Minggu, 29 Juni 2003

Ghost Town...

Gw ingat, pertama kali gw datang ke kota ini, gw disambut gerimis hujan dan wangi tanah yang diatasnya pohon tumbuh begitu rimbun. Kemanapun gw memandang yang ada hanya hijau. Yang terpikir saat itu, bakal betah nggak ya gw di kota ini? Teman-teman pun meragukan tekadku. Karena aku sudah terbiasa dengan mobilitas kota besar. Coba kukuatkan hati, coba melangkah pasti...!

Tapi sekarang, semakin jauh gw melangkah ke dalam hutan..., yang kutemui hanya kekecewaan. Betapa bukit Soeharto di pinggiran kota ini tetap tak tersentuh. Se-Status Quo yang empunya nama, tak bergeming diserang massa, terpanggang matahari dan tak tersentuh hukum. Heran, apa maunya? Dan apa yang ada dalam pikiran orang di kota ini selain kata kondusif dan kapital?

Makin jauh ke dalam hutan, ke bawah tanah, gw makin ngeri. Yang ada hanya rongga-rongga, gua- gua dan puing-puing bangunan mewah ditengah hutan berisi gas beracun bekas tambang. Gw ngeri ngebayangin tanah kaya dan indah ini bakal jadi kota hantu ditinggal orang-orang yang udah ngeksploitasi habis kekayaan dan keperawanannya.

Gak ada yang mereka tinggalkan selain kesengsaraan, kerusakan dan rasa frustasi
Semuanya sudah diangkut habis
Ke kota jahiliah bernama Jakarta
dan ke pusat kapital dunia bernama Amerika
Lantas, tanah yang mana lagi yang bisa ditanami petani di sana?
Air yang mana lagi yang bisa diteguk sekedar membasahi kerongkongan?
Harus mendongak kemana lagi mereka untuk sekedar menghisap udara,
melegakan paru-paru?
Dengan apa bocah itu membayar sekolahnya jika jalan ke sekolah saja jadi buntu?
Kemana larinya orang-orang LSM yang mengaku pernah membina mereka?
Mari, lihat, mereka telah terkubur disana,
di kota hantu bekas tambang itu.