Saya ga bisa membayangkan kesulitan hidup seperti apa yang dirasakan orang2 di Burma dalam pergolakan yang tengah berlangsung di sana. Sebelas tahun lalu saat Jakarta rusuh karena kasus 27 Juli, saya tidak begitu merasakaannya, karena saya jauh dari ibukota. Tahun berikutnya, kejadiannya sama dengan di Burma kini, rezim menaikkan harga BBM hingga mencekik leher rakyat. Saya baru ikut merasakannya. Lalu semua orang bergerak, karena kemarahan yang menumpuk selama 32 tahun terhadap tiran dari klan cendana itu.
Kemarahan kita, hanya akumulasi kemarahan 32 tahun. Bagaimana jika kita menghadapi 45 tahun, seperti mereka di Burma? Selama setengah abad kurang 5 tahun, kehidupan bernegara, berpolitik, bahkan kehidupan pribadi, dibayang-bayangi ketakutan pada tirani dibawah rezim junta militer. Ah, komplit! Kebebasan yang diperoleh setelah 32 tahun terkungkung, tak membuat kita ingat pada masa- masa susah. Bahkan nyawa orang-orang yang jadi tumbal tumbangnya tirani 10 tahun lalu, sama sekali tidak diperhitungkan. Hingga kini, suara keluarga mahasiswa korban penembakan itu, korban penculikan itu, korban kerusuhan etnis itu, tak pernah didengarkan. Apalagi kalau hanya korban pembantaian 65, sudah puluhan tahun mereka dibungkam, tinggal menunggu mati.
Pelaku-pelakunya tetap bebas berkeliaran, menjadi pejabat tinggi, menjadi presiden, mencalonkan diri jadi presiden, menjadi anggota DPR, tanpa rasa malu, duduk di singgasana yang berlumuran darah. Mereka tak bisa merasakan kehilangan para keluarga korban itu. Mereka hanya akan menjerit bahkan mengamuk, saat tuntutan kenaikan tunjangan jabatan mereka tidak dipenuhi. Mereka hanya akan bersuara ketika jatah menteri, jatah mobil, jatah perjalanan dinas, tidak jatuh ke tangan mereka. Mereka lupa cara memfungsikan pita suara ketika melihat rakyatnya mati terinjak2 saat antre sembako, zakat, dan 5 liter minyak tanah, yang hanya cukup untuk makan hari ini.
Kaum oportunis yang duduk di kursi kekuasaan itu, berkembang biak seperti tikus. Kelakuannya pun seperti tikus. Mencuri uang bantuan bencana, berkunjung ke sana kemari atas nama negara padahal belanja belanja, sibuk berebut komisi proyek padahal di depan mata, rumah dan tanah rakyatnya tenggelam dalam lumpur proyek. Jika kaum Biksu Buddha di Burma menyebut junta militer sebagai pengikut setan, saya pun menyebut oportunis Indonesia itu sebagai tikus pengikut setan yang paling buruk rupa. Kemarahan saya hari ini terhadap junta militer di Burma, terhadap penembakan keji Fotografer Jepang, Kenji Nagai, terhadap pembumihangusan desa2 di sana, terhadap penyerbuan vihara2, telah sampai ke ubun-ubun. Bahkan melampaui ubun-ubun karena kemarahan itu merembet pada kemuakan saya terhadap tikus2 pembawa kemiskinan di negeri ini.
Saya cuma bisa marah. Tapi apa yang sudah saya lakukan? Saya cuma bisa menulis, cuma bisa memakai baju merah, cuma bisa melafal kata solidaritas di lidah, tangan kiri saya cuma terkepal lemah. Itu, sama sekali tidak membantu, tidak membawa perubahan apa2 untuk mereka yang di Burma, untuk mereka korban 65, korban Mei 98, korban lumpur! Saya ingin tanya, apa yang telah Anda lakukan untuk mereka yang tertindas? Berbagilah dengan saya, please!
Minggu, 30 September 2007
Berai Jemari Terkepal Lemah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
5 komentar:
gak ada. cuma ngomel dan marah2 sendiri. tapi setidaknya kita masih punya hati, gak ikut2an bikin rakyat indonesia mati terinjak2 saat berebut zakat dan duit yg dibagi2 pas bulan puasa gini, co. kita juga ga korupsi, ga nyolong duit negara, ga mark up biaya perjalanan dinas.
ah, inilah gunanya kita ngeblog, co. biar gak sakit jiwa ngeliat kegilaan di sekitar kita.
oiya, kita gak minta dibeliin iPod sama scanner! :D
saya juga ndak bisa berbuat apa apa. apalah saya ini. bulan puasa saja hanya buka bersama. ngga ingat saudara yang kelaparan, hanya bisa meminta dan meminta hidup sejahtera dan baik baik saja.
wah tulisannya mantap, iya kita hanya bisa merutuk dalam hati saja.
Ada maling di kantor saya, kemarin. MAling itu adalah pejabat pemeritah. malakin perguruan tinggi yang ada di sini. Kalo gak dikasih bakal ada denda bagi hibah/ bantuan yang diberikan. Huh...
we are a great loser
Posting Komentar