Sabtu, 11 Juni 2005

Diet dan Busung Lapar

Sabtu, 11 Juni 2005

Gw benci kesedihan yang berlarut-larut gini, bikin gw ga bisa nulis. Dulu gw pikir kalo pas banyak masalah, gw bisa produktif, kreatif...ternyata omong kosong dan emang ga mungkin. Udah begitu banyak ide-ide terlewatkan, ga sempet gw tulis. Dan akhirnya keduluan semua koran, bahkan majalah. Gw tulis sekarang ntar dikira nyontek...padahal ide gw lebih duluan dari terbitan2 itu. Wayooo...ada yang ga percaya? Terserah...itu urusan Anda!

Yang udah terlewat lama soal hari pendidikan. Waktu itu beberapa koran memberitakan soal anak2 kecil bunuh diri dengan cara gantung diri. Menyedihkan sekali. Mungkin jarang orang yang memperhatikan masalah kek gini. Anak2 yang usianya ga sampe 10 tahun itu mencoba bunuh diri hanya karena malu ga bisa bayar uang sekolah yang jumlahnya nggak sampe 5000 perak.

Duit segitu mungkin ga ada nilainya bagi orang2 di atas sana. Tapi seperti seorang anak di Jawa Barat bernama Haryanto, anak yang coba bunuh diri tapi gagal dan kini cacat itu, nilainya setara dengan rasa malu dan nyawanya. Bahkan ngga sampe Rp 5.000, cuman Rp 2.500. Segitu miskinnya jugakah sekolah tempatnya menuntut ilmu sampe duit segitu ngga dibebasin aja pembayarannya?

Jahat bangettt! Ngerinya lagi, ngga cuma anak kek Haryanto yang bisa malu karena ga bayar uang sekolah. Bahkan seorang anak TK pun bisa. Bayangkan, anak sekolah yang kerjanya nyanyi dan bermain itu bisa terbebani rasa malu sedemikian besar hingga mengorbankan nyawanya.

Mungkin juga ini ga ada artinya dimata orang2 di atas sana. Lebih jahat lagi, mungkin mereka seneng. Semakin banyak anak yang bunuh diri karena ga mampu bayar sekolah, mereka makin seneng karena ga harus nanggung biaya sekolah anak miskin lagi. Mereka seneng anak2 miskin mulai enyah dari muka bumi. Bukankah jika anak miskin abis, berarti tingkat kemakmuran rakyat tinggi?

Sekolah2 swasta yang mereka modali pendiriannya dari duit yang seharusnya buat bayar pajak kekayaan, bisa makin untung karena yang bisa sekolah cuman orang2 yang punya duit, yang mampu bayar seberapa pun mahalnya tarif yang mereka minta. Uang pembangunan gedunglah, uang les inggris, balet, matematika, uang kebersihan, uang buku, uang perpisahan, uang formulir ini itu, dll.

Ironisnya, orang miskin lenyap karena bunuh diri semua, bukan karena meratanya hak-hak rakyat. Lebih ironis lagi, penyebab kematian dan lenyapnya kemiskinan bukan cuma bunuh diri tapi busung lapar. Bayangkan, mereka mati kelaparan dalam lumbung padi.

Benerlah kata orang pinter (yang gw lupa siapa), orang2 rendahan itu memang bekerja di restoran tapi ga pernah makan masakan restoran. Mereka bekerja rumah sakit tapi nggak pernah dirawat di sana. Mereka bekerja di hotel, tapi nggak pernah tidur di hotel.

Mereka, para pekerja kelas rendahan ini hanya bisa menonton orang makan di restoran tempatnya bekerja seharga jutaan demi sepotong tubuh bernama lidah pengecap rasa. Demi sebuah tubuh aduhai berharga jutaan dengan perawatan dokter-dokter ahli lulusan luar negeri. Demi menyembunyikan aib perzinahan dengan suami orang seharga jutaan rupiah di hotel-hotel berbintang.

Yang di atas sana sibuk menata diri, diet, merampingkan tubuh dari lemak2 demi penampilan. Nggak sadar anak tetangganya mati kelaparan dengan perut buncit karena gizi buruk. Bukan lapar karena diet tapi lapar karena ngga ada yang bisa dimakan
.

Tidak ada komentar: