nulis di blog donk, apakah anda ga pengen jadi wakil rakyat yang menyuarakan apa yang anda tulis di sini?
bisanya ngemeng aja.. piss