Sabtu, 06 Agustus 2005

KoNtRaS

--bersahabat dengan penyakit dua minggu belakangan ini membuatku makin sentimentil. apakah kematian telah begitu dekat?--

Pagi tadi dua perempuan menyetop angkot di depan rumah sakit. Kebetulan mereka memilih angkot yang sama denganku. Ada pemandangan kontras dari kedua anak beranak itu.

Perempuan pertama, usianya sekitar 12-an tahun, kulit putih, duduk dekat pintu. Potongan rambutnya seperti umumnya remaja lain, mengikuti tren terbaru. Mengenakan kaos pink yang melekat pas di badan dengan udel yang menyembul sesekali. Bawahannya, gadis itu mengenakan jins selutut dengan ikat pinggang putih yang pada kedua ujungnya terdapat besi putih berbentuk sebuah simbol merk terkenal.
Tangan kirinya menggenggam ponsel mungil warna silver. Musik pun menghentak dari benda kecil ditangannya yang membuat sopir beberapa kali melotot melalui kaca spion. Tangan kanannya memegang kotak minuman yang diseruputnya sepanjang perjalanan.

Perempuan satunya lagi, paruh baya, juga berkulit putih, duduk di pojokan belakang. Rambutnya yang mulai memutih digelung ke belakang menjadi konde. Mengenakan kebaya hitam yang sedikit lusuh, bagian bawah dibalut kain hitam khas etnisnya, juga tampak lusuh.
Tangan kirinya menjinjing keranjang rotan, mungkin bekas tempat makanan yang diantarkannya ke rumah sakit tadi. Tangan kanannya menggenggam erat sebuah dompet kecil yang biasanya terdapat dalam kemasan makanan kecil penuh bumbu rasa asin yang disukai anak-anak. Bibirnya terus mengunyah sirih yang membuat bibirnya tampak memerah dan pada kedua ujungnya kadang meneteskan cairan merah seperti darah yang sesekali diseka dengan saputangan.

Keduanya memang kontras meski berwajah benar-benar mirip. Si gadis pun menyebut perempuan tua itu sebagai ibunya. Tapi mungkin panggilan ibu sekedar sebutan saja. Sebab tak setitik pun kutemukan dimatanya rasa hormat pada perempuan yang dipanggilnya ibu. Semoga aku salah, yang tampak justru rasa jijik sehingga si gadis memilih duduk menjauh, seolah tak kenal dengan perempuan tua itu. Saat turun dari angkot, si gadis berjalan melenggang masuk sebuah gang sempit, meninggalkan perempuan tua yang sibuk menghitung uang receh dari dompet kecilnya.

Melihat mereka berdua, aku tiba-tiba ingin pulang. Bersimpuh di kaki mama, lalu rebah di pangkuannya, merasakan kedamaian saat jari-jari tuanya yang keriput membelai rambutku. Dan air mataku benar-benar menetes. Giliranku melirik kaca spion, memastikan sopir angkot tak melihat tetesan bening dipipiku.