Selasa, 27 Februari 2007

KB Gagal, Ayo Berjudi Nyawa

Tanpa mengurangi rasa duka cita dan keprihatinan saya pada musibah terbakar lalu tenggelamnya Kapal Levina I, ada beberapa fakta dan kejanggalan yang tercatat saat kapal itu karam. Ini dia:

1. Levina I aman-aman aja pas mulai ditarik, tidak tenggelam. Gelombang cukup besar tidak mampu menenggelamkan kapal. Meski telah menjadi puing, kapal tetap dijamin tidak mudah tenggelam
2. Levina I tenggelam sekitar pukul 13.00, Minggu (25/2) satu jam saat tim puslabfor dan KNKT melakukan pencarian bukti-bukti di dalam kapal
3. Pengisian air balas ke Levina I yang telah dilakukan sebenarnya telah menyeimbangkan kapal yang tadinya miring sekitar 20 persen, sehingga tidak tenggelam kalau tidak bocor. Faktanya, di sekitar Muara Gembong, tidak ada hall yang membuat Levina I bocor seperti kandas di karang. Lha kok tiba2 tenggelam dan bocor waktu itu?
4. Sesuai prosedur, kapten atau nakhoda harus yakin betul kapal ini layak berlayar. Artinya memastikan tidak ada ancama bahaya. Kalau ada benda-benda berbahaya yang mudah terbakar, setiap mobil yang masuk harus dikeringkan tankinya, termasuk bahan kimia
5. Nilai pertanggungan (klaim) asuransi akan penuh kalau kapal tenggelam, sedangkan kalau terbakar masih harus disurvei termasuk sebab-sebab kebakaran. Hmm...poin ini sangat layak diperhitungkan kan?
6. Djoni Lantung sebagai Kepala Syahbandar seharusnya bertanggung jawa atas posisi kapal hingga saat ini. Dia harus membuat surat kepada Dephub dan selanjutnya meminta Mahkamah Pelayaran menggelar sidang membuktikan sebab-sebab kebakaran. Malasahnya adalah, Djoni udah dicopot dari jabatannya
7. Saat kapal di lokasi kebakaran masih dekat ke darat, masih kelihatan dengan kasat mata, tidak perlu pakai radar. Jadi mestinya sih ga perlu ditarik, cukup berlabuh, pakai jangkar. Tapi ga tau ya kalo buat orang2 pinter, pasti punya alasan khusus

Jangan ditanya duka saya khususnya pada kawan wartawan yang meninggal. Gw bisa membayangkan usahanya untuk menyelamatkan gambar yang telah terekam dalam kamera yang luar biasa berat itu, tak peduli pada tubuhnya yang tergerus pusaran air. Mungkin semua wartawan akan melakukan hal yang sama, menyelamatkan kamera dulu sebelum menyelamatkan nyawanya sendiri padahal nyawa ga sebanding dengan harga kamera.

Tapi sebagai pelajaran (dan sedikit penyesalan), tiga poin gw catet:
1. Kapal itu tengah ditarik ke pelabuhan. Buat org2 labfor, KNKT atau siapapun, napa ga nunggu aja di pelabuhan untuk menyelidik? Buat kawan2 wartawan, bukannya sudah ada dokumen gambar yang diambil sebelumnya? Kenapa harus ikut kapal rusak?
2. Karena naik kapal rusak, jelas penuh resiko. Jangan lupa, PAKAI PELAMPUNG dan alat keselamatan lain. Aturan ini berlaku dimanapun, tidak cuma di laut.
3. Pesan paling penting: jangan sembrono, jangan meremehkan apapun, jangan takabur, jangan sombong.

Prosedur keselamatan harusnya dijalankan dengan tertib. Pemerintah jangan cuma bisa berkelit dan main tuding karena musibah udah terlalu sering terjadi. Kalo kapal ga layak berlayar, jangan diijinin. Kalo pesawat ga layak terbang, jangan diijinin. Kalo keretanya reot, dibenerin. Jangan karena terima sogokan dari operator trus pemeriksaan dilolosin begitu aja. Atau tinggal memecat dua Dirjen di Dephub, masalah selesai.

Operator dan penerima sogokan emang sama2 untung. Tapi, orang2 yang menggunakan jasa operator harus berjudi. Ga main2, taruhannya nyawa. Apa segitu pesimisnya sama program KB sampe harus mengurangi jumlah penduduk dengan cara seperti ini? Berjudi nyawa!

Jumat, 23 Februari 2007

Bersiaplah, Warga Sipil Wajib Militer

Hmm...ada setan baru nih, namanya RUU Komponen Cadangan. Setan baru itu, menurut yang gw baca barusan di antara, katanya warga negara sipil wajib ikut pendidikan militer untuk memperkuat TNI.

Hohoho....seharusnya mereka yang menjaga kita, sekarang kita yang harus bantuin mereka. Selama ini, begitu banyak kasus salah tembak, atau sengaja tembak (karena emosi). Bukan di medan perang, tapi di tengah orang2 biasa yang tak tau apa2. Sekarang kita harus ikut memperkuat mereka? Apakah memperkuat berarti ikut membantu menghilangkan senjata2? Ikut membantu menembaki warga tak bersalah?

Atau, jangan-jangan, maksudnya adalah membantu memasok arsenik, mencetak Polycaprus- Polycaprus baru yang akan ditugaskan di pesawat2 agar Munir-Munir baru tak pernah ada lagi?

Konflik di Poso, Ambon, Aceh, Papua, Timtim, sapa yang melakukan? Ketika mereka seharusnya berjaga di perbatasan agar negeri ini tetap aman, wilayah negeri ini tetap utuh dan tak harus kehilangan Timtim, Sipadan, Ligitan, mereka malah sibuk berkonflik, saling menembaki sesama aparat, dan menembaki orang2 yang seharusnya mereka jaga.

Lalu kenapa harus mendidik orang2 sipil padahal mereka sendiri belum cukup terdidik? Jangankan terdidik dalam mengelola emosinya, pendidikan dasar tembak menembak aja keknya ga lulus. Gw jadi inget postingan tentang Aswin anak yang kena peluru nyasar. Bukannya akan makin repot kalo melibatkan orang2 sipil lagi? Apa ga sebaiknya duit untuk pelatihan atawa militerisasi sipil dipake aja buat kebutuhan lain? Apa sih yang ada di otak para jenderal?

Sekedar peringatan...., berhati-hatilah Anda di mana pun. Tak ada pesawat yang benar2 aman. Jika tak meninggal bersamaan, mungkin hanya salah satu dari sekian banyak penumpang. Berhati-hatilah kapan pun. Karena, peluru memang tak punya mata Dan pemegang senjata itu, sudah lama tak punya hati!



*) Titip rindu buat Ochan, kawan, berhati-hatilah!

Selasa, 20 Februari 2007

Bocah Pemakan Pasir itu Kian Lemah

Gozi Usama namanya. Mengingatkan pada dua sosok yang banyak dibicarakan di media karena menjadi target negara yang mengaku nomer satu di dunia. Tapi Gozi yang ini, sangat berbeda dengan dua orang tersebut. Gozi, hanyalah bocah 6 tahun, berbadan lemah tak berdaya. Di usianya itu, berat badan Gozi hanya 12 kilogram.

Sudah enam bulan Gozi terkulai lemah dalam sakitnya. Perutnya membesar, wajahnya pucat. Tapi baru hari Minggu (18/2) kemarin Gozi dirawat di RSU Alfatah, Ambon. Berbekal utang ke tetangga, neneknya, Nehma, membawa cucunya ke rumah sakit ini. Nenek yang berusia 60 tahun itu, menempuh perjalanan jauh dengan menumpang kapal motor sehari semalam dari Kampung Lomin Kecamatan Geser, Seram Bagian Timur, ke Ambon.

Sejenak, hati saya hampir mencapai titik beku. Saya sudah bosan melihat penderitaan. Saya bosan dengan rasa kasihan, karena rasa itu tak membawa perubahan apa2. Seperti kata Pramoedya, jangan pernah merasa kasihan kalau tidak bisa berbuat apa2. Jadi saya hentikan rasa kasihan saya dan sebentar lagi saya menjadi tak peduli pada semuanya.

Tapi saya menangis mendengar kisah nenek ini. "Anak ini, sering makan pasir, bila tak ada makanan," ungkap Nehma. Mereka hidup serba kekurangan. Bocah malang ini menderita TB Paru serta Anemia. Gizi buruk, jelas! Tapi makan pasir, pernahkah terpikirkan oleh kita?

Saya ingin memaki walaupun saya tahu, memaki, sama dengan rasa kasihan, tak akan menyelesaikan masalah. Saya memaki diri sendiri yang selalu bisa makan hingga kenyang, lebih dari dua kali sehari, tapi masih bertanya, makan apa hari ini. Saya marah pada rasa sentimentil saya hanya karena sms dan telpon tak kunjung berbalas. Padahal rasa bodoh itu sama sekali bukan derita. Tak ada apa2nya dibanding hidup yang dijalani Gozi.

Saya muak. Muak pada iblis2 yang menganggap dirinya wakil rakyat dan dengan buas mengamuk di gedung sirkus sana hanya karena tunjangannya yang ratusan juta bakal dibatalkan. Padahal tanpa uang tunjangan itupun, mereka bisa hidup berfoya-foya, jalan2 keluar negeri, bikin film pribadi, semua atas nama rakyat. Saya muak pada adegan ancam mengancam sesama maling.

Saya muak pada rengekan pengemplang BLBI agar utangnya yang mencapai Rp 9,368 triliun itu diberi potongan. Saya muak pada retorika manis bapak dan ibu menteri untuk mengentaskan kemiskinan tapi dana pengentasan kemiskinannya dipake nginep di hotel mewah. Saya muak pada berita krisis beras yang mendatangkan alasan untuk impor beras padahal niatnya mematikan petani. Saya muaaaakkkkkkk!

Dana tunjangan per hari yang dibutuhkan Gozi tidak seharga 10 menit obrolan di ponsel perekam adegan mesum. Dana pengobatan yang dibutuhkan Gozi, hanya nol koma sekian persen duit yang dicolong mereka. Biaya hidup sebulan bagi Gozi dan neneknya, tidak sampai seharga semalam di hotel mewah. Tenggorokan Gozi dan neneknya, pasti lebih bisa menikmati beras yang ditanam petani negerinya sendiri.



UPDATE:
1. Saya sangat berharap ada aturan di Indonesia yang sama kek di Hongkong: mengenakan denda pada orang yang menyisakan makanan di piring saat bersantap di restoran (tidak menghabiskan makanan yang dibelinya). Walopun agama sudah mengatur hal itu, tapi memungut denda, semoga bisa membuat orang kapok. AGAR GA ADA LAGI GOZI LAIN YANG HARUS MAKAN PASIR.
2. Mungkin saya, atau Anda, atau siapapun, akan dipenjara karena membiarkan kekerasan terjadi di sekitar kita.

Minggu, 18 Februari 2007

Nasib Bayu di Tahun Babi

Namanya keren, Bayu Nusantara Aji. Dia ngetop tahun 1996 setelah dinobatkan sebagai warga ke-6 miliar dunia, sekaligus warga ke-200 juta jiwa warga Indonesia. Kelahirannya pada 29 Juni yang istimewa itu, membuahkan janji manis dari keluarga cendana. Ketika itu, Soeharto menjanjikan akan memberi beasiswa pada Bayu hingga kuliahnya selesai.

Usia Bayu kini 10 tahun, dan duduk di kelas IV Sekolah Dasar Negeri (SDN) Keruwak. Dia dan orang tuanya yang bekerja sebagai pedagang kelontong di daerah kering dan miskin Desa Jeruwaru, Kecamatan Keruwak, Kabupaten Lombok Timur, yang berjarak 70 kilometer dari Mataram, kini bingung. Tak punya biaya lagi untuk melanjutkan sekolah. Mimpi Bayu kini adalah bertemu Soeharto untuk menanyakan kelanjutan beasiswanya yang terputus. Rasanya mimpi itu sulit terujud.

Maaf Bayu, Yayasan Supersemar yang seharusnya membiayai pendidikanmu dan anak2 lain di negeri ini, habis dipakai buat nutupin kerugian perusahaan2 anaknya Soeharto, dan juga perusahaannya Bob Hasan. Padahal, saat didirikan, aset yayasan ini, besarnya Rp 1,2 triliun, yang didapat dari sumbangan 2,5 persen laba bersih 8 bank negara.

Berharap bantuan dari mana lagi ya? Siapa lagi pejabat yang tak korup di negeri ini? Meski hanya untuk membiayai seorang Bayu. Mari menebak nasib. Ah, ternyata, tahun babi tak cukup bersahabat. Konon katanya, tahun babi ini, masih akan mempertontonkan lagi banyaknya perselingkuhan yang dilakukan terang-terangan, termasuk skandal porno oleh pejabat dari seluruh daerah, terutama Jakarta dan Surabaya.

Korupsi? Konon, juga tetep seperti sekarang. Pertunjukannya udah dimulai oleh orang2 yang mengaku pendekar hukum itu. Liatlah Yusril yang arogan itu. Ah, satu per satu mereka akan muncul. Miliaran duit curian akan terungkap satu per satu. Lalu, langkah2 politik dengan cara busuk, konon tetap akan dilakukan para politisi itu yang tidak hanya menjatuhkan martabat diri sendiri, tetapi juga menghancurkan perekonomian dan membuat bangsa ini makin jatuh miskin. Bencana alam, konon, juga tetap mengintai. Gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung berapi semakin aktif, salju meleleh, angin puting beliung, gelombang laut makin mengganas, akan terus terjadi.

Begitulah ramalan tahun babi. Tapi, kita tak boleh menyerah begitu saja. Hidup masih harus terus berlanjut. Tak mungkin kita hanya membiarkan Bayu terus bermimpi. Kita akan menjadi manusia paling kejam jika tak bisa mewujudkan mimpi Bayu dan mimpi seluruh anak negeri ini. Mimpi mereka "hanya" sekolah, masa sih ga ada yang bisa bantu?


*) Gw mencari kabar tentang mereka, geng FK gw. Ada yang kenal?

Kamis, 15 Februari 2007

terancam? operasi plastik aja!

Operasi plastik, bisa bikin kita terlihat awet muda, lebih gagah atau cantik. Selain bikin awet muda, operasi plastik bisa dilakukan bila merasa terancam penjara. Tapi sebaiknya Anda lebih cermat dengan ukuran bagian tubuh agar hasil operasi plastiknya bener2 sempurna. Eh iya, gw ga sedang bicara tentang selebriti yang suka seliweran di infotaiment. Gw bicara soal nasib apes Tabrani Ismail, mantan Direktur Pengolahan Pertamina yang buron karena kasus korupsi proyek Export Oriented I Balongan, Jawa Barat, senilai 189,58 juta dolar AS.

Gimana ga apes, gara2 telinganya ga ikut dipermak, dia ketangkep. Padahal wajahnya dah cukup menipu. Kalo tahun 2003 lalu, dia terlihat tua dan lemah terkulai di atas kursi roda, kini badannya tegap. Kulitnya yang dulu putih pucat, kini sedikit menghitam tertempa matahari. Keriput di wajah dan keningnya pun tinggal kenangan. Rambutnya tak lagi putih tapi hitam dan sedikit tebal. Penyamaran lain, cukup mendukung. Di KTP seumur hidupnya, nama Tabrani berubah menjadi Putra Mangkupuspo yang lahir di Martapura, 21 Februari 1939. Padahal, sesuai KTP lamanya, Tabrani lahir di Prabumulih pada 21 Desember 1934.

Sayang seribu sayang, matanya yang sipit jadi penanda meski ditutupi kacamata besar model tahun 70-an. Dan, ukuran telinga kirinya lebih kecil dari yang kanan. Itulah kesalahan terbesarnya, telinga dan mata lupa dipermak, penjara pun menanti.

Yang sekarang mungkin ikut merasa terancam penjara adalah Yusril Ihza Mahendra. Tapi, dia ga bakal operasi plastik. Mungkin merasa wajahnya cukup menawan untuk menggaet gadis Philipina berusia belasan tahun. Saat terancam, Yusril cukup mengancam balik. Bukankah dia jagoan di bidang hukum sebagai penemu pasal untuk Soeharto saat Ketua Klan Cendana itu pengen lengser keprabon tahun 1998?

Tadi, Yusril diperiksa KPK karena dia menyetujui penunjukan langsung pengadaan alat automatic finger print identification system di Depkumham pada tahun 2004. Pengadaan alat senilai Rp 18,48 miliar itu akhirnya menjadi kasus di KPK karena diduga merugikan negara Rp 6 miliar. Aturannya, proyek di atas Rp 50 juta mestinya ditenderkan. Mungkin karena dia menteri, ga harus kali, gw juga ga ngerti aturannya.

Konon, karena diperiksa soal itu, Yusril balik ngancem Ketua KPK, Taufiqurachman Ruqi. Katanya dia bakal ngelaporin KPK juga karena KPK katanya pernah melakukan hal sama soal pengadaan barang tertentu seperti alat penyadapan yang juga tidak diputuskan oleh pimpro. Malah Ketua KPK katanya melapor kepada presiden sebagai penanggung jawab. Entahlah, mana yang bener. Yang bicara kan jagoan soal hukum dan pasti ga bakal mau operasi plastik.

Senin, 12 Februari 2007

Lumpur Lapindo dan Banjir Jakarta

Ada yang bilang, orang pusat ga adil soal lumpur Lapindo dibandingkan bencana banjir di Jakarta. Katanya, sejak beberapa tahun lalu Jakarta dikasih anggaran rehabilitasi Rp2,7 Trilun, sedangkan luapan lumpur Lapindo ga dikasih. Padahal saat ini dana yang diperlukan di Sidoarjo untuk membangun kanal ke laut sebesar Rp670 miliar, biaya relokasi infrastruktur jalan tol sebesar Rp2,7 triliun, biaya relokasi rel Kereta Api, pipa gas, jaringan listrik dan sejumlah sarana transportasi lainnya.

Katanya, kanal ke laut dibutuhkan secepatnya agar lumpur ga merusak lingkungan hidup, pemukiman dan infrastruktur yang lebih luas lagi. Apalagi jalan raya Porong merupakan urat nadi sektor perhubungan di Jatim. Banyak industri jatuh bangkrut, pengangkutan hasil bumi, barang kebutuhan pangan juga terganggu, rel kereta dan pipa gas rusak mengganggu industri di Jatim.

Untuk alasan itu, ya, semua bener menurut gw. Tapi kalo sampe ngomong orang pusat ga adil, nanti dulu. Emang sapa yang bikin lumpur mpe meluber kemana2? Orang Lapindo kan? Yasud, tuntutlah Bakrie. Jangan karena sesama orang Golkar trus sok nyalah2in orang pusat (yang bukan Golkar pasti). Kejarlah si Bakrie, udah terlalu lama dia jadi anak emas. Pura2 lupa soal lumpur panas Lapindo. Mungkin pengen dibawain lumpur lagi, trus disuapin bubur lumpur. Gw yakin, realisasi ganti rugi, mungkin tak akan terjadi sampai semua perumahan di Sidoarjo tenggelam dalam lumpur.

Tapi diam lalu menyerah, ga akan menghentikan aliran lumpur panas di sana.
Banyak orang ngomong solusi buat korban banjir Jakarta dan lumpur Lapindo. Transmigrasi katanya. Apa ga cuma memindahkan masalah sosial kota ke daerah lain? Apa orang2 mo disuruh berdagang di lahan pertanian? Lalu, pemindahan ibukota negara. Tak ada yang aneh dan ga mungkin, kecuali emang ga niat. Toh pemindahan ibukota pernah dilakukan para leluhur. Pertama pindah ke Yogyakarta, dan yang kedua pernah pindah ke Bukittinggi.

Bahkan jauh sebelumnya, konon beberapa kerajaan di Jawa juga pernah melakukan hal sama. Kerajaan Mataram dari Kotagede, dipindah ke Kartasura lalu dipindah lagi ke Surakarta. Pusat pemerintahan kerajaan Yogyakarta yang semula dibangun Sultan Hamengku Buwono I di Ambarketawang, Sleman. Karena alasan tertentu, pusat pemerintahan kemudian dibangun di Yogyakarta dan berdiri hingga sekarang.

Ga ada yang ga mungkin kalo emang niat. Kecuali perilakunya sama dengan majikan2 yang mengurung pembantunya di rumah2 mewah mereka yang kebanjiran sementara para majikan mengungsi ke hotel. Atau para penghuni perumahan elit yang hanya senyum2 dari balik jendela rumah mewahnya memandangi tetangganya di bantaran kali yang kelelep. Orang2 macam mereka, orang macam Bakrie yang menenggelamkan Sidoarjo dengan lumpur panasnya mungkin cuma butuh satu hal, peluru tajam!

NB: Dalam sakit, saya mengalami dejavu, Mencari Langit. Izinkan untaian kata tak berguna ini saya titipkan di sini...

sepanjang hidupmu sunyi
katamu tak pernah bersambut
pijakmu tertolak tanah kelahiran
dalam senyap kau menengadah mencari langit
hanya ada burung-burung yang mengiringimu menghadap-Nya
menyusul Pramoedya
Selamat jalan Pak Sobron!

Selasa, 06 Februari 2007

Kado buat Harmoko

Gw baru membaca sebuah berita di detik tentang kasus pembunuhan lima wartawan asing di Balibo, Timtim, pada Oktober 1975. Kasus ini masih terus disidangkan di pengadilan Sydney, Australia. Saksi mata warga Timtim dengan kode Glebe 2 mengatakan, saat kejadian, dia melihat dua pria berkulit putih dengan kedua tangan di atas kepala. Ada banyak teriakan dan tembakan. Si Glebe 2 kemudian mengidentifikasi Yunus Yosfiah dari militer Indonesia sebagai orang yang pertama kali menembaki para jurnalis.

Saat peristiwa terjadi, Yunus Yosfiah menjabat sebagai komandan pasukan elite, dikenal dengan nama Tim Susi, yang datang ke Timtim pada 1975. Tim Investigasi PBB pada tahun 2000 mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Yunus Yosfiah, Christoforus da Silva dan seorang warga Timtim, Domingos Bere, karena diyakini terlibat dalam kasus pembunuhan tersebut. Da Silva dan Bere merupakan anggota Tim Susi.

Sambil baca berita itu, gw ga sengaja melihat status ym-nya Agus, yang ngucapin met ultah buat Pram. Gw baru ngeh kalo ultahnya sama ma Mas Mbilung. Gw sms lah Mas Mbilung dan dijawab: Lho kok baru tau sih? Sama Harmoko juga tapinya :( . Wakakaka...Harmoko? Lalu Mas Mbilung nanya: Udah ngasih kado buat Harmoko? Kasih bunga aja.

Ga ah...untuk mantan menteri penerangan, kadonya harus tulisan. Dan gw memaksakan diri buat posting dan memaksakan postingan soal ultah Harmoko, Pramoedya dan Mas Mbilung ada hubungannya dengan berita Yunus Yosfiah tadi. Keliatan maksa banget kan? Bodo lah...pokoknya posting!

Gw cuma pengen nanya, kira2 di ultahnya Harmoko hari ini, dia masih sempet mengingat-ingat masa lalunya ga ya? Sempet baca berita soal Yunus Yosfiah ga ya? Ketika Yunus Yosfiah jadi Menteri Penerangan di era Habibie, kran (halah, kran aer kali) kebebasan pers akhirnya terbuka lebar2, ga perlu SIUPP segala. Tapi tengok masa lalunya, menembaki jurnalis? Itu gila! Ok, di masa lalu, Harmoko ga nembakin pake senjata memang. Tapi pake segala aturan sesukanya untuk mendapatkan untung, mematikan hak2 orang untuk tau informasi yang bener, dll, termasuk Pram salah satu korbannya. Bisakah dia diingatkan tentang hukum atas perilaku masa lalunya itu?

Gw ga sedang mengipasi bara. Gw ga sedang memupuk dendam. Toh secara pribadi, gw ga ada hubungan dengan mereka dan mungkin tidak dirugikan oleh mereka. Namanya juga postingan maksa, wajar kan? Eh...mungkin bener kata Agus, hari ini hari lahir orang2 hebat. Coba liat, ada Mas Mbilung, Pramoedya, Harmoko. Iyaaa, kata siapa Harmoko ga hebat? Bisa membungkam segitu banyak mulut dan mematahkan ribuan pena, itu sesuatu yang hebat kan? Bukan begitu Sir?

Senin, 05 Februari 2007

Melempar Jumrah di Depag

Tadi malam gw sempat geram membaca kiriman berita dari kawan2 di Jakarta. Katanya ada 100-an pembantu rumah tangga di Cipinang Indah tetep bertahan di rumah2 gedong di sana. Mereka diharuskan jaga rumah oleh majikan2nya. Sementara sang majikan sibuk ngurus dirinya sendiri, ngungsi ke hotel2 atau apartemen. Ya, memang masih ada 70 persen hotel yang ga kena banjir.

Sampe pagi, bangun tidur, saya masih membayangkan nasib pembantu2 itu. Makan mie, kehabisan stok air minum, atau jangan2 mereka ga boleh terlelap biar barang2 milik majikan di rumah itu tetap terawasi? Jahat kok ga kira2, menyakitkan banget. Kalo penduduk yang rumahnya di bantaran kali sih, gw ga usah komentar. Udah berlipat-lipat kali kesakitan yang mereka alami.

Siang, ada tipi swasta yang akhirnya menyiarkan berita pembantu2 itu. Menggunakan perahu karet, si kameramen menyusuri kompleks elit itu, menanyai para pembantu dari rumah ke rumah. Ya, jawabannya cocok, mereka disuruh nungguin rumah dan para majikan ngungsi ke hotel. Mereka makan mie, ga pernah mandi (sudahlah, mandi emang ga penting) dan kehabisan air minum. Ga punya perasaan banget kan majikan2 itu?
Tak lama, ada satu rumah dengan tiga pembantu, perempuan2 belia, lalu ikut perahu si kameramen. Konon, majikannya memang meminta tim SAR menjemput mereka untuk ikut ngungsi ke hotel. Sesampainya di 'daratan' tiga perempuan belia itu dijemput sang majikan, dipeluk.

Ibu selama ini ngungsi kemana? tanya kameramen/wartawan. ke hotel jawab si majikan. Kok pembantunya dibiarkan di rumah dan baru dijemput sekarang? cecar si wartawan. Sambil terus berjalan menuju mobil, ibu2 itu menjawab, kami pikir bakal surut banjirnya, ternyata tidak. Makanya baru dijemput sekarang. Suara ibu2 itu bergetar dan matanya merah. Mungkin menahan tangis karena terharu, mungkin merasa berdosa, atau mungkin ketakutan, mungkin marah karena wartawan nanya2, entahlah. Positif ajalah, akhirnya ada penghuni kompleks yang ga tega ma pembantunya.

***

Gw jadi ingat kasus kelaparan jemaah haji. Yang berhaji itu jelas orang2 mampu semua. Tapi kok bisa kelaparan? Samalah ma kasus banjir, yang ngurusin ga becus, mikirin kepentingan diri sendiri. Pembantu2 itu tinggalnya di rumah orang2 mampu semua, tapi ga ada pengaruhnya ke mereka kalo yang 'berpunya' ga peduli mereka. Yang penting tenaganya dah diperes (kalo kasus haji, ONH-nya dah diperes), masa bodoh nasib mereka.

Gimana jemaah haji ga kelaperan kalo yang ngurusin katering terbiasa ngurusin pakan ternak dan kontruksi. Ya ampuuunnn...kok orang disamain ma ternak sih? Emang aneh Depag ini, korupsinya ga cantik, bikin malu aja! Eh iya...konon kabarnya (konon lho yaa...), dipilihnya katering pakan ternak itu karena campur tangan ibu negara. Tapi ini cuma kabarnya lho...biasa, masih kabur!
Tapi kalo boleh usul, musim haji tahun depan, mungkin jamaah bisa melempar jumrah di Depag atau kantor gubernur Jakarta saja. Diperkirakan di sana lebih banyak setan soalnya...!

Kamis, 01 Februari 2007

Banjir dan PSSI yang Bakal Bubar

Banjir di Jakarta sebenernya udah pemandangan biasa. Lha wong tata kotanya memang mendukung kok! Banjir selutut, udah ribut banget di media massa. Sementara banjir yang menelan korban jiwa di luar Jakarta, media massa sunyi senyap. Kalo puluhan korban, baru ditengokin. Malu daerah kita kebanjiran? Aaah...ngapain malu? Cuma banjir kok! Tar juga reda.

Gimana kalo yang kebanjiran istana presiden? Simbol negara lho. Mencoreti pagarnya aja bisa subversif. Lha kalo dibanjiri air, harusnya dikenakan pasal subversif juga. Air memang bukan pelaku, tapi ada yang mengendalikan dan membiarkan simbol negara kebanjiran, membuat tata kota yang tidak memperhitungkan air bisa ngalir sampe istana. Dia, mestinya ditindak.

Lagian, ga malu ya, banyak tamu2 negara yang dateng, mesti jinjit2 masuk istana, ngangkat celana (bukan rok karena, sialnya, tamu negara jarang yang perempuan). Ntar pulang ke negerinya, mereka cerita, eh, kesian bener tuh ya Indonesia. Istana presidennya yang harusnya super ekslusif, taunya kebanjiran. Ah, tapi boro2 mikir ke sana. Malu? Ngapain? Cuma banjir kok. Korupsi aja ga malu!

Oh iya, Mendagri baru aja nunjukin jalan korup terbaru. Ceritanya nih, Mendagri melarang lagi dana APBD/APBN dipake buat mbiayain kelompok/persatuan sepak bola. Nyumbang kalo istilah mereka. Selama ini, emang gitu, persatuan sepak bola dibiayain dari duit negara, atau duit rakyat, taulah. Yang ga pake APBD keknya cuma PKT deh...(tapi sama aja, PKT kan BUMN). Huh...dana puluhan miliar kok cuma buat ditendang2 di lapangan bola. Dipake buat bangun jalan, jembatan dan sekolah, bisa brapa tuh?

Demi gengsi, biasalah, APBD diperes biar latihannya pemain2 bola (yang banyakan bule itu) jadi lancar, gizi dan vitaminnya musti terjaga biar bisa menang tanding, mengharumkan nama daerah dan ga ditimpukin bonek karena kebobolan gol. Selama ini, kalo mau lancar dapet dananya, angkat aja walikota atau bupati jadi Ketua Persatuan Sepakbola Anu, atau ketua KONI. Sebaliknya, kalo mo jadi bupati, walikota, gubernur, pas kampanye harus terlihat perhatian sama kelompok sepakbola. Penontonnya banyak. Kalo semua penonton bola nyoblos, bisa menang Pilkada kan?

Nah, ketika Mendagri ngomong soal aturan baru yang ngelarang pake APBD lagi buat bola, apa yang terjadi? Hohoho...dari barat, timur, tengah, semua ngeluh, bubar! Mo dibiayain pake apa? Nyari sponsor rokok? Rokok kok buat olahraga :p. Udah ga jadi dapet tunjangan ratusan juta karena PP 37 ditarik lagi, eh, dana bola yang bisa dipotong dikit2 ikut dilarang, waduh, bisa miskin ntar!

Tunggu dulu, don't panic. Mendagri punya solusi. Katanya...larangan itu bisa ditaktisi. Bisa aja katanya dana bola dimasukin ke anggaran pendidikan. Pake alasan sekolah bola kan bisa? Pendidikan juga, huehehehe. Hmm...see??? Selalu ada jalan kok buat korup. Dana 20 persen buat Pendidikan aja ga pernah nyampe, skarang mo ditambahin dana bola. Gimana mo cerdas anak2 negeri ini. Pinter sih iya, pinter korup, soalnya diajarin ma pejabatnya, diajarin ngeles!