Minggu, 23 Maret 2008

World Silent Everyday di Kaltim

21 Maret lalu, katanya ada imbauan tidak menyalakan listrik selama 4 jam, jam 10:00-14.00. Hari itu dipilih sebagai world silent day karena bertepatan dengan hari air dunia. Konon katanya cara ini bisa mengurangi ancaman pemanasan global. Emmm...contoh yg udah ada hitung2annya, misalnya saat nyepi di bali yang tak ada aktifitas apa2 sama sekali, bener2 ngasih kesempatan pada alam untuk bernafas sejenak.

Katanya, saat nyepi itu, diperkirakan emisi karbondioksida berkurang sekitar 20 ribu ton. Ada hitung2annya di www.wordsilentday.org, tapi silahkan diliat sendiri karena saya sendiri pusing liatnya dan ribet ngitungnya. Yang jelas, emisi karbon akan berkurang signifikan, halah... karena pada saat bersamaan pesawat, mobil, PLN, kapal, dll ga menghasilkan karbon karena ga dioperasikan sama sekali hari itu. Dan itu cuma di satu tempat. Kalo dilakukan bersamaan, di pulau yang lebih besar, di benua yg lebih besar...hmm, pasti makin awet bumi ini.

Tapi sebenernya bukan ini inti pembicaraan yang gw niatin sebelumnya. Tapi ini... kalo dunia mengenal 21 Maret sebagai world silent day selama 4 jam, trus ntar katanya WWF juga mengeluarkan imbauan world silent day pada 29 Maret selama sejam, kalo di Kaltim, yang ada world silent everyday.

Yup, everyday, listrik di Kaltim padam. Ga cuma satu jam, empat jam, tapi bisa sampe 12 jam sehari, setiap hari pula! Kalo ga padam di siang hari yang biasanya dimulai jam 07.00-17.00, maka siap2 aja dapet giliran pemadaman malam hari sekitar pukul 18.00-23.00 atau 24.00. Mau marah2 ma PLN? Capek kali, karena ga akan ada yang berubah.

Ini udah terjadi berbulan-bulan lamanya. Eh, jangan dikira daerah ini sedemikian miskin dan terkebelakangnya sampe listriknya parah gitu. Daerah ini justru daerah terkaya di Indonesia dengan sumber energinya. Batubara? Di sini tempatnya tambang terbesar di dunia. Minyak dan gas? 68 persen ekspor minyak nasional datang dari daerah ini! Semua sumber daya alam habis dikirim keluar daerah, terutama Jawa, Bali dan luar negeri. Dan tak ada yang disisakan untuk daerah ini. Antrean minyak tanah jadi pemandangan biasa. Listrik padam tiap saat, juga hal biasa. Pejabatnya sibuk menyusun strategi memenangkan pemilu. Setiap akhir pekan, bandara penuh sesak karena saat itu mereka akan berlibur keluar Kaltim, ke daerah yang listriknya melimpah.

Hufhh...capek ngomel.
Jadi berdasarkan hitung2an di website tadi, hitung sendiri akan seberapa awet alam Kalimantan ini karena setiap hari listriknya padam. Eh, tapi tunggu dulu. Kayaknya ngga juga deh...soalnya tambang batu bara di sini ada berapa? Paling besar pula di dunia. Dan, rasanya setiap kios kecil di pasar punya generator mini, begitu juga di rumah2 penduduk, selalu tersedia genset!
Hehehe, berharap world dalam keadaan silent ternyata makin bising karena suara genset :p

Selasa, 18 Maret 2008

dana korban tsunami buat beli senjata?

Dulu, zaman2nya reformasi, jauh sebelum Atjeh diluluhlantakkan oleh gempa dan tsunami, kami sering ledek2an dengan kawan2 kami anak Atjeh. Kami memplesetkan lagu Bungong Jeumpa menjadi: Bungong Ganjo/ Bungong Ganjo/ megah di Atjeh/ Jual sana/ jual sini/ beli sanjato../
Kenyataannya, di Atjeh memang banyak ganja. Konon [saya dengar dari kawan2 Atjeh itu] daun ganja dipakai untuk campuran dalam masakan orang Atjeh. Konon pula, daun2 ganja itu dijual untuk beli senjata. Konon lagi, agar punya ongkos ke Jawa untuk berkumpul dengan kawan2 se Indonesia [saya sendiri dari Makassar] mereka harus jualan ganja dulu. Dari sanalah, lagu plesetan itu kami dendangkan.

Tapi saya baru tau, jika kini daun ganja tak dijual lagi untuk beli senjata. Yang dipakai beli senjata justru dana korban bencana tsunami. Saya terhenyak membaca kabar itu. Dana korban tsunami Atjeh yang dipake buat beli senjata2 buat tentara, polisi, dan alat-alat nuklir. Kabar itu sama menyakitkannya dengan kabar tentang sulitnya mengusut orang2 DPR yang telah memakan Rp 23.055 miliar dana tsunami. Amat sangat keterlaluan.

Lebih aneh lagi karena laporan pembelian senjata2 itu tiba2 muncul di lampiran Perpres Nomor 30 Tahun 2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat NAD dan Kepulauan Nias. Sebelum2nya, tak ada. Maka, konon orang2 yang ikut dalam rapat pembahasan Perpres pekan lalu pun terkejut. Sebab dalam lampiran itu tertera biaya pengadaan suku cadang/ban pesawat, peralatan berat, serta persenjataan ringan dan amunisi bagi TNI/polri yang memakan terlalu banyak dana bantuan korban tsunami.

Bukankah masih terlalu banyak kebutuhan para korban yang belum terpenuhi? Berapa yang belum punya rumah? Berapa anak yang belum bisa sekolah dengan bener? Berapa kepala keluarga yang belum bisa kembali bekerja untuk menghidupi keluarganya. Kok dananya malah dibeliin senjata2 buat militer tak berguna yang bisanya cuma bentrok dengan sesamanya dan menembaki warga itu?

Di sini disebutkan, jumlah amunisi yang dibeli mencapai 19.769 butir, suku cadang dan ban pesawat 2.299 unit, alat utama militer 985 unit, senjata 295 unit, senapan dan pistol 56 unit, alat berat militer 483 unit, dan lainnya. Anjrit! Sementara rehab rumah korban tsunami, BRR hanya mencantumkan targetnya 67.890 unit, dari rencana sebelumnya 155.838 unit. Untuk bantuan rumah, targetnya mencapai 139.195 unit tapi yang dibuat cuma 90.158 unit.

Rehab tambak nelayan baru seluas 18.631 ha dari yang direncanakan 36.597 ha. Rehab hutan mangrove baru terealisasi 10 persen atau sekitar 16.775 ha, dari yang direncanakan 164.640 ha. Pelebaran dan pengaspalan ruas jalan tengah baru sepanjang 191 km dari 341 km yang direncanakan dalam perpres. Lintas timur, lebih pendek lagi cuma 80 km dari 257 km yang direncanakan.

Tak salah jika akhir pekan lalu, sekelompok pemuda yang tergabung dalam Komunitas Pemuda Peduli Aceh berunjukrasa ke BRR. Mereka mempertanyakan kenapa dana korban tsunami justru digunakan untuk membeli alat2 untuk militer?

Iya, kenapa? Masih tak cukup puaskah mereka membombardir tanah Atjeh dengan operasi militernya di masa silam? Masih belum cukupkah orang2 Atjeh dibuat tak berdaya dengan musibah tsunami yang meceraiberaikan mereka dengan segala yang mereka miliki? Masih belum cukupkah darah yang mengalir di tanah itu saat orang2 berpakaian loreng itu menembaki orang2 di Atjeh dengan dalih membela merah putih? Kenapa pula harus memakai dana korban untuk beli senjata? Sedemikian pentingkah senjata dibanding menyembuhkan rasa lapar orang Atjeh?
Gerammm sekali rasanya! Kalo saja Munir masih ada...

Sabtu, 08 Maret 2008

Fulus BLBI agar Mulus ke 2009?

Saya sudah menunggu terlalu lama dan berharap agar Jaksa Agung bersedia menjilat ludahnya yang telah bercampur air comberan untuk membuka kembali kasus BLBI. Tujuannya agar saya bisa mengejek lebih puas lagi. Sebab sebelumnya, mereka begitu yakin dengan segala keagungannya, kejaksaan agung membebaskan para maling kasus BLBI karena menurut mereka, tidak ditemukan bukti dan semuanya telah berjalan sesuai prosedur. Tapi rupanya itu penantian saya akan sia-sia, maka ejekan dan makian saya yang hanya stengah porsi ini baru diposting.

Hanya berselang beberapa saat setelah kejaksaan membebaskan mereka yang diduga maling, eh, ternyata maling benerannya tertangkap dengan uang bukti 660.000 dolar AS atau sekitar Rp 6 miliar lebih. Kebayanglah betapa malunya kelompok yang menganggap diri mereka agung itu. Hendarman Supandji pun menangis tersedu-sedu entah untuk alasan apa. Mungkin panik karena ketahuan, mungkin bener2 merasa dikhianati bawahannya, atau kesel karena ga dibagi, entahlah. Airmata memang tak bisa ditafsirkan maknanya :p halah...

Setelah tertangkap tangan, masih saja muncul pembelaan2 karena konon, gaji si jaksa Urip itu cuma Rp 3,5 juta. Ouwhhh, saya prihatin sekali. Bukan pada jumlah gajinya, tapi jumlah kekayaan diluar gajinya. Mobilnya empat, rumahnya mentereng, dan dia masih mengeluh karena profesinya yang agung hanya dihargai Rp 3,5 juta sebulan. Lha, kenapa mau jadi jaksa dan PNS, tolol? Lha, udah bisnis permata pula, menduakan profesinya yang agung, dan masih juga nerima duit Rp 6 miliar? Bener2, sapu kotor!

Saya tidak memfitnah dia dengan memaparkan jumlah gaji dan kekayaannya. Walaupun awalnya saya sempat berpikir, bisakah hidup di Jakarta dengan gaji sedemikian dan harus menghidupi dua rumah tangga [karena dia berjauhan dengan istrinya]. Tapi membandingkannya dengan profesi lain yang gajinya lebih rendah, misalnya guru, saya jadi ngerti, betapa serakahnya dia! Apalagi jika membandingkannya dengan orang biasa yang tak bergaji, atau, dengan keluarga almarhum Dg Basse yang cuma bisa makan sekali sehari itu? [saya tau ini perbandingan yang tidak adil :p]

Saya memang sepertinya sudah nyaris putus asa dengan harapan perbaikan negeri ini. Lihat saja, mereka mengangkat ketua KPK yang konon juga sapu kotor. Mereka mengangkat para Direksi BUMN dari kalangan mereka sendiri. Mereka menjebloskan Gubernur BI untuk menyelamatkan orang dekat. Itu hanya sebagian kecil. Tapi, bukankah itu menyiratkan sesuatu? Ada yang harus tetap dipertahankan agar pesta 2009 berjalan mulus karena fulusnya terjamin. Lebih jauh lagi, dia yang agung, menyadari bahwa melanggengkan cara2 yang dipakai oleh dia yang telah dikuburkan itu, akan membuat kekuasaannya ikut langgeng. Jadi, berhentilah berharap!

Minggu, 02 Maret 2008

Ribut2 Soal Susu, di Makassar Ibu Hamil Mati Kelaparan

Boro2 ribut soal kandungan bakteri Sakazakii dalam kemasan susu bayi yang tercemar, Dg Basse yang tengah hamil tujuh bulan dan seorang anaknya malah mati kelaparan. Jangankan untuk beli susu bagi anaknya, makan sehari tiga kali aja ga pernah. Jangankan kenal yang namanya susu formula yang bikin cerdas, mereka cuma bisa makan nasi dan garam setiap hari [kalau berasnya ada].

Sediiiih sekali. Sekaligus maraaaah banget mendengar berita itu. Membayangkan sebuah keluarga yang tinggal di lingkungan yang padat, punya banyak tetangga, tapi tak ada yang tau, Basse dan tiga anak kecilnya hanya makan bubur berbumbu garam sekali sehari agar bisa berhemat. Berjejal di satu ruangan di rumah panggung kontrakan yang tak sanggup dibayarnya meski bagi orang lain Rp 50.000 per bulan mungkin bukan jumlah yang sangat besar.

Sementara di kompleks dekat rumah mereka, tinggal dengan nyaman keluarga2 pembesar, pejabat kota dan provinsi, yang saban hari mengurusi data-data orang miskin, namun tak sempat melihat kemiskinan yang nyata-nyata di depan matanya. Baru pada hari kematian Dg Basse dan anak dalam kandungannya, serta satu anak lainnya, orang sekitar kompleks itu melihat keberadaan mereka. Para tetangga, baru membawa tiga anak Dg Basse lainnya ke rumah sakit agar tak ikut mati dalam pusaran kelaparan dan kemiskinan.

Telah nyata ibu dan anak itu meninggal karena kelaparan, pejabat kesehatan masih saja mempertentangkan. Padahal keluarga Dg Basse cuma butuh makanan. Bukan teori2 tentang kesehatan. Mereka tak punya kepentingan pada kandungan bakteri dalam susu formula. [sebab meski bukan peneliti, Dg Basse mungkin lebih tau bahwa susu sapi hanya baik untuk bayi sapi sementara untuk bayi manusia, Tuhan telah menciptakan susu tanpa bakteri]

Keluarga Dg Basse tak perlu tau mereka masuk golongan mana dalam banyak singkatan GAKIN, RASKIN, asal ada sesuatu yang bisa dimakan hari ini. Mereka tak perlu tau bagaimana para mahasiswa yang suka tawuran itu mengobral janji memperjuangkan orang miskin macam mereka. Mereka ga perlu tau akan kemana bapak wapres dengan pengawalan kendaraan yang meraung2 melintasi depan rumah kontrakan mereka. Mereka ga mau tau sudahkah para anggota dewan yang dipilihnya dalam pemilu lalu mendapatkan tunjangan komunikasinya. Mereka ga perlu tau ada apa antara ibu menkes, IPB, BPOM, YLKI yang sibuk membincangkan susu formula.

Keluarga Dg Basse hanya butuh makanan. Bukan perdebatan2 tak berujung tentang harga minyak, kampanye, RUU Politik, maling BLBI, pencipta neraka Sidoarjo. Mereka butuh duit untuk biaya anak2nya kelak agar tak bernasib sama dengan ibu, saudara dan bakal saudaranya. Bukan tebar pesona, bukan album baru, bukan poco-poco, dan bukan konfrensi pers yang diadakan jauh2 di Jakarta. Kemana kalian (dan kita) semua???