Sabtu, 08 Januari 2011

Empat catatan keajaiban negeri dongeng

Saya tengah berpikir bahwa blog ini tak akan lagi berisi kemarahan dan caci maki pada bobroknya negeri oleh para penguasa lalim, korup, fasis, dan segala embel2 keburukan lainnya.
Saya ingin menjadikannya monumen, pencatat, penyimpan kisah tentang suatu negeri yang tak belajar dan tak pernah jera pada arus balik sejarahnya.

Di akhir Desember 2010 dan awal Januari 2011, kisah bobrok yang layak disimpan untuk melawan lupa, masih saja soal korupsi dan kenakalan para mafia mengakali hukum.

Di PSSI, Nurdin Halid dan sekjennya, Nugroho Besoes masih mempertahankan kursi tempatnya meraup untung dari korupsi dan suap yang tak pernah habis selama APBD dan penikmat bola (buta) masih ada. Suap klub yang dapet duit APBD (yang adalah jelas duit yang dikumpulkan dari rakyat) serta duit dari tiket penonton, duit sumbangan (yang mengaku) sponsor, masih terlalu banyak untuk ditinggalkan begitu saja oleh Nurdin Halid dan kroninya.

Padahal, hasil korupsinya dari duit cengkeh dan minyak goreng hingga dia dipenjara dua kali, mungkin belum juga habis. Tapi kehormatan masih ia pegang. Presiden masih rela duduk berdampingan dan memelihara maling (sebutan kasar untuk pelaku korupsi) itu. Demi duit yang berlimpah di PSSI, dia hajar semua orang yang kontra dengannya, dan dia bikin sendiri spanduk yang memuji dan mendukung dirinya.

Ada kasus besar lain yang entah kenapa masih membuat presiden duduk tenang di kursinya. Kasus Gayus Tambunan, pegawai negeri golongan IIIa yang begitu kaya raya dengan miliaran duit di rekeningnya. Yang membuat geregetan adalah: selama ditahan di penjara kelapa dua depok, yang dijaga oleh para polisi tangguh bernama Brimob, kenapa bisa ia jarang ada di selnya, dan begitu sering ia jalan2 keluar Jakarta?

Sungguh ajaib seorang tahanan bisa berada di Bali untuk nonton turnamen tenis dunia, jalan2 ke Singapura, Kuala Lumpur, Macau, dan entah kemana lagi. Dengan status tahanan, ia bisa jalan2 dengan uang pajak yang seharusnya disetorkan kepada negara, dengan paspor palsu yang seharusnya tak diterbitkan oleh orang2 imigrasi.

Dan dengan segala keajaiban itu, presiden masih diam saja dengan dalih tak mau melakukan intervensi hukum. Padahal dulu ia berkampanye akan menegakkan hukum, memberantas korupsi. Salahkah saya jika pada akhirnya saya berpikir, sikap diamnya itu adalah untuk menghindari tuntutan hukum terhadap sang besan yang mungkin melakukan hal yang sama dengan Gayus ketika ia dipenjara di kelapa dua?

Keajaiban berikutnya, ketika seorang tahanan di Bojonegoro, menggunakan jasa joki untuk menggantikan posisinya di penjara agar ia bisa melenggang bebas di luar sana.

Dan keajaiban yang lain, ketika menteri dalam negeri Gamawan Fauzi melantik wali kota di kantornya, bukan di daerah asal di Sulawesi Utara sana karena si wali kota terpilih adalah seorang tahanan dan terdakwa kasus korupsi. Si wali kota dijemput di tahanan untuk dilantik, dan dikembalikan ke penjara setelah dilantik. Sungguh sebuah dagelan, karena seorang menteri yang katanya bersih, menyediakan karpet merah bagi seorang terdakwa korupsi.