Dua hari lalu, lagi-lagi ada anak SMA, laki-laki, bunuh diri karena tidak naik kelas. Padahal yang lagi ramai diperbincangkan adalah anak-anak sekolah yang tidak lulus ujian nasional. Ada yang bilang, anak itu tidak naik kelas karena belum melunasi salah satu kewajibannya. Tapi gurunya membantah dan mengatakan uang sekolahnya sudah lunas.
Ibunya, satu-satunya orang tua yang dimilikinya juga cukup kecewa dengan tidak naik kelasnya sang anak karena menurutnya, anak lelakinya adalah sosok pendiam yang tekun belajar. "Kok anak saya nggak naik kelas? Kok teman-temannya yang lain yang suka mabuk-mabukan dan balapan liar malah naik kelas?" serunya meradang. Guru-guru dan kepala sekolah yang datang melayat pun diusirnya.
Entah mana yang benar, yang jelas anak itu merasa malu tak tertahankan akibat tidak naik kelas dan lebih memilih bunuh diri. Lalu komentar bermunculan. Biaya pendidikan mahal, sistem pendidikan yang salah, guru yang tidak adil, sistem penilaian yang tidak jelas, bahkan ada yang bilang anaknya memang bodoh. Tudingan terakhir juga jelas-jelas dilontarkan orang yang sangat bodoh. Bukankan tujuan anak disekolahkan agar menjadi pinter?
Berita seperti itu, meski berada di halaman koran kriminal yang memuakkan, tetap saja mengiris hati. Akan jadi apa negeri seribu duka dan azab ini? Tujuh bulan berkarib dengan bencana yang datang bersamaan, merundung tanpa ampun.
Tapi anggota DPR yang terhormat itu, masih sempet aja minta kenaikan gaji 85 persen. Padahal ribuan anak negeri sedang berkutat busung lapar, Aceh dan Nias belum dibenahi (dana pemulihan dua daerah ini konon abis juga dikorupsi), antrian BBM makin panjang (karena rakyat disuruh hemat, tapi pejabat rame-rame beli mobil mewah yang banyak makan minyak), koruptor tetep bisa bersenang-senang di luar penjara, gajah berebut kursi di Pilkada, semutnya mati sengsara. Inilah negeri penuh azab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar